MEMANFAATKAN AIR CUCIAN BERAS

IMG_2638-0.JPG

“Ssssttt, air cucian beras jangan dibuang. Manfaatkan untuk kesehatan kulit kepala.”

Tertarik mempraktikkan, tadi sore saya iseng mencoba nasihat ini. Tidak terlalu sulit, hanya mempersiapkan air cucian beras—yang berwarna putih pekat, lalu disiram di kulit kepala. Selesai.

~

Apalagi manfaat sampingan dari beras?

Tajen. Air hasil kegiatan menanak nasi ini katanya juga kaya protein. Dulu—sewaktu masih kecil—saya pernah mencoba meminum tajen, warnanya seperti susu kental manis, tetapi rasanya asin—karena dibumbui garam. Hhe.

Selain Tajen adalah Intip. Kerak dari hasil menanak nasi ini dapat dimanfaatkan untuk camilan saat gerimis seperti malam ini. Jika ukurannya seukuran beras namanya bukan intip, tetapi karuk. Kalau karuk, biasanya disajikan dengan taburan parutan kelapa.

~

Banyak juga ya manfaat sampingan dari beras?—kalau kamu, jangan sampai kalah manfaat juga ya.

29 Januari 2015

SENI KALIGRAFI TIONGKOK DI CANDRA NAYA

Hari ini saya kemana? Ke Candra Naya.

Candra Naya adalah rumah dari Mayor Belanda berdarah Hokkien. Namanya Khouw Kim An. Jadi Khouw Kim An ini diberi tanggungjawab sama Belanda untuk mengatur etnis Tiongkok di negeri ini. Sang Mayor bertrah pada Khouw Tjoen, seorang saudagar Hokkien yang bermigrasi ke Tegal, yang pada akhirnya menetap di Batavia pada abad ke 18. Nah, Candra Naya inilah satu-satunya rekam jejak keluarga Khouw yang masih ada hingga sekarang, meskipun bangunannya terhimpit oleh super block Green City. Kok bisa ya pemerintah memberi ijin pembangunan hotel di sini?

IMG_2580.JPG

Saat ini rumah Khouw digunakan untuk berbagai kegiatan, salah satunya seperti hari ini: Pameran Kaligrafi Tiongkok. Kaligrafi Arab dan Kaligrafi Tiongkok. Jangan sebut China lagi ya, tidak boleh. Dilarang. Hhe.

IMG_2581.JPG

Masuk rumah Khouw gratis. Dari shelter Olimo jalan kaki menuju hotel Novotel. Di tengah-tengah hotel itulah rumah Khouw dihimpit. Lokasinya bersih dan terawat. Pihak Novotel sepertinya yang mengurus. Pintunya berdiri gagah dengan gagang pintu bulat tertempel di daun pintu sebagai Pa Kua pengusir roh jahat (tolak balak). Di kedua daun pintu tertulis aksara Tiongkok, saya tidak tahu bagaimana artinya.

Rumah ini lapang, dengan jendela-jendela berukuran besar. Kanan kiri rumah terdapat bangunan sederhana—yang saat ini digunakan sebagai lapaknya pak Bondan ‘Maknyus’ (Kopi Oey).

IMG_2585.JPG

IMG_2587.JPG

IMG_2586.JPG

Workshop Kaligrafi

Acara ini diselenggarai oleh Kaligrafi Islam dan Ningxia Islam Huaer Culture Media. Tidak hanya workshop seni kaligrafi arab tapi juga seni kaligrafi Tiongkok, ada juga seni lukis kanvas—Shan Shui Hua.

Sebagian besar saya tidak paham apa yang ditulis, tapi saya menikmatinya. Tak banyak orang yang datang kesini, kecuali orang yang nggak jelas seperti saya. Karena tidak banyak yang datang berkunjung, terkesan private. Bahkan saya sempat melamun seorang diri di halaman belakang. Apeu. Hhe.

