SHOLAT AUTOPILOT

Takbirmu, ruku’mu, i’tidalmu, sujudmu, hingga salammu engkau gerakkan secara otomatis.

Engkau tak perlu takut ruku’mu akan nyasar menjadi sujud, bacaan i’tidalmu akan nyasar menjadi bacaan takhiyat, engkau tak perlu takut.

Karena tubuhmu akan selalu bergerak dengan bacaannya lengkap, meski jiwamu tak pernah bergerak takbir; meski jiwamu tak pernah membaca salam.

Di dalam sholat autopilot, engkau perbolehkan jiwamu berlarian. Kadang engkau membawanya di area kerja, area cinta, area hobi, area keluarga, hingga ranah remeh temeh seperti kunci mobil yang terselip entah dimana.

Duh, mungkin engkau bukan satu-satunya yang menghidupkan mode autopilot di dalam sholat.

Tapi saranku: jangan terlaru sering untuk menghidupkan mode ini.

Apakah engkau tidak ingin jiwamu sesekali sholat, menghadap sebenar-benarnya kepada Rabbmu? Aku yakin engkau akan mengangguk mengiyakan.

Aku merasakan bahwa jiwamu sangat rindu untuk bertemu Rabbmu.

Marilah pelan-pelan hentikan sholat autopilot mu.

Hadirkan jiwamu, hadapkan kepada Rabbmu.

Aku yakin dalam penerbangan spiritualmu, engkau akan takjub melihat kekuasaan Rabbmu.

Bukankah engkau mendengar dan membaca kisah-kisah orang dahulu? bahwa mereka sholat sampai menangis lega, sampai kedua telapak kakinya pecah, ruku’-sujudnya lama begitu luar biasa.

Bukankah memang demikian adanya, jika kita bertemu dengan Kekasih? Berwajah bahagia dengan jiwa yang tenang.

Bukan kantuk dan malas.

~

Adh-Darimi (Sunan Adh-Darimi, 1/87-88) meriwayatkan dari Abu Ad-Darda’, dia berkata: Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ. Kemudian beliau ﷺ mengarahkan pandangannya ke langit, lalu berkata: “Ini adalah waktu ilmu dicabut dari umat manusia, hingga tidak ada yang bisa dimiliki sedikitpun darinya.” Mendengar itu Ziyad bin Lubaid Al-Anshari berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa ilmu dicabut dari kami, padahal kami telah membaca Al-Qur’an. Demi Allah, pasti kami membacakan Al-Qur’an kepada istri-istri kami dan anak-anak kami.” Beliau ﷺ lalu bersabda: “Ibumu adalah tebusanmu, wahai Ziyad, aku menganggapmu termasuk ahli fikih Madinah. Taurat dan Injil ini pun dibaca oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, tapi apa yang bisa dilakukan dengannya oleh mereka.”

Setelah itu Jubair berkata: Aku kemudian bertemu Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata: Aku berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikemukakan oleh saudaramu Abu Ad-Darda’?” Kemudian aku mengatakan apa yang ia katakan. Setelah itu dia berkata: “Abu Ad-Darda’ memang benar, kalau kamu mau, aku akan menceritakan kepadamu ilmu yang pertama kali diangkat dari umat manusia, yaitu kekhusyukan. Hampir setiap kali memasuki masjid jamaah, engkau tidak melihat ada seorang pun yang khusyuk di dalamnya.” (Saya ambil dari penjelasan hadist bersanad dha’if yang berbunyi: Dia–Abu Bakar–juga mengabarkan kepada kami dari Dhamrah bin Hubaib, bahwa Rasulullah ﷺ berkata, “Sesungguhnya yang pertama diangkat dari umatku adalah sifat amanah dan khusyu’ hingga hampir tidak ditemui lagi orang yang khusyu’.”)

Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Lubaid, dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari Abdullaj bin Dhamrah As-Saluli, dari Ka’b, dia berkata, “Apabila seorang hamba shalat, maka Allah akan menyambutnya. Namun apabila dia menoleh, maka Allah pun memalingkan diri darinya.” (Atsar ini mauquf pada Ka’b bin Al-Ahbar, salah seorang sahabat Nabi ﷺ dengan sanad shahih)

*ilmu diambil dari buku Zuhud karya Ibnu Al Mubarak, jilid 1, hal. 364 dan hal. 295

Hal-Hal Yang Tidak Diperbolehkan Dalam Shalat

Catatan kali ini adalah sebuah ikhtiar agar shalat kita lebih baik dari yang sebelumnya.

Berikut beberapa hal yang dimakruhkan di dalam shalat. Semoga bermanfaat 🙂

1. Tolah-toleh tidak fokus

Dari ‘Aisyah ra., ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang menoleh dalam shalat. Beliau bersabda: ‘Hal itu merupakan serobotan yang dilakukan syaithan terhadap shalat seseorang dari kalian.’ [HR. Bukhari]

Menoleh dalam shalat ada dua:
a) Pertama, menoleh secara fisik. Hal ini dapat diatasi dengan cara tidak bergerak-gerak, dan bersikap tenang.
b) Kedua, menoleh secara hati. Ini lumayan susah, hati kita tidak fokus dengan apa yang sedang kita lakukan. Mohonlah perlindungan kepada Allah.

Dari ‘Utsman bin Abul ‘Ash bahwa dia pernah menghadap kepada Nabi SAW, lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya syaithan sering menghalangi antara aku dan shalatku dan antara aku dan bacaanku.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Itulah syaithan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakan gangguannya, mohonlah perlindungan kepada Allah darinya, lalu meludahlah (sedikit) ke sebelah kiri tiga kali.” ‘Utsman berkata: “Aku pun lalu mengamalkan yang seperti itu dan ternyata Allah berkenan menghilangkan gangguan tersebut dariku.” [HR. Muslim] Continue reading

Dzikir Setelah Shalat

Dari Takbir hingga Salam telah saya bagikan catatannya di sini. Maka malam ini