PUNCAK PENGABDIANMU ADALAH MASYARAKAT

  
Bulan Agustus adalah bulan reuni bagi semua kalangan. Begitu pun juga dengan Perkumpulan Kuli Bangunan “Alfatehah”. Lebih dari 50 tahun sudah, perkumpulan ini mewadahi masyarakat untuk belajar tentang ilmu bangun-membangun. Perkumpulan swadaya masyarakat tersebut menampung banyak orang, termasuk Sodrun yang kala itu baru lulus SD. Tidak kuat meneruskan sekolah, Sodrun kecil memutuskan untuk menjadi kuli bangunan. Tentu dengan ilmu ala kadarnya dari perkumpulan tersebut. Sodrun tidak sendiri, puluhan teman-temannya, ratusan mbah-mbahnya juga merasakan hal yang sama. Kampung Sodrun memang terkenal sebagai kampung dengan profesi kuli bangunan. Semua bangunan dengan anggaran ratusan milyar berdiri atas keringat mereka. Ya yang angkut materialnya, ya yang mbendrati tulangan-tulangannya, ya yang nggelar cor-corannya. Tetapi setelah bangunan berdiri, nama-nama mereka tidak mungkin diumum-umumkan.

Ngomong-ngomong reuni, ini kali pertama reuni digelar besar-besaran. Para sesepuh diundang, semua angkatan diundang, yang masih kuat menjadi panitia sekaligus inisiator dan konseptornya.

Tak lupa Kepala Urusan Pembangunan dan Kepala Urusan Teknologi dari pemerintah setempat diundang. Semua dipersiapkan dengan matang, pak KAUR Pembangunan suka apa, pak KAUR Teknologi—yang kebetulan saudara sendiri—hobinya apa, semua diteliti, agar tidak luput dari daftar persiapan. Luput sedikit, bisa-bisa tidak diperhitungkan lagi.

Reuni digelar dua hari dengan paparan wacana yang luar biasa. Para alumni jengah kalau potensi antar kuli ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Ikatan Alumni Kuli Bangunan (IKAKUBA) yang baru dibentuk tiga tahun terakhir harus menjadi wadah untuk memperoleh keuntungan. Entah itu keuntungan bagi IKAKUBA sendiri, agar semakin bagus kompetensinya, atau bisa juga untuk keuntungan-keuntungan lain, seperti bisnis proyek, konsultasi proyek, atau minimal diundang ke ibukota menangani selokan mampet.

Namanya sesepuh, wacana-wacana yang ciamik dari IKAKUBA dikhawatirkan hanya akan berhenti di wacana-wacana saja, tanpa implementasi yang jelas dan terukur. Sementara itu angkatan muda yang darahnya meletup-letup bak teko air yang mendidih, sangat bersemangat kalau IKAKUBA mampu mewujudkan mimpi-mimpinya itu. Saking semangatnya, mereka mengingatkan agar IKAKUBA bisa mandiri, tidak terpengaruh oleh keinginan-keinginan praktis politik maupun pemerintah. IKAKUBA harus merdeka dan berdaulat, mengabdi hanya untuk kepentingan masyarakat. Jangan sampai IKAKUBA malah menjadi wadah yang kerjaannya menjilat sana-sini demi kepentingan-kepentingan tertentu, termasuk kepentingan IKAKUBA sendiri. Karena puncak pengabdian IKAKUBA adalah pengabdian kepada masyarakat.

Di hari kedua, sembari makan apem dari pasar yang dipersiapkan panitia, Sodrun menunggu sejauh mana IKAKUBA ini penting untuk masyarakat. Kalau tidak penting, bubar saja, kentus Sodrun. Padahal Sodrun bukan siapa-siapa.

