Sesungguhnya orang-orang yang kaya adalah orang yang paling sedikit pahalanya di hari Kiamat nanti, kecuali orang yang diberikan kebaikan oleh Allah, lalu disebarkan dari arah kanan dan kirinya, serta dari arah depan dan belakangnya dan ia beramal kebaikan dalam hartanya itu. [Dikutip dari lisan Rasulullah ﷺ saat bersama Abu Dzar — diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim]
Kita bangsa bersuku-suku, tetapi cita-cita satu. Kita berbagai-bagai budaya, tetapi gawang kehidupan satu. Kita punya banyak agama, ragam nilai, pilihan-pilihan di segala sisi kehidupan, tetapi obsesi kita satu.
Anak-anak kita boleh pilih masuk kuliah di Fakultas Kedokteran, Ekonomi, Teknik, bahkan Tarbiyah dan Ushuludin, namun harapan hidupnya satu.
Satu cita-cita itu ialah menjadi kaya.
Ada kerbau, ada macan, berang-berang, buaya, cacing, badak dan jutaan macam hewan lagi, tetapi cita-citanya sama; ingin terbang dengan pakaian kemewahan.
Macam-macam profesinya, macam-macam permainannya, beragam-ragam kostum dan ayat-ayatnya, namun obsesinya menyatu secara nasional, ialah menjadi kaya. Memang ada klise-klise aplikatif; ingin mengabdi kepada bangsa dan negara. Ingin berbakti kepada agama dan masyarakat. Dan mungkin benar awalnya memang bercita-cita seperti itu, tetapi begitu ketemu pintu-pintu gerbang keuangan; mulai penuhlah kepala oleh cita-cita tunggal itu. Kalau anak-anak kecil dikasih iklim; ingin menjadi dokter, insinyur, presiden. Tetapi, ujungnya sama saja, yaitu menjadi kaya. Milih jadi orang kaya meskipun tidak jadi dokter, daripada sebaliknya.
Uang berlimpah jauh lebih menarik daripada Tuhan. Korupsi jauh lebih dipercaya dibanding hakikat dan metabolisme rezeki. Kalau melebar sedikit; orang diam-diam sudah makin sanggup meragukan Tuhan, tetapi tak seorang pun memiliki keberanian untuk meragukan demokrasi. Orang lebih tertarik pada kekayaan dibanding keshalehan. Orang lebih terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada kejayaan materi dibandingkan kemuliaan hidup.
Menjadi kaya adalah isi utama kepala manusia Indonesia. Dan untuk itu dipilih cara dan jalan yang paling bodoh dan malas; akting menjadi pemimpin, ustadz, artis, wakil rakyat, lembaga zakat infak atau apapun.
Jangan khawatir, tentu saja orang juga menikmati hubungannya dengan Tuhan, kenyamanan bernasionalisme, kesantunan sosial, estetika dan lain sebagainya, tetapi itu semua sekunder. Yang primer di kepalanya adalah harus ada kenyataan bahwa ia berlimpah atau sekurang-kurangnya aman di bidang keuangan.
~
Di luar kaya, unsur lain populer juga: powerful and famous, berkuasa dan terkenal. Tetapi kekuasaan dan popularitas juga membawa visi-misinya sendiri: merangsang manusia untuk lebih kaya dan lebih kaya.
Kekuasaan adalah jalan yang paling populer untuk mencapai cita-cita tunggal itu. Maka tidak ada agenda apapun yang lebih diutamakan dibanding apapun dalam kehidupan bangsa Indonesia melebihi agenda politik. Siang malam, tiap bulan, tiap tahun, headline, ngrumpi, obrolan gardu, apapun saja sesungguhnya berpangkal dan berujung pada agenda politik.
Disebuah provinsi saya diajak ketemu oleh seorang wali kota, di saat lain oleh sekelompok pemuda dari suatu komunitas, juga di malam lain seorang pemimpin pembela kaum miskin urban semuanya untuk agenda yang sama: yakni membicarakan nasib ribuan orang yang berumah di bawah jalan tol.
Tatkala ajakan itu disampaikan kepada saya, saya benar-benar sibuk menonton televisi yang menayangkan berita bahwa Pak Gubernur provinsi itu sedang naik podium menyatakan akan mencalonkan diri menjadi presiden mendatang.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis dan shalat taubat kepada Allah gara-gara seekor unta terpeleset nun jauh di sana namun masih di wilayah tanggungjawab kekhalifahannya. Ia begitu merasa bersalah. Agenda pak Umar benar-benar berbeda dengan agenda Pak Gubernur.
~
Sejumlah orang akan membantah kalimat-kalimat ini. Tetapi, saya sendiri sudah terlalu tua untuk mampu membantah hal itu. Saya sudah uzur dan ditipu mentah oleh fakta-fakta kehidupan, sehingga sampai menjelang kepala enam saya belum memulai apapun untuk memperjuangkan karier saya: jangankan lagi untuk menegakkan kebenaran.
Tentu saja kalau yang dimaksud karier adalah berkuasa, kaya, dan terkenal: sudah lama—menurut ukuran saya dengan hidup tempe sambal dan menikmati cuci kaus piring: saya tidak memiliki problem apa-apa. Tetapi, yang saya maksudkan karier adalah mandat kekhalifahan dengan konten dan skala yang jelas yang sudah lama saya siapkan namun tidak ada gejala bahwa sejarah manusia ini memerlukan kualitas kesejahteraan hidup semacam itu.
[oleh Muhammad Ainun Nadjib]
*dapat dibaca di buku ‘Jejak Tinju Pak Kyai’ cetakan tahun 2008