KEREDHAAN ALLAH

Atas secuil ujian yang tak berbanding lurus dengan apa yang telah aku usahakan.

Buru-buru kupersalahkan kehendak Tuhan.

Menyangka terhadap-Nya dengan bermacam prasangka. Menyangka yang tidak benar kepada-Nya.

“Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepadaku melainkan tipu-tipu!” (qs. 33:12).

Padahal yang ada adalah kecemasan yang datang dari dalam diri sendiri saja (qs. 3:154).

~

Betapa aku ini amat kerdil taqwanya; amat culas ibadahnya: amat munafik bathinnya.

Mengukur rizqi linier saja; hanya berupa harta dan kemudahan hidup saja.

~

“Bertaqwalah kepada Allah, Allah akan adakan jalan keluar; Allah akan ulurkan rizqi-Nya dari arah yang tidak kamu sangka-sangka.” (qs. 65: 2-3).

Mahasuci Allah yang tidak pernah menyalahi janji-janji-Nya.

Sebab Sa’d ibn Mu’adz yang bergelar ‘terkasih’; yang ibadahnya amat total; yang taqwanya tidak diragukan, hartanya itu-itu saja. Meski keras ia bekerja; berkapal muka tangannya; pecah guratan genggamannya, ia redha pada apa-apa yang diperolehnya.

Kalau saja redha Allah itu terletak pada mudahnya hidup dan gemilangnya harta, tentu Rasulullah tak sampai berdarah pelipisnya, tak sampai rompal gigi serinya, tak sampai melilit perutnya, tak sampai termiskin kehidupan dunianya.

Kalau saja redha Allah terletak pada mudahnya hidup dan gemilangnya harta, tentu makhluq yang mendurhakai-Nya telah punah keberadaannya.

Di dalam Islam mudah sukar, miskin gemilang tidak jadi ukuran atas keredhaan Allah.

Abdurrahman bin ‘Auf berkemudahan dan bergemilang kehidupan dunianya. Terkaya pada masanya. Namun terjamin sebagai makhluq surga.

‘Ali bin Abi Thalib maharnya hanya dari jualan baju besi pemberian; perabotan rumah tangganya tak bermacam; Alas tidurnya hanya satu lembar saja. Namun baginya juga terjamin surga.

Apapun yang ditimpakan dan dikaruniakan Allah kepada mereka, mereka redha pada Allah, dan Allah redha pada mereka.

~

Hanya orang tak bersabar yang menghalalkan yang haram.

Haram-haram yaa Qolu (haram-haram ya tertelan).

Dunia adalah ladang penghambaan.

Berkarya dan berketekunan adalah cara meraih cinta-Nya.

Karena yang paling penting bukan pendakuan kita cinta kepada Allah, namun cintakah Allah kepada kita.

09 Agustus 2014

*dipost ulang di 28 November 2014.

LILLAH; BILLAH; FILLAH SECARA KAFFAH

Tulisan ini sebenarnya merupakan reaksi saya kepada pimpinan pembangunan SDIT dan tokoh majlis suatu organisasi Islam legal di bawah naungan MUI, yang mana pada malam itu sedang membahas bantuan pengadaan komputer dari sebuah instansi bank konvensional.

Saya share di sini, dan saya ijinkan orang lain untuk membacanya.

Prolog:
Organisasi Islam tersebut hendak membangunan sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) berlantai tiga di daerah dimana saya bekerja. Pada bulan Agustus lalu mengajukan proposal bantuan pengadaan komputer dalam program BRI PEDULI. Singkat cerita, proposal tersebut tembus, dan program BRI PEDULI siap membantu. Dengan beberapa syarat.

Ketika pembahasan mengenai perlengkapan pencairan dana telah selesai, jiwa brandal saya tiba-tiba menggoda untuk masuk dan memberikan pendapat ke panitia maupun ketua majlis (cabang) agar menolak bantuan tersebut.

Menolak bantuan dana yang sudah di depan mata? Gila.