Diskusi pertama dibuka oleh kang Haidar. Kang Haidar ini dikenal sebagai orang yang berhasil di dunia bangun-membangun, sekaligus dikenal juga sebagai seorang trainer. Kang Haidar membuka diskusi dengan uraian-uraian yang tidak sanggup dimengerti oleh anak lulusan SD seperti Sodrun. Bahwa IKAKUBA harus bermanfaat untuk Alumni, untuk Almamater, untuk Industri dan Pemerintah, serta harus bermanfaat untuk masyarakat. Kang Haidar memetakan fungsi IKAKUBA seperti itu.

Satu-satu kang Haidar mencoba mendiskripsikannya.

Manfaat untuk masyarakat, kang Haidar mencontohkan dengan pemaparan teknologi pembuatan batu bata dari tai sapi. Jadi tai-tai sapi ini tidak hanya digelar untuk pupuk saja atau disimpan sebagai bahan bakar biogas, melainkan juga untuk membangun rumah. Sehingga potensi kerusakan tanah akibat pengupasan lapisan tanah berkurang.

Sodrun mlongo.

Konsep manfaat untuk masyarakat di dalam benak Sodrun hanya linier saja, kuno. Bukan mengolah tai menjadi batu bata—yang tentu akan menguras pikiran.

Konsep manfaat untuk masyarakat bagi Sodrun itu seperti membuatkan rumah, membantu pasang atap, melunasi tagihan rumah sakit tetangganya yang pingsan karena belum makan tiga hari, atau sekedar mengajari anak-anak desa cara ngaduk cor-coran yang benar sehingga nantinya jika tidak sekolah lagi bisa ikut ke Jakarta menjadi kuli bangunan bersama senior-seniornya.

Dari point lain, kang Haidar menjelaskan bahwa IKAKUBA harus bermanfaat juga untuk almamater. Kang Haidar menjelaskan, peran serta instansi pendidikan dalam mengajar serta mendidik harus mengikuti kebutuhan industri dan kebutuhan pemerintah. Jangan sesukanya.

Semua anak didik harus keluar by design. Harus dibentuk sama. Seperti pabrik tempe yang mengerti ukuran dan rasa tempe yang diminati oleh para penikmat tempe. Tempe-tempe yang dipasarkan harus memiliki ukuran dan rasa yang sama. Dirancang sejak awal. Tempe-tempe yang tidak sesuai kriteria, akan dianggap BS, dengan begitu tidak boleh keluar pabrik, tidak boleh dipasarkan, tidak boleh distampel serta tidak boleh diberi lisensi sebagai barang jadi. Lebih jauh lagi, pabrik harus menyeleksi ketat kedelai-kedelai kualitas super, agar pengolahan pembuatan tempenya semakin mudah. Dengan begitu, terancam sudah anak-anak desa—yang tak berkualitas—untuk bisa belajar di perkumpulan “Alfatehah”. Padahal instansi pendidikan dinyatakan berhasil, justeru ketika mampu melahirkan generasi yang berkualitas baik dari bibit-bibit yang dianggap tidak baik. Dan mampu mengarahkan potensi-potensi yang dimiliki setiap anak didiknya yang beraneka rupa ragamnya. Jangan sampai disama ratakan. Hargai proses belajar. Capaian nilai bukan tujuan, jika menjadi tujuan, bisa jadi dilakukan dengan cara-cara instant. Namun sepertinya bagi kang Haidar, kehormatan dari instansi pendidikan diukur dari banyak tidaknya anak didik diterima kerja dan seberapa gaji mereka. Bukan diukur dari sejauh mana anak didik mereka akan bermanfaat bagi lingkungannya.

Setelah memaparkan panjang lebar, anggota dan panitia IKAKUBA menyimpulkan beberapa point yaitu diantaranya bahwa IKAKUBA harus mandiri. Setiap lakunya tidak boleh dibebani oleh ketergantungan politis, ekonomi, dan lain-lain. Karena tidak mungkin kedaulatan IKAKUBA terjamin apabila tidak dilahirkan dari pemikiran-pemikiran yang bebas, dan dari latar belakang yang tidak independen. Oleh karena itu untuk mendukung IKAKUBA mandir, anggotanya harus diarahakan untuk tidak sekedar menjadi kuli bangunan saja, namun juga harus mengembangkan potensinya yang lain, minimal berdagang.