IMG_2592.JPG

IMG_2594.JPG

Ikannya besar-besar. Tidak hanya ikan yang hidup berenang, ornamen atap rumah ini pun ada ikan koinya. Saya tidak tahu melambangkan apa ikan koi bagi keluarga Khouw.

IMG_2595-0.JPG

Allah pemberi cahaya langit dan bumi. Bagus ya kaligrafinya. Kaligrafinya boleh difoto tapi tidak boleh dipegang. Hanya kaligrafi itu yang bisa saya baca. Al-Qur’an surah dan ayat berapa hayo? Iya, qs. 24:35.

IMG_2597.JPG

Melangkah ke ruang lainnya, disuguhi tulisan Salam, dibalik pintu pula. Seolah-olah ada yang sedang berinteraksi. Kata Salam dapat ditemukan di beberapa surah di al-Qur’an, namun yang bertepatan dengan kaligrafi tersebut adalah Salam dari Tuhan Yang Maha Penyayang. Tuhan menyapa siapa saja yang masuk surga-Nya. Ini dapat dilihat di qs. 36:58.

IMG_2578.JPG

Kaligrafi yang sedang dipegang sama orang-orang berdialek Tiongkok ini saya tidak bisa membacanya. Anda bisa membacanya?

IMG_2598.JPG

Shan Shui Hua itu seni lukis yang berlatar gunung dan air. Kalau di negara kita latarnya gunung dan sawah. Hhe

IMG_2599.JPG

Tidak hanya seni kaligrafi arab, seni lukis khas Tiongkok pun dipamerkan juga. Pengunjungnya pun tidak hanya muslim saja, saudara-saudara Tionghoa pun juga ada.

IMG_2601-0.JPG

Demikian catatan Kemana saya hari ini. Sebelum pulang, saya membeli T-Shirt bertuliskan kaligrafi Tiongkok karya ustadz Abu Bakar Chang. Setelah saya tanyakan, makna tulisannya adalah Kebaikan menyuguhkan keharmonisan. Mantap. Hhe.

Salam,

25 Januari 2015

TAHUKAH KAMU, KENAPA DISEBUT YAHUDI?

IMG_2486.JPG

Ayo siapa yang sudah tahu, berasal dari manakah kata Yahudi itu?

Yahudi berasal dari kata hawadah yang artinya kasih sayang. Juga berasal dari kata tawahhud yang artinya taubat, seperti dalam kisah Nabi Musa ‘alayhissalam di qs. 7:155-156. Mereka disebut demikian karena taubat mereka serta kecintaan mereka satu sama lain.

Ada pula yang berpendapat bahwa mereka dinamakan Yahudi karena hubungan silsilah mereka dengan Yahuda, yaitu putera tertua dari Nabi Ya’qub.

Sedangkan menurut Abu ‘Amr bin al-‘Ala’—seorang ahli tata gramatika bahasa Arab dari generasi Tabi’in—, disebut Yahudi, karena mereka يَتَهَوَّدُون yaitu sering menggerak-gerakkan tubuh mereka ketika membaca Taurat.

~

Bagaimana pendapat kalian? Hhe.

*isi tulisan dapat dibaca lengkap di Tafsir Ibnu Katsir.

20 Januari 2015

[gambar dari sini.]

MENJADI KAYA ADALAH ISI UTAMA KEPALA MANUSIA INDONESIA, TERMASUK SAYA TAPI TIDAK TERMASUK ANDA

Sesungguhnya orang-orang yang kaya adalah orang yang paling sedikit pahalanya di hari Kiamat nanti, kecuali orang yang diberikan kebaikan oleh Allah, lalu disebarkan dari arah kanan dan kirinya, serta dari arah depan dan belakangnya dan ia beramal kebaikan dalam hartanya itu. [Dikutip dari lisan Rasulullah ﷺ saat bersama Abu Dzar — diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim]

Kita bangsa bersuku-suku, tetapi cita-cita satu. Kita berbagai-bagai budaya, tetapi gawang kehidupan satu. Kita punya banyak agama, ragam nilai, pilihan-pilihan di segala sisi kehidupan, tetapi obsesi kita satu.