Berikut adalah tulisan, yang saya sampaikan di dalam grup whatsapp kepanitiaan pembangunan SDIT. Saya share, agar tulisan tersebut dapat diambil ilmunya. Sebagai cermin diri bahwa pengamalan LiLlah, BiLlah, FiLlah secara Kaffah memang amat susah (baca: butuh perjuangan.)

****

Bagaimana bisa SDIT meminta bantuan kepada suatu instansi yang menjalankan bisnisnya dengan riba, sementara bapak-bapak setiap minggunya, setiap waktunya meneladankan kepada saya dan warga yang lainnya agar sebisa mungkin menghindari riba.

Islam adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hendaknya para pembimbing dan kita semua agar ikhlas, sadar, paham terhadap Islam, mau-mampu membela Islam, berjihad fi sabilillah, menegakkan hukum-hukum-Nya, dan tidak mempedulikan celaan bahkan bantuan dari instansi atau orang lain (yang mana kita sadar) bantuan tersebut berasal dari hal yang tidak thayyib.

Bukankah begitu yang diteladankan oleh ustadz-ustadz di M? Islam secara keseluruhan.

Bukan menjadikan Islam pecah-pecah. Ambil sebagian, abaikan sebagian. Ada yang fokus kepada pendidikan penyucian jiwa (tauhid), tapi sebaliknya meremehkan perintah untuk beramar makruf dan nahi mungkar. Ada yang fokus kepada simbol-simbol Islam, memelihara jenggot maupun berjilbab, namun di sisi lain mengabaikan penegakan kalimat Allah melalui hukum-hukum Allah. Ada yang fokus untuk memberikan pengarahan kepada pelajaran agama, tetapi meremehkan aspek dakwah dan gerakan jihad. Dan menganggap, dengan hal itu ia telah menolong Islam serta memasyaratkan Islam kepada masyarakat.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan),”

Saya tidak tahu dan tidak paham, apakah ayat tersebut ditujukan kepada orang lain ataukah kepada saya, ataukah kepada tiap-tiap mukmin.

“dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. 2:208)

SDIT ruhnya adalah Islam, berangkat dari nilai-nilai Islam. Asal dan tujuannya adalah LiLlah, BiLlah, FiLlah. Maka sudah semestinya harus dilahirkan dan dibesarkan dengan hal-hal yang halal dan dengan hal-hal yang thayyib.

Saya mohon maaf sebelumnya, jika sekiranya tulisan ini mengendurkan perjuangan bapak-bapak. Saya mengingatkan ini bukan berarti saya mampu untuk membantu SDIT dengan kisaran dana tersebut. Namun tulisan ini sebagai bentuk ikhtiar saya untuk saling mengingatkan. Pendapat ini boleh diambil boleh juga tidak, karena saya tidak mengerti betul tentang riba. Boleh jadi tulisan ini hanyalah godaan syaithan kepada saya agar bapak-bapak menolak bantuan tersebut. Akhirnya kita tidak mendapatkan apa-apa.

Namun saya yakin, insyaAllah warga M siap bergotong royong membantu SDIT dalam hal pengadaan komputer dan lain-lain melalui jalan yang halal dan thayyib, karena SDIT telah menjadi misi perjuangan tiap-tiap warga M khususnya, dan perjuangan Muslimin seluruhnya.

Kalau toh Allah tak karuniakan nilai sebesar itu, semoga Allah karuniakan hal lain, yang lebih tepat bagi kita semua, terserah Allah mau bagaimana, bisa jadi Allah karuniakan kesabaran kepada kita sehingga kita mampu berhati-hati dan mengamalkan yang Allah perintahkan di dalam Al-Qur’an dan mengamalkan suri tauladan Rasulullah SAW dan suri tauladan para sahabat yang terekam di dalam hadits-hadits, atsar-atsar, maupun sirah-sirah mereka.

Sehingga pada proses dan ujungnya tergapailah keberkahan, yang Allah limpahkan kepada kita semua, dari kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang, dan dari segala penjuru kehidupan kita. InsyaAllah.

~

Diantara cara terbaik untuk menjaga nikmat dan bersyukur kepada Allah adalah tidak menjadi pembela atau penolong mereka yang berbuat kesalahan, kekeliruan, dan kemaksiatan.

