Ada yang mengira saya wahabi, ketika saya sering membagikan tulisan-tulisan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Terlebih tentang syariat yang tidak biasa dilakukan oleh sebagian teman-teman saya.
Saya tanya apa itu wahabi kepada teman saya yang menganggap saya berbau wahabi. Pada intinya jawaban yang saya dapatkan adalah wahabi sesat.
Pada tulisan kali ini saya tidak ingin berbagi mengenai wahabi, karena saya tidak tahu persis apa itu wahabi, sesatnya bagaimana, dll.
Dulu, ketika saya melihat orang-orang kesana-kemari menggunakan pakaian muslim, saya mengira orang-orang tersebut berasal dari kelompok sesat, yang memiliki dan mendakwahkan ideologi ‘sesat’nya. Laki-laki bergamis, bercelana cingkrang, jenggotnya aduhai panjang nan lebat. Kesana-kemari membawa peci putih bak seorang haji. Yang perempuan tak kalah ‘aneh’, berpakaian jilbab besar, hitam-hitam, dan bercadar. Tidak seperti masyarakat pada umumnya.
Nah, ukuran tidak seperti pada masyarakat umumnya inilah yang membuat saya dan sebagian masyarakat menyematkan sesat kepada kelompok tertentu.
Kalau ada sebagaian kelompok yang tidak melakukan ritual keagamaan pada umumnya maka dicap sesat. Mudah sekali kita menganggap sesat kelompok-kelompok tertentu. Padahal kelompok-kelompok tertentu itu membuat onar pun tidak.
Islam yang sesat itu apa?
Banyak diantara kita akan menjawab: Islam yang sesat itu; Islam yang keluar dari jalurnya. Menyimpang dari kebenaran, dan mengajarkan kesesatan.
“Islam yang keluar dari jalurnya maksudnya bagaimana? Dan kesesatan itu apa?”
Kita terdiam.
Nah, inilah yang menjadi persoalan. Kita sering menyematkan sesat karena ikut-ikutan. Kita amat mudah menuduh sekelompok tertentu sesat, menyimpang, dsb. Tapi kita tidak tahu standart sesat itu yang seperti apa.
Dalam tulisan kali ini saya akan berbagi mengenai hal ini.
Sesat, dalam agama kita sudah jelas ukurannya. Yaitu apa-apa yang keluar dan menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti yang disebutkan di dalam hadist di bawah ini:
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, yang membuat kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi (Hadist).”
[Hadist ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam kitab Musnadnya 4/126, oleh Abu Daud dalam kitab Sunnah, bab Luzumu as sunnah 4/200-201, no. 6405, Tirmidzi pada bab-bab ilmu, bab Ma Jaa fil Akhzi bi Sunnah 4/55, no. 2676. Ibnu Majah pada Mukaddimah, bab Ittiba sunnah al khulafa 1/15, no. 42, dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan. Lihat Shahih Sunan Tirmidzi 2/341, no. 2157, Shahih Sunan Ibnu Majah 1/13, no.40]
Nah, itu adalah standart kesesatan di dalam Islam. Bagaimana kita tahu suatu ajaran sesat atau tidak, kita harus mengerti timbangannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Berarti jelas, bahwa vonis sesat di dalam Islam bukan persoalan mudah.
Orang-orang seringkali mengukur sesat tidak sesat, benar atau tidak benar hanya berdasarkan pada kebiasaan kebanyakan orang. Padahal kebiasaan dari kebanyakan orang tersebut tidak bisa kita jamin sebagai representasi dari ajaran Islam yang benar. Bahkan ada tata cara ibadah–yang jelas dituntunkan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah–pun seringkali dianggap menyimpang, karena kita tidak terbiasa menggunakan cara ibadah seperti itu.
Umat Islam itu satu, dan hanya akan satu. Dibelahan bumi manapun, ajaran Islam akan tetap sama. Karena sumbernya sama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sudah menjadi kewajiban setiap Muslim untuk tahu, kenal, dan mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apakah kita hanya berhenti di level ini saja? Tentu tidak.