Anak-anak kita boleh pilih masuk kuliah di Fakultas Kedokteran, Ekonomi, Teknik, bahkan Tarbiyah dan Ushuludin, namun harapan hidupnya satu.

Satu cita-cita itu ialah menjadi kaya.

Ada kerbau, ada macan, berang-berang, buaya, cacing, badak dan jutaan macam hewan lagi, tetapi cita-citanya sama; ingin terbang dengan pakaian kemewahan.

Macam-macam profesinya, macam-macam permainannya, beragam-ragam kostum dan ayat-ayatnya, namun obsesinya menyatu secara nasional, ialah menjadi kaya. Memang ada klise-klise aplikatif; ingin mengabdi kepada bangsa dan negara. Ingin berbakti kepada agama dan masyarakat. Dan mungkin benar awalnya memang bercita-cita seperti itu, tetapi begitu ketemu pintu-pintu gerbang keuangan; mulai penuhlah kepala oleh cita-cita tunggal itu. Kalau anak-anak kecil dikasih iklim; ingin menjadi dokter, insinyur, presiden. Tetapi, ujungnya sama saja, yaitu menjadi kaya. Milih jadi orang kaya meskipun tidak jadi dokter, daripada sebaliknya.

Uang berlimpah jauh lebih menarik daripada Tuhan. Korupsi jauh lebih dipercaya dibanding hakikat dan metabolisme rezeki. Kalau melebar sedikit; orang diam-diam sudah makin sanggup meragukan Tuhan, tetapi tak seorang pun memiliki keberanian untuk meragukan demokrasi. Orang lebih tertarik pada kekayaan dibanding keshalehan. Orang lebih terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada kejayaan materi dibandingkan kemuliaan hidup.

Menjadi kaya adalah isi utama kepala manusia Indonesia. Dan untuk itu dipilih cara dan jalan yang paling bodoh dan malas; akting menjadi pemimpin, ustadz, artis, wakil rakyat, lembaga zakat infak atau apapun.

Jangan khawatir, tentu saja orang juga menikmati hubungannya dengan Tuhan, kenyamanan bernasionalisme, kesantunan sosial, estetika dan lain sebagainya, tetapi itu semua sekunder. Yang primer di kepalanya adalah harus ada kenyataan bahwa ia berlimpah atau sekurang-kurangnya aman di bidang keuangan.

~

Di luar kaya, unsur lain populer juga: powerful and famous, berkuasa dan terkenal. Tetapi kekuasaan dan popularitas juga membawa visi-misinya sendiri: merangsang manusia untuk lebih kaya dan lebih kaya.

Kekuasaan adalah jalan yang paling populer untuk mencapai cita-cita tunggal itu. Maka tidak ada agenda apapun yang lebih diutamakan dibanding apapun dalam kehidupan bangsa Indonesia melebihi agenda politik. Siang malam, tiap bulan, tiap tahun, headline, ngrumpi, obrolan gardu, apapun saja sesungguhnya berpangkal dan berujung pada agenda politik.

Disebuah provinsi saya diajak ketemu oleh seorang wali kota, di saat lain oleh sekelompok pemuda dari suatu komunitas, juga di malam lain seorang pemimpin pembela kaum miskin urban semuanya untuk agenda yang sama: yakni membicarakan nasib ribuan orang yang berumah di bawah jalan tol.

Tatkala ajakan itu disampaikan kepada saya, saya benar-benar sibuk menonton televisi yang menayangkan berita bahwa Pak Gubernur provinsi itu sedang naik podium menyatakan akan mencalonkan diri menjadi presiden mendatang.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis dan shalat taubat kepada Allah gara-gara seekor unta terpeleset nun jauh di sana namun masih di wilayah tanggungjawab kekhalifahannya. Ia begitu merasa bersalah. Agenda pak Umar benar-benar berbeda dengan agenda Pak Gubernur.