Allah SWT telah berfirman:

Musa berkata: “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” (QS. Al Qashash [28]: 17)

Mohon maaf atas kekerdilan ilmu dan kelancangan pendapat saya ini.

***

Saya menulis kemarin malam jam 23, diilmui dari buku Tarbiyatul Aulad fil Islam dan tumblr tweet ulama dan mengechecknya di Tafsir Ibnu Katsir.

Dan saya share disini bukan untuk mengkritik teman-teman yang bekerja di bank konvensional. Maupun prasangka buruk lainnya. Tiap-tiap kita memiliki keyakinan dalam pilihannya masing-masing.

Kalimat ‘agar sebisa mungkin menghindari riba’ saya maksudkan bahwa kita tak sepenuhnya berkuasa atas sistem di dalam kehidupan ini, misal: kita bekerja atau kuliah dimana pihak perusahaan maupun kampus telah bekerjasama dengan bank konvensional, tentu dalam kasus ini ada keterbatasan untuk memilih. Namun di aspek lain dimana kita berkuasa untuk memilih, sudah barang tentu kita memiliki kewajiban untuk memilih yang halal dan thayyib.

SDIT dalam hal ini memiliki kekuasaan untuk memilih, karena sedang tidak terjebak dalam sistem orang lain.

Kalimat yang lain semisal ‘Allah karuniakan kesabaran’ saya maksudkan bahwa, seringkali kita terjebak di dalam ketidaksabaran. Seorang pemuda-pemudi karena tidak sabar, melampiaskan hasrat cintanya kepada pasangan melalui jalan yang haram, pacaran misalnya. Padahal hasrat cinta pada dasarnya adalah fitrah tiap-tiap manusia. Seseorang pekerja di bank konvensional, pada mulanya juga tidak sabar dalam prinsipnya mengenai riba, sehinga saat diterima menjadi pegawai ia pasrah saja melakukan hal yang bertentangan dengan hatinya. Seseorang mencuri, korupsi, merampok, menipu, dll dilakukan karena ketidaksabarannya bekerja secara halal. Dan masih banyak contoh lain, bahwa kesabaran adalah karunia yang luar biasa, ia adalah bagian sari senjata utama seorang mukmin selain syukur.

Demikian tulisan ini saya share, semoga ada manfaat.

12 September 2014

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

*LiLlah (karena Allah); BiLlah (dengan pertolongan Allah); FiLlah (di atas syariat Allah).

SEBAIK PRASANGKA: BELAJAR KEPADA NUH ‘ALAYHISSALAM

Kita belajar kepada Nuh ‘alayhissalam.

Ketika doa (menurut sangka kita) tak pernah terkabulkan.

~

Pada saat itu Nuh memohonkan, agar sang putera diselamatkan.

“Ya Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau hakim yang seadil-adilnya.”

Nuh mengadu, membalikkan janji Rabbnya untuk menyelamatkan keluarganya. Karena Nuh dan kita sama; meyakini, bahwa Allah tak pernah ingkar janji. Bagaimana bisa, puteranya tenggelam sementara Allah adalah Dzat yang Mahabijaksana adanya.

~

Mari sejenak, kita ilmui firman Allah sebagai jawaban atas permohonan Nuh ‘alayhissalam.

“Hai Nuh, sesungguhnya dia adalah bukan termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatannya adalah) perbuatan yang tidak baik.”

“Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”

~

Allahu Akbar.

Mahasuci Allah yang tidak pernah mendzalimi makhluq-Nya.

Sebab kita yang lemah ini, seringkali menuduh Allah dengan berbagai macam prasangka.

A’uudzu billaahis samii’il ‘aliimi minas syaithaanir rajiim, min hamzihii, wa nafkhihii, wa naftsih.

~

Nuh ‘alayhissalam.

Melaluinya di dalam Al-Qur’an, kita petik berbagai pelajaran.

Karena kita yang berjiwa kotor ini menyadari, tak layak bercakap dengan Allah Yang Mahasuci.