Setelah mempelajari, kita harus mengamalkan. Jangan cuma menjadi ahli ilmu, tapi harus menjadi ahli amal. Mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang dipahami oleh Nabi SAW dan para sahabat beliau.
Islam itu hanya satu. Yaitu Islam yang dipahami, diyakini, dan diamalkan oleh Rasulullah SAW di masa hidup beliau, bersama para pengikut beliau kala itu, yaitu para sahabat.
Janji terlepas dari kesesatan hanya untuk orang yang berpegang teguh pada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi SAW bukan dalam teks saja. Tapi juga makna dan intepretasinya.
Pemahaman terhadap Al-Qur’an itulah yang dijabarkan di dalam Hadist-Hadist Nabi SAW, dalam bentuk ucapan maupun pengamalan. Hal itu diikuti langsung oleh para sahabat, yang kala itu adalah komunitas sekaligus generasi pertama dari generasi Al-Qur’an.
“Barangsiapa yang hidup sesudah wafatku, pasti akan mendapatkan perbedaan pendapat yang banyak. Maka (bila kalian mendapatkan kondisi itu), berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa Ar-Raasyidin…”
[Hadist ini dikeluarkan oleh Ahmad dikitab Musnadnya 4/126, Abu Daud di kitab Sunnah, bab Luzumu as sunnah 4/200-201, no. 6405, Tirmidzi pada bab-bab ilmu, bab Ma Jaa fil Akhzi bi Sunnah 4/55, no. 2676. Ibnu Majah pada Mukaddimah, bab Ittiba sunnah al khulafa 1/15, no. 42, dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan. Lihat Shahih Sunan Tirmidzi 2/341, no. 2157, Shahih Sunan Ibnu Majah 1/13, no.40]
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, memberi penjelasan sebagai berikut, “Sunnah makna sejatinya secara bahasa adalah jalan yang dilalui, dan diantara maknanya secara istilah adalah berpegang teguh pada metodologi yang dijalankan oleh Rasulullah SAW dan para Al-Khulafa Ar-Rasyidin, dalam wujud keyakinan, amalan, dan ucapan. Itulah perwujudan sunnah yang sempurna.” [ditulis di dalam kitab Jami’ul Ulumi wal Hikam I: 120]
Memandang realitas umat Islam–yang banyak menjauhi majelis-majelis ilmu, lalai dalam mendalami ajaran Islam–sudah dapat dipastikan kesesatan justeru merajalela di tengah kehidupan kita. Karena, apabila ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist jarang dipelajari, akan banyak ilmu tentang kebenaran yang tidak diketahui. Hal ini akan menjadi sumber banyak pelanggaran hukum Allah. Dampaknya banyak orang yang melaksanakan ibadah, meyakini, dan memola persepsi tentang sesuatu tidak berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mari kita saling merenung.
Sudah sejauh mana kita bersemangat untuk mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnah? Sudah seberapa persen amaliah kita yang kita peroleh dari hasil dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah? atau sudah seberapa banyak kita telah mempelajari aturan, bimbingan, dan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari secara detail dan rinci? katakanlah seputar adab-adab hukum jual beli, adab-adab berumahtangga, adab-adab bertetangga, adab-adab berhubungan lawan jenis, adab-adab makan, adab-adab tidur, dsb.
Kalau perenungan tersebut menyimpulan bahwa kita masih kurang, atau bahkansangat kurang, maka jelaslah banyak potensi kesesatan dalam hidup kita.
Jika hal itu kita bawa ke ranah kehidupan sehari-hari akan menjadi sumber perbuatan dosa. Kalau kita bawa ke ranah ibadah, banyak ibadah yang tertolak.
Demikian, semoga menjadi bahan bermuhaasabah.
Ya Allah, jadikan kami orang-orang yang berilmu, atau setidaknya orang-orang yang menyukai ilmu. Yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Mu. Aamiin.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (untukmu), dan lebih baik akibatnya. [QS. An-Nisaa’: 59]
Salam,
Yang Perlu Dinasihati
*sebagian besar isi bersumber dari tulisan Abu Umar Basyier.