~

Sejumlah orang akan membantah kalimat-kalimat ini. Tetapi, saya sendiri sudah terlalu tua untuk mampu membantah hal itu. Saya sudah uzur dan ditipu mentah oleh fakta-fakta kehidupan, sehingga sampai menjelang kepala enam saya belum memulai apapun untuk memperjuangkan karier saya: jangankan lagi untuk menegakkan kebenaran.

Tentu saja kalau yang dimaksud karier adalah berkuasa, kaya, dan terkenal: sudah lama—menurut ukuran saya dengan hidup tempe sambal dan menikmati cuci kaus piring: saya tidak memiliki problem apa-apa. Tetapi, yang saya maksudkan karier adalah mandat kekhalifahan dengan konten dan skala yang jelas yang sudah lama saya siapkan namun tidak ada gejala bahwa sejarah manusia ini memerlukan kualitas kesejahteraan hidup semacam itu.

[oleh Muhammad Ainun Nadjib]

*dapat dibaca di buku ‘Jejak Tinju Pak Kyai’ cetakan tahun 2008

#WHOISMUHAMMAD: KANJENG NABI MUHAMMAD ﷺ

IMG_2424.JPG

Kita telah menyakiti hatinya.

Lelaki itu,
Kekasih yang kedalaman cintanya tak tertandingi itu,
Telah kita sakiti hatinya.
Ia bahkan tidak pernah peduli kepada dirinya sendiri,
Tapi kita menyakiti hatinya.

Ia hidup untuk menyelamatkan kehidupan kita,
Tapi kita menyakiti hatinya.

Ia menghabiskan siang dan malam untuk keselamatan kita;
Ia bersujud memohon neraka agar dijauhkan dari kita;
Bahkan ia mati dengan menyebut-nyebut nama kita,
Tapi kita menyakiti hatinya.

Karena ada dia maka kita pun ada,
Tapi karena ada kita maka dia menjadi menderita.

Lelaki itu bahkan lebih mulia dari surga,
Namun ia merendah menjadi debu hina.

Keagungan pribadinya tak tertandingi oleh seribu jagad raya,
Tapi selalu ia menundukkan kepala sebagai hamba yang papa.
Ia bukan tinggal di surga,
Tapi surgalah yang bergembira tinggal di dalam dirinya.
Kebahagiaan merasa bahagia karena kebahagiaan tinggal di dalam jiwanya.

Tapi tiap larut malam tiba ia mengucurkan air mata,
Karena bersedih melihat nasib kita.
Tiap malam ia menangis dalam sujudnya,
Karena hatinya perih memandang kehidupan kita.

Ia dilarang masuk neraka,
Api neraka haram menjilatnya,
Karena kalau sampai api neraka itu menyentuhnya,
Api itu padam dan lenyap panasnya,
Api yang gemuruh tiba-tiba senyap.
Jika lelaki itu melangkahkan kaki di tepian neraka,
Seluruh api rebah,
Semua kedahsyatan itu bersimpuh di hadapan wajahnya yang teduh.

Jibril dan semua malaikat yang lain berjalan berduyun-duyun di belakang langkahnya, menjadi makmumnya.
Semua makhluk Allah di belakang langkahnya menjadi makmumnya.

Ya Allah terimalah kami menyelipkan di antara makmum-makmum itu.
Melompat semesta demi semesta.
Bertasbih kepadanya sang Aza wajala.

Maafkan kami ya Rosul,
Kami telah menyakiti hatimu.
Kami tidak mampu menjaga perasaanmu ya Rosul.

Amat sangat ia mencintai kita,
Tapi kita membalasnya dengan dusta.
Dengan hidup yang main-main.
Dengan langkah yang main-main.
Dengan keputusan yang main-main.
Dengan kepemimpinan yang main-main.
Dengan cara hidup yang hina dan penuh aniaya.
Semua orang telah dibutakan matanya.