Maka di lembar-lembar Al-Qur’an kita terisak, bahwa Allah sebenarnya tak hanya bicara kepada Nabi-Nya melainkan kepada kita juga.

~

Nuh ‘alayhissalam.

Berdoa mengiba memohon ampunan, mengemis dihadapan Rabbnya meminta belas kasihan.

“Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari sesuatu yang tidak aku ketahui (hakikat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas-kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang merugi.”

~

Fashbir; innal ‘aaqibata lil muttaqiin.

Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.

Salam.

16 Agustus 2014

*ilmu didapat dari Al-Quran surah Huud [11]: 45-49 dengan bantuan Tafsir Ibnu Katsir.

ALLAH, ALLAH, ALLAH

20140804-203419-74059659.jpg

Yang hebat itu bukan pada tongkatnya nabi Musa, ketika beliau ‘alayhissalam memukulkan tongkatnya ke batu, lantas bermunculan dua belas mata air yang mampu menghidupi seluruh kaumnya. (Qs. 2:60 | Qs. 7:160)

Yang hebat itu bukan pada tongkatnya nabi Musa, ketika beliau ‘alayhissalam memukulkan tongkatnya ke lautan, sehingga lautan terbelah setinggi gunung. (Qs. 26:63)

Yang hebat itu bukan pada tongkatnya nabi Musa, ketika beliau ‘alayhissalam melemparkan tongkatnya ke pelataran, lalu sekonyong-konyong menjelma ular yang mampu menelan lainnya. (Qs. 20: 19-20)

Anggap saja tongkat itu berhasil ditemukan oleh seorang arkeolog, mbok yao sampai ngeden pun arkeolog dan tongkat tersebut haqqul yakin tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk membelah lautan atau sekedar memancarkan mata air atau menggeliatkan tongkat tersebut seperti ular.

Atau begini, nabi Musa itu tidak harus pakai tongkat untuk membelah lautan, memancarkan mata air, atau mengubahnya menjadi seekor ular besar. Serius, tidak harus.

Tongkat itu kan suka-suka Allah menolong nabi Musa mau pakai sarana apa. Kalau saat itu nabi Musa pakai peci, sangat bisa kalau Allah berkehendak menggunakan peci tersebut sebagai sarana menolong nabi Musa. Pecinya dimiringkan ke kanan, lautan terbelah. Dimiringkan ke kiri, batu bebal muncul mata air, dilemparkan ke depan menjelma ular.

Nabi Musa mau pakai tulang sapi pun bisa kalau Allah berkehendak pakai tulang sapi.

Seperti halnya kaumnya nabi Musa yang memakai sebahagian tubuh sapi. Sekali pukul, hiduplah mayat penduduk yang tadinya mati. (Qs. 2:73)

Yang hebat? ya bukan sebahagian tubuh sapinya tersebut atau kaumnya nabi Musa.

Kalau tidak percaya, coba saja cari sapi betina dengan ciri-ciri persis yang dikisahkan di dalam al-Qur’an. Lalu cobalah pukul mayat atau bangkai apapun, kemudian ditunggu sampai mayat atau bangkai tersebut hidup lagi.

~

Dalam tulisan kali ini, saya ingin menyampaikan kepada diri saya sendiri bahwa betapa sering, apa yang saya miliki, menjadikan saya rela untuk mengkesampingkan Allah SWT.

Padahal Allah SWT adalah penyebab segala sesuatu.

Saya menyangka bahwa kecerdasan, pengetahuan, kekayaan, ketekunan, kesehatan, kedudukan, dan hal-hal rinci lainnya lah yang menjadikan segalanya terjadi dan terwujud.

Padahal Allah SWT adalah penyebab segala sesuatu. Dan apa yang saya sangka hanyalah sarana saja.

Laa haula walaa quwwata illa billah.

Maka dalam ikhtiar, berzikirlah langkah gerak saya. Maka dalam berdoa, berzikirlah harap cemas saya. Maka dalam tawakkal, berzikirlah prasangka saya. Maka dalam segala keadaan, berzikirlah hidup saya.

Allah, Allah, Allah.

04 Agustus 2014

Semoga bermanfaat.