Sehingga kelak saat reuni lagi, pembahasan reuni tidak lagi sekedar teori-teori akademis dan gapaian-gapaian jabatan strategis. Melainkan sudah 100% membahas pengabdian IKAKUBA kepada masyarakat.

Atau setidaknya agar makanan yang disajikan oleh panitia tidak hanya apem saja.

Ancol, 16 Agustus 2015

*ditulis setelah mengikuti reuni IKATEKSI (Ikatan Alumni Teknik Sipil) UNDIP yang diselenggarakan oleh panitia dan diikuti oleh para alumni dengan warbiyasa.

RAMADHAN #17: FILM TAUHID DALAM HATI

20140630-205031-75031854.jpg

Banyak cara untuk berdakwah, salah satunya melalui radio. Sepertihalnya Radio Rodja, salah satu organisasi resmi di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia yaitu Majlis Tafsir Al-Qur’an pun melakukan dakwah dengan cara yang sama, yaitu melalui radio.

Namun bukan dakwah namanya kalau jalannya tidak terjal. Sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa yang sudah mendarah daging tradisi lama, seringkali berbenturan dengan dakwah mereka.

Konflik inilah yang diangkat di dalam film Tauhid Dalam Hati.

Namanya pak Joko, bapak dari dua anak bernama Unna (SMA) dan Ruqoyah (SD) adalah seorang tukang kayu di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah.

Konflik bermula pada saat bu Joko mendengarkan kajian melalui radio. Dimana isi kajian tidak bersesuaian dengan adat yang turun temurun dipercayai pak Joko.

Pak Joko yang masih mempercayai ari-ari anaknya, bersikeras bahwa ari-ari anaknya tersebut harus di jaga. Hal ini bertentangan dengan Isteri dan kedua anaknya.

Tidak hanya itu, saat Ruqoyah sakit, pak Joko lebih memilih berobat ke dukun dengan mengantarkan sesaji, dan bacaan mantra yang diambil dari Al-Qur’an. Bu Joko sebagai isteri, terpaksa mengikuti kemauan suaminya. Meski dalam hati, bu Joko menolak tindakan tersebut.

Konflik berlanjut.

Radio yang menjadi sumber ilmu bu Joko dan kedua anaknya, dibanting oleh pak Joko.

Berantakan sudah radio yang selama ini menyiarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Perang dingin terjadi.

Bu Joko dinilai sesat oleh pak Joko.

Konflik berakhir ketika pak Joko tabayyun ke kantor pusat kajian. Ustadz yang menjadi pengisi radio didatangi pak Joko.

Pak Joko meminta konfirmasi, bahwa radio yang menjadi jalan dakwah ustadz menjadi sumber kesesatan bagi isterinya, dan menjadi sumber berantaknya keluarganya.

Ustadz pun memberikan wejangan kepada pak Joko mengenai isi dakwahnya.

Pak Joko mereda. Mahfum dengan penjelasan al-Ustadz.

Pak Joko sadar, apa yang dituduhkan kepada isterinya selama ini salah.

Sebagai ungkapan permintaan maaf, pak Joko pulang dengan radio barunya.

~

Dialek yang digunakan di dalam film ini adalah bahasa Jawa. Namun demikian, film ini disertai juga dengan subtitle bahasa Indonesia.

Film Tauhid Dalam Hati akan ada sekuelnya. Di film ke-2 nanti, konflik akan dikembangkan lebih luas lagi hingga ke masyarakat, tidak hanya di lingkup keluarga saja.

Kita tahu, perbedaan pemahaman semacam ini terjadi di masyarakat kita, bahkan menjadi sumber konflik antar organisasi agama.

Film ini bagus, menjadi teladan. Bahwa toleransi diperlukan di negeri ini dengan ukuran Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Film ini telah diputar di bioskop di kota Solo. Dan akan di CD kan untuk dijual umum.

15 Juli 2014

*lihat cuplikan filmnya di sini.