Ia penghulu rahmatan lil ‘alamin.
Tapi kita main-main.
Akal kita dayagunakan untuk pandai maling.
Negara kita makdubbin.
Pemimpin kita dholim.
Alam menjadi demam.
Bumi bergetar.
Lempengan-lempengannya menggeliat seperti nadza’.
Gunung panas suhunya.
Laut meluap airnya;
Api neraka tidak sabar hatinya meluap ke atas bumi;
Memanggang kita dan anak-anak kita.

Wahai penghulu rahmatan lil ‘alamin.
Ihdinassirotol mustakim…

[Allah Tuan Rumahku (Rasulullah Penjaga Pintunya) — Prayogi R. Saputro dalam Spiritual Journey: Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib]

15 Januari 2015

*gambar dari sini.

MUNAFIK

“Lho, saya kan tidak pernah meminta anda untuk menafsirkan diri saya seperti apa. Kalau anda kecele, itu bukan urusan saya. Lha wong saya ini sebenarnya munafik kok, lha kok anda menteorikan saya ini orang baik. Piye tho? Hhe.”

Anda akan menjumpai orang yang lebih banyak lagi seperti saya, entah itu di masjid-masjid, di tempat umum, di sekolah, di kantor, di gedung pemerintahan, di tv, dimana pun anda berada. Tapi tidak termasuk anda. Anda kan orangnya hebat, jujur dan konsisten antara wajah; ucapan; tindakan; hati; dan tujuan. Beda dengan saya.

Tujuan dan cara harus saya bolak-balik sesuai dengan apa yang pada momentum tertentu memberi saya laba. Mana tujuan mana cara, harus patuh pada kepentingan saya. Saya hampir tidak pernah melakukan suatu perbuatan apa pun yang saya maksudkan benar-benar untuk perbuatan itu sendiri. Hati saya penuh pamrih tersembunyi, pikiran saya sarat strategi penipuan, tak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri saya sendiri.

Kalau saya shalat, bukan saya benar-benar shalat. Itu saya ngakali Tuhan. Shalat saya hanya alat untuk mencari kemungkinan tambahan agar tercapai kepentingan tertentu yang saya simpan diam-diam dan anda tak boleh tahu. Misalnya, shalat saya bertujuan agar cita-cita saya tercapai, di bidang kekuasaan, kenaikan pangkat, atau pembengkakan deposito bank saya. Tetapi, apa aslinya pamrih saya anda tak akan tahu, sebab anda terlalu meremehkan atau under estimate tingkat kejahatan dan keserakahan hidup saya.

Kalau saya pergi umroh, anda harus cerdas dan waspada karena sebenarnya Tuhan dan rumah-Nya bukan fokus dari kepergian saya. Anda sebaiknya jangan terlalu lugu. Hidup ini sangatlah luas dan canggih, jumlah kemungkinan tak terhingga, dan semesta nafsu kehidupan serta karier saya jauh melebihi luasnya cakrawala kemungkinan.

Kalau saya berbuat baik kepada masyarakat, jangan dipikir tujuan utama saya adalah deretan kebaikan-kebaikan itu. Ada yang lebih fokus di kandungan hati saya.

Itu sekedar contoh saja. Intinya jangan percaya kepada saya dan apapun yang saya lakukan. Belajarlah meningkatkan dan merangkapkan kewaspadaan intelektual maupun spiritual. Saya seorang yang fasih, mampu memesonakan orang banyak dengan ayat-ayat Tuhan yang saya bacakan, sanggup memukau publik dengan uraian-uraian ilmu sosial aplikatif empiris. Tetapi kalau indikatornya atau parameternya yang anda pakai untuk menilai saya adalah ucapan-ucapan saya, maka anda orang yang dungu.

Quote dalam tulisan tersebut dapat dibaca di buku ‘Jejak Tinju Pak Kyai’ karya Muhammad Ainun Nadjib.

14 Januari 2015

PIYE ENAK JAMANKU TO?

Saya kira ungkapan ini benar. Lebih enak di zaman orde baru daripada zaman setelah reformasi.

Di zaman orde baru jelas iblisnya siapa. Yang kaya kampung sebelah mana. Yang pingin kaya siapa saja. Korupsi pun tidak menjadi bahan pemberitaan, sehingga adem ayem tentrem hati rakyat.

Di zaman pasca Reformasi. Iblisnya tidak ketahuan. Kadang dikira malaikat, dikira menolong, dikira bagian rakyat, eh ternyata bukan. Kamuflasenya pol-polan. Yang kaya kampung mana ndak jelas. Yang ingin kaya buanyak sekali. Maka negara bikin perlombaan setiap lima tahun sekali secara nasional dan beberapa tahun sekali secara daerah. Pemberitaan korupsi pun tak tanggung-tanggung. Rakyat budrek setiap saat, tahu wilayahnya ternyata hancur lebur oleh wakilnya sendiri-sendiri.

13 Januari 2015

NASIHAT MENUJU PERNIKAHAN: SURAT

IMG_2416.JPG

Surat ini datang beberapa hari setelah sidang sarjana saya selesai.

“Ini ada titipan untukmu.” Kak Elsa memberikan amplop coklat seukuran folio.

“Dari siapa kak?”

Kak Elsa merapikan jilbab. Bros yang dipakainya terlepas.

Sebenarnya saya tidak begitu kenal dengan kak Elsa—apalagi dengan laki-laki yang menulis surat ini. Baru satu tahun saya mengenal kak Elsa, itu pun kami jarang berkomunikasi.

Ketika kak Elsa menyebutkan nama, segera saya tahu siapa yang dimaksud—tepatnya tahu namanya, tetapi tidak pada orangnya.

Dua tahun yang lalu, nama yang sama pernah menuliskan surat untuk saya. Kejadiannya lucu, saya tergelitik mengingatnya. Beginikah laki-laki jika jatuh cinta?

Dulu ada sebuah paket datang beralamatkan rumah saya. Tapi bukan saya yang menerima, melainkan adik saya; Rajasa. Rajasa memberikan paket tersebut kepada ibu saya.

Kasihan laki-laki itu.

Paket terlanjur dibuka oleh adik saya dengan ibu saya—tanpa saya.

Di dalam paket tersebut, terselip sebuah surat. Seharusnya Rajasa tidak boleh membacanya. Ibu yang menyuruhnya.

Rajasa semangat sekali membaca surat itu, seolah-olah ia sedang diberi tugas oleh gurunya untuk membacakan sebuah cerita di depan kelasnya. Ibu mendengarkan, sesekali tersenyum, kalimat demi kalimat meluncur dari adik saya tanpa intonasi yang baik. Ibu tersenyum lagi—terkenang bagaimana ayah dua puluh lima tahun yang lalu jatuh cinta kepada ibu. Tentunya ayah tidak segila laki-laki ini. Ibu tersenyum lagi.

Sebenarnya laki-laki ini bermaksud baik. Tapi entah kenapa, di hati saya tidak ada rasa kepadanya.

Baru empat tahun belakangan saya menata diri. Berjilbab, lalu memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Seabrek kegiatan kampus telah menyita banyak waktu, namun Tuhan begitu cepat memberikan ujian; cinta.

~

Malam ini Surabaya turun hujan rintik. Kami tidak kemana-mana. Biasanya ayah mengajak kami makan di luar atau sekedar jalan-jalan untuk menghabiskan malam akhir pekan. Tapi tidak untuk malam ini, kami hanya berkumpul di ruang tengah saja.

Akhirnya saya berani untuk berbicara mengenai surat itu. Ibu duduk di samping saya, merangkul. Sementara ayah di ujung sofa mendengarkan.

Ini kali pertama saya bercerita kepada ayah mengenai cinta. Ibu yang seringkali mendengarkan curhatan saya.

Setelah bercerita, Ayah mendekat.

“Kakak kan baru saja lulus. Masih jauh untuk menikah. Tapi kalau kakak mau menikah, ayah tidak memaksa.”

Ayah orang yang bijak. Ibu mengiyakan.

Dulu ibu menikah dengan ayah ketika umur dua puluh dua tahun. Sama persis dengan umur saya saat ini. Melahirkan kak Anna setahun kemudian. Lalu empat tahun setelah itu lahirlah saya. Adik saya Rajasa terpaut jauh.

Kak Anna sudah berkeluarga sejak tiga tahun yang lalu. Otomatis Rajasa menjadi tanggungjawab saya.

Saat-saat semangat mendalami agama, saya pernah ingin untuk menikah di usia muda, bahkan sering merasa iri dengan shalihat lain yang berani menikah meski masih kuliah. Padahal tanggungjawab menikah itu luar biasa adanya, bagaimana mereka bisa mengatur waktu kuliahnya? Pertanyaan itu selalu menyisakan kagum.

Cinta adalah ujian. Hey, bukankah ujian itu mendewasakan? Mematangkan bagaimana kita memandang sesuatu hal.

~

Beberapa minggu berlalu. Surat itu masih tergeletak sepi di meja kamar. Saya belum menjawabnya. Kesibukan menjelang wisuda serta persiapan mencari kerja sungguh menyita waktu.

Keinginan menikah muda hanya semangat belaka. Sejatinya saya masih ingin hidup sendiri. Mencari kerja, menemanai Rajasa, dan membahagiakan ibu dan ayah. Selain itu saya belum kenal apa-apa dengan lelaki itu, saya belum mencintainya.

~

Sent.

Email terkirim.

Tiga lembar jawaban, saya kirimkan ke email mba Elsa.

~

Ini keputusan terbaik, belum ada kemantapan hati bagi saya untuk menikah—setidaknya dengan lelaki itu.

13 Januari 2014

[gambar dari sini.]

ALLAH TIDAK TEGAAN, SEKALIGUS TEGELAN

IMG_2400.JPG

Allah itu sangat tidak tegaan kepada orang-orang yang berbuat baik–dan tentu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Tapi ingat, Allah juga sangat tegelan kepada siapa saja yang terang-terangan memantati-Nya.

Dan tidak ada satu pun makhluk yang mampu menyamai tegelnya Allah.

So flee to Allah, so flee to Allah.

11 Januari 2015

NASIHAT MENUJU PERNIKAHAN: PROPOSAL

“Kamu tahu?” Pak Tua menyergap. “Gadis itu sedang dilindungi dengan apa yang telah menjadi keputusannya tersebut.”

~

Malam ini, angin di tepian pantai Tuban belum begitu menusuk. Saya dan pak Tua (seperti biasa) keluar untuk sekedar duduk-duduk. Di ujung horison sana terdapat sebuah pulau. Pulau Bawean namanya. Pulau kecil berjarak tiga jam dari pelabuhan Gresik. Dan dari sanalah perasaan-perasaan ini semakin tumbuh–sejak empat tahun yang lalu.

“Jadi, gadis itu telah menerima suratmu?”

Saya mengangguk.

Bulan November tahun lalu–atas nasihat pak Tua–saya mengirimkan surat itu, lebih tepatnya proposal, proposal perkenalan untuk seseorang di pulau Bawean.

Lin Lin.

Namanya Lin Lin. Penamaan yang khas dari dialek Hokkian. Orang Hokkian adalah perantau mayoritas di negeri ini. Dulu di zaman kolonial Belanda, pemerintah Batavia pernah membatasi kuota perantau dan mendata mereka berdasar daerah asal. Setidaknya ada empat kelompok besar, yaitu; Hokkian, Tiochiu, Konghu, dan Hakka. Mayoritas orang Hokkian berasal dari daerah pesisir, seperti Zhangzhou dan Quanzhou. Mereka adalah pekerja keras dan pandai berdagang.

Lin Lin adalah orang Hokkian, ia tinggal di belakang pasar Kembang Jepun Surabaya. Ia baru saja lulus sarjana dari sebuah Institut kota tersebut. Setahun terakhir ia menghabiskan waktunya untuk Indonesia Mengajar. Pulau Bawean menjadi tempatnya menaruh sejengkal kepeduliannya di dunia pendidikan.