Allah Dulu, Allah Lagi

Engkau ajarkan kepada kami:
Iyyaakana’budu, wa iyyaaka nasta’iin bukan Iyyaaka nasta’iin, wa iyyaakana’budu.

Tidak ada yang lebih penting daripada penghambaan kepada-Mu. Bahkan permohonan pertolongan itu sendiri.

Mahasuci Engkau, ketika kami beribadah ini dan itu, tujuan kami bukanlah penghambaan, melainkan pencapaian keegoisan kami sendiri melalui permohonan-permohonan yang kami panjatkan.

Dhuha kami bukanlah dhuha penghambaan. Kami hanya ingin dengan dhuha itu, Engkau lancarkan rezeki kami mengalir ke kantong-kantong kerakusan kami. Padahal, Engkau telah menjamin rezeki setiap makhluk-Mu yang hidup, namun sekali lagi, kerakusan kami yang menjadikan janji-Mu tak cukup. Kami takut, kami hidup di lubang kemiskinan dan kesusahan.

Lebih dari itu, kami terperangah sendiri, ternyata tahajjud kami, bukanlah tahajjud penghambaan. Puasa kami, bukanlah puasa penghambaan. Sedekah kami, bukanlah sedekah penghambaan. Dan syukur kami, bukanlah syukur penghambaan. Ya Allah… ternyata banyak sekali yang membuat kami tak sadarkan diri.

Kemanakah ikrar itu? Bahwa sholat kami, ibadah kami, hidup kami, mati kami, liLlahi Rabbil’alamin.

12 April 2014

Islam Sesat!

Ada yang mengira saya wahabi, ketika saya sering membagikan tulisan-tulisan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Terlebih tentang syariat yang tidak biasa dilakukan oleh sebagian teman-teman saya.

Saya tanya apa itu wahabi kepada teman saya yang menganggap saya berbau wahabi. Pada intinya jawaban yang saya dapatkan adalah wahabi sesat.

Pada tulisan kali ini saya tidak ingin berbagi mengenai wahabi, karena saya tidak tahu persis apa itu wahabi, sesatnya bagaimana, dll.

Dulu, ketika saya melihat orang-orang kesana-kemari menggunakan pakaian muslim, saya mengira orang-orang tersebut berasal dari kelompok sesat, yang memiliki dan mendakwahkan ideologi ‘sesat’nya. Laki-laki bergamis, bercelana cingkrang, jenggotnya aduhai panjang nan lebat. Kesana-kemari membawa peci putih bak seorang haji. Yang perempuan tak kalah ‘aneh’, berpakaian jilbab besar, hitam-hitam, dan bercadar. Tidak seperti masyarakat pada umumnya.

Nah, ukuran tidak seperti pada masyarakat umumnya inilah yang membuat saya dan sebagian masyarakat menyematkan sesat kepada kelompok tertentu.

Kalau ada sebagaian kelompok yang tidak melakukan ritual keagamaan pada umumnya maka dicap sesat. Mudah sekali kita menganggap sesat kelompok-kelompok tertentu. Padahal kelompok-kelompok tertentu itu membuat onar pun tidak.

Islam yang sesat itu apa?

Banyak diantara kita akan menjawab: Islam yang sesat itu; Islam yang keluar dari jalurnya. Menyimpang dari kebenaran, dan mengajarkan kesesatan.

“Islam yang keluar dari jalurnya maksudnya bagaimana? Dan kesesatan itu apa?”

Kita terdiam.

Nah, inilah yang menjadi persoalan. Kita sering menyematkan sesat karena ikut-ikutan. Kita amat mudah menuduh sekelompok tertentu sesat, menyimpang, dsb. Tapi kita tidak tahu standart sesat itu yang seperti apa.

Dalam tulisan kali ini saya akan berbagi mengenai hal ini.

Sesat, dalam agama kita sudah jelas ukurannya. Yaitu apa-apa yang keluar dan menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti yang disebutkan di dalam hadist di bawah ini:

“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, yang membuat kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi (Hadist).”

[Hadist ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam kitab Musnadnya 4/126, oleh Abu Daud dalam kitab Sunnah, bab Luzumu as sunnah 4/200-201, no. 6405, Tirmidzi pada bab-bab ilmu, bab Ma Jaa fil Akhzi bi Sunnah 4/55, no. 2676. Ibnu Majah pada Mukaddimah, bab Ittiba sunnah al khulafa 1/15, no. 42, dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan. Lihat Shahih Sunan Tirmidzi 2/341, no. 2157, Shahih Sunan Ibnu Majah 1/13, no.40]

Nah, itu adalah standart kesesatan di dalam Islam. Bagaimana kita tahu suatu ajaran sesat atau tidak, kita harus mengerti timbangannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Berarti jelas, bahwa vonis sesat di dalam Islam bukan persoalan mudah.

Orang-orang seringkali mengukur sesat tidak sesat, benar atau tidak benar hanya berdasarkan pada kebiasaan kebanyakan orang. Padahal kebiasaan dari kebanyakan orang tersebut tidak bisa kita jamin sebagai representasi dari ajaran Islam yang benar. Bahkan ada tata cara ibadah–yang jelas dituntunkan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah–pun seringkali dianggap menyimpang, karena kita tidak terbiasa menggunakan cara ibadah seperti itu.

Umat Islam itu satu, dan hanya akan satu. Dibelahan bumi manapun, ajaran Islam akan tetap sama. Karena sumbernya sama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sudah menjadi kewajiban setiap Muslim untuk tahu, kenal, dan mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apakah kita hanya berhenti di level ini saja? Tentu tidak.

Setelah mempelajari, kita harus mengamalkan. Jangan cuma menjadi ahli ilmu, tapi harus menjadi ahli amal. Mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang dipahami oleh Nabi SAW dan para sahabat beliau.

Islam itu hanya satu. Yaitu Islam yang dipahami, diyakini, dan diamalkan oleh Rasulullah SAW di masa hidup beliau, bersama para pengikut beliau kala itu, yaitu para sahabat.

Janji terlepas dari kesesatan hanya untuk orang yang berpegang teguh pada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi SAW bukan dalam teks saja. Tapi juga makna dan intepretasinya.

Pemahaman terhadap Al-Qur’an itulah yang dijabarkan di dalam Hadist-Hadist Nabi SAW, dalam bentuk ucapan maupun pengamalan. Hal itu diikuti langsung oleh para sahabat, yang kala itu adalah komunitas sekaligus generasi pertama dari generasi Al-Qur’an.

“Barangsiapa yang hidup sesudah wafatku, pasti akan mendapatkan perbedaan pendapat yang banyak. Maka (bila kalian mendapatkan kondisi itu), berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa Ar-Raasyidin…”

[Hadist ini dikeluarkan oleh Ahmad dikitab Musnadnya 4/126, Abu Daud di kitab Sunnah, bab Luzumu as sunnah 4/200-201, no. 6405, Tirmidzi pada bab-bab ilmu, bab Ma Jaa fil Akhzi bi Sunnah 4/55, no. 2676. Ibnu Majah pada Mukaddimah, bab Ittiba sunnah al khulafa 1/15, no. 42, dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan. Lihat Shahih Sunan Tirmidzi 2/341, no. 2157, Shahih Sunan Ibnu Majah 1/13, no.40]

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, memberi penjelasan sebagai berikut, “Sunnah makna sejatinya secara bahasa adalah jalan yang dilalui, dan diantara maknanya secara istilah adalah berpegang teguh pada metodologi yang dijalankan oleh Rasulullah SAW dan para Al-Khulafa Ar-Rasyidin, dalam wujud keyakinan, amalan, dan ucapan. Itulah perwujudan sunnah yang sempurna.” [ditulis di dalam kitab Jami’ul Ulumi wal Hikam I: 120]

Memandang realitas umat Islam–yang banyak menjauhi majelis-majelis ilmu, lalai dalam mendalami ajaran Islam–sudah dapat dipastikan kesesatan justeru merajalela di tengah kehidupan kita. Karena, apabila ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist jarang dipelajari, akan banyak ilmu tentang kebenaran yang tidak diketahui. Hal ini akan menjadi sumber banyak pelanggaran hukum Allah. Dampaknya banyak orang yang melaksanakan ibadah, meyakini, dan memola persepsi tentang sesuatu tidak berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Mari kita saling merenung.