Saya tidak tahu apa-apa tentang Lin Lin, sampai suatu hari pak Tua mengajak saya membeli perlengkapan melautnya. Di toko Akiong itulah saya jatuh hati kepada Lin Lin.

Akiong adalah ayahnya. Pedagang besar di kota Surabaya. Tidak seperti orang Hokkian kebanyakan, keluarga Akiong telah lama memeluk Islam. Lin Lin di toko itu terlihat anggun dengan jilbab besarnya tertutup longgar. Semenjak itu, separuh hati saya tertinggal.

“Dia sudah membalas suratmu?” Tanya pak Tua pendek-pendek.

Saya kembali mengangguk.

“Lalu?”

Saya diam.

Empat tahun lamanya perasaan itu saya jaga. Dan hanya pak Tua yang tahu. Setelah lama terbenam, pak Tua menyarankan agar saya menanyainya–tentang perasaan ini.

“Saya sudah menerima surat itu. Kemarin.”

Angin berhembus. Malam beranjak larut. Pak Tua senyap mendengarkan.

“Dia belum siap menikah. Dia ingin melanjutkan pendidikannya. Adiknya juga masih kecil, dan butuh penjagaan kakaknya. Ayah dan Ibunya telah menyetujui keputusannya tersebut.”

Suara ombak terdengar di kejauhan, melenyapkan perasaan-perasaan yang saya keluarkan satu per satu.

“Apapun latar belakangnya, ia menolak proposal saya.”

Pak Tua mendekat. Ia hendak menasihati. Pak Tua adalah penasihat ulung!

“Dengar. Betapa banyak manusia setelah sekian lama terjadi baru menyadari bahwa Tuhan amat mengenali dan menyayangi ciptaan-Nya. Apakah kamu lupa dengan peristiwa di Bandara tempo lalu?” Tanya pak Tua.

Saya menggeleng.

Saya belum melupakan peristiwa itu, dan saya tahu kemana arah nasihat pak Tua ini.

Minggu yang lalu saya kesal bukan main kepada pelayanan Bandara Soekarno Hatta. Bus kecil berwarna kuning (Shuttle Bus) milik Angkasa Pura telat hampir setengah jam. Padahal di dalam tulisan, bus tersebut akan datang setiap sepuluh menit. Terminal satu ke terminal tiga lumayan jauh. Satu jam lagi penerbangan akan ditutup. Bus kuning itu belum terlihat keberadaannya. Setengah jam berlalu, bus datang. Di dalam bus, saya was-was. Pasti telat, gumam saya. Sampai di terminal tiga, pintu check in sepi. Tidak terlihat antrian seperti biasa. Penerbangan telah ditutup. Tiket saya hangus.

Namun dari peristiwa itu, Tuhan menyelamatkan saya, pesawat yang seharusnya saya tumpangi gagal take off, terperosok di ujung run way. Beberapa bagian pesawat terbakar.

~

“Kamu tahu? Gadis itu sedang dilindungi dengan apa yang telah menjadi keputusannya tersebut.” Pak Tua menasihati.

Iya. Saya berkeyakinan sama seperti pak Tua. Mungkin akan jauh lebih baik jika Lin Lin menolak proposal itu. Lin Lin gadis yang baik. Tuhan mencintainya. Orang yang baik pastilah dipertemukan dengan orang yang baik juga. Mana mungkin Tuhan tega?

Dan tentunya tidak akan timbul fitnah apa-apa jika Lin Lin menolak saya, karena saya bukan termasuk golongan di dalam hadits yang banyak orang bicarakan saat peristiwa pernikahan menjelang.

Empat tahun lamanya perasaan itu saya jaga, dan malam ini tibalah waktunya untuk dilepas.

Dari suratnya itu, saya baru tahu kalau Lin Lin bukan anak pertama Akiong, melainkan anak keduanya.

Surat itu tiga lembar banyaknya. Surat pertama dan terakhir Lin Lin kepada saya.

11 Januari 2015