Sudah sejauh mana kita bersemangat untuk mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnah? Sudah seberapa persen amaliah kita yang kita peroleh dari hasil dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah? atau sudah seberapa banyak kita telah mempelajari aturan, bimbingan, dan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari secara detail dan rinci? katakanlah seputar adab-adab hukum jual beli, adab-adab berumahtangga, adab-adab bertetangga, adab-adab berhubungan lawan jenis, adab-adab makan, adab-adab tidur, dsb.

Kalau perenungan tersebut menyimpulan bahwa kita masih kurang, atau bahkansangat kurang, maka jelaslah banyak potensi kesesatan dalam hidup kita.

Jika hal itu kita bawa ke ranah kehidupan sehari-hari akan menjadi sumber perbuatan dosa. Kalau kita bawa ke ranah ibadah, banyak ibadah yang tertolak.

Demikian, semoga menjadi bahan bermuhaasabah.

Ya Allah, jadikan kami orang-orang yang berilmu, atau setidaknya orang-orang yang menyukai ilmu. Yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Mu. Aamiin.

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (untukmu), dan lebih baik akibatnya. [QS. An-Nisaa’: 59]

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

*sebagian besar isi bersumber dari tulisan Abu Umar Basyier.

Dunia Ini Tidak Ada Nilainya Di Sisi Allah

“Boi! Kau tahu tak? Di sisi Allah, dunia ini ga ada nilainya sama sekali. Seandainya ada, meski hanya seukuran sayap nyamuk… niscaya orang-orang kafir itu tidak akan pernah mendapatkan rezeki apapun, walau seteguk air!

Bersyukurlah boi! Karena kita hidup tidak merdeka! Karena kita hidup tidak sebebas mereka. Kita hidup oleh aturan-aturan yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya.

Dan dunia ini boi, kau tahu? Kita jadikan sebagai panggung pementasan apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah! Alamak, keren kali kan boi?

Lihatlah boi! Allah audience kita. Hanya Dia satu-satunya penonton yang tak jemu melihat tingkah kita. Tidak peduli seberapa nekat kita melanggar prinsip-prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dia tetap berada di Arasy-Nya dengan segala ke-Maha-an-Nya. Menjadi penonton tunggal bagi kita di sini, di bumi ini!”

Betapa banyak diantara kita rela mengganti dunia ini, dengan sesuatu yang abadi.

Boleh kau tengok dari yang kecil-kecil saja. Anak-anak dijerumuskan dengan suap untuk masuk ke jenjang sekolah hebat. Pemuda-pemudi melenggang bebas bercengkrama dengan lawan jenisnya tanpa batas. Kita lebih mudah menegakkan pandangan daripada menundukkan. Iya kan boi?

Aurat-aurat meraja lela. Padahal Allah telah mengaturnya. Pakaian menjadi penutupnya. Baik laki-laki maupun perempuan wajib menaatinya–tentu kalau mereka beriman dengan apa yang telah diturunkan yaitu Al-Qur’an.

Tapi sebagian besar tertipu.

“Pacaran melanggengkan pernikahan, buktinya keluarga si Fulan.” Katanya, dengan membandingkan hidupnya.

“Hidupnya enak amat ya? Gak pernah shalat, apalagi zakat, bakhil sekali dia. Tapi Allah masih saja beri rezeki yang luar biasa. Kerjaannya lancar, bisnisnya dimana-mana, keluarganya sehat sentausa.” Katanya, sambil melirik kehidupannya yang tidak ‘beruntung’.

“Tu kan, Ayah sih! Kalau saja kita lebih memilih kayanya daripada agamanya, kelurga kami tidak begini!” Gerutu perempuan yang dimabukkan roman-roman picisan dalam Novel Islam, dan mendapati kehidupannya tidak sama.

Dan masih banyak lagi. Kita lebih fokus untuk menilai orang dari dunianya saja. Jikapun menilai dari taqwanya–sementara kehidupan di dunianya tak sehebat apa yang dikhayalkannya–langkah kakinya akan mundur pelan-pelan. Menjauhi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hingga ia tidak mengimani apa yang diyakinkannya dulu.

Demikian. Semoga menjadi muhaasabah bagi kita.

Cerita ini saya tulis sambil tiduran. Betapa nikmatnya masuk Islam, sakitnya saja menghapus dosa-dosa, yang tak terhitung dan telah terlupakan karena kita anggap kecil saja.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

Catatan: Saya menulis cerita tadi terinspirasi dari sebuah Hadist dari Rasulullah SAW.

Dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya dunia ini di sisi Allah ada nilainya sesayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir walaupun seteguk air.” [HR. Tirmidzi Juz 3, hal. 383, no. 2422]

Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharap perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. [QS. Al-Kahfi: 28]

Dan dari sebuah kisah di dalam Al-Qur’an. Ketika itu Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah, untuk memakmurkan penduduk negerinya yang beriman kepada Allah, namun Allah tidak mengijabahinya.

Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a, “Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentausa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan Hari Kemudian.”

Allah berfirman, “Dan kepada orang yang kafir pun Aku aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa Neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. Al Baqarah: 126]

Tentu setiap manusia pernah melakukan dosa-dosa, karena ketidaktahuannya terhadap petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun yang baik diantara mereka adalah yang bertaubat.

“Masing-masing anak manusia adalah pelaku dosa. Namun sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang paling banyak bertaubat.”

[Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al-Mustadrak IV: 272. Sanadnya shahih]

Jangan sampai ada pemikiran seperti orang-orang kafir. Bahwa kita akan masuk Neraka terlebih dahulu sebagai pencuci dosa, barulah kita dikehendaki merasakan Surga jika sudah bersih dari dosa-dosa, berkumpul dengan orang-orang yang Shalih. Ingat, Allah Maha Penerima Taubat dan orang-orang beriman tidak pernah tersentuh oleh api Neraka meski sekejap saja–dan Allah lebih tahu perkara ghaib seperti ini.

Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api Neraka, kecuali selama beberapa hari saja.”

Katakanlah, “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [QS. Al Baqarah: 80]

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” [QS. Ali Imraan: 8]

Al Hasiib

Cukuplah bagiku mengerjakan saja kehendak-Nya tak usah terlampau menghitungnya berdasarkan pendapatan pahala. Toh jauh-jauh hari sebelum aku tahu rembulan dan mengerti udara Ia telah menaburkan pahala yang tiada taranya.

Lahir lewat Ibuku yang mulia, persediaan usia untuk mengabdi kepada-Nya serta kesejahteraan yang menghujaniku tanpa habis-habisnya.

Seluruhnya hadir tanpa kuminta, sebab kalau mau jujur tidak mungkinlah aku mengetahui persis apa yang sebaiknya kuminta, kecuali berpedoman kepada nilai-nilai-Nya.

Maka cukuplah kujalani saja hidup ini sewajar-wajarnya tanpa menjadi pedagang pahala dan balasan siksa.

Toh Allah adalah Administrator Agung yang tak perlu kutagih janji-janji-Nya.

Jika aku berbuat bijak, sama sekali tak berarti aku telah berjasa kepada-Nya, melainkan sekedar menabung kesejahteraanku sendiri untuk kelak di sana; dan jika aku berlaku buruk sungguh Ia tak lantas menjadi celaka karenanya, melainkan aku sekedar menyulut api neraka bagi diriku sendiri yang hina.

Seberapa pahalaku, kupasrahkan bulat-bulat kepada-Nya; namun seberapa banyak saham siksaku selalu kuingat sebaik-baiknya, supaya aku tak rajin menambah tumpukannya.

[Al Hasiib, karya Muhammad Ainun Nadjib]

Catatan: Al Hasiib merupakan salahsatu Asmaul Husna yang artinya Yang Maha Penghitung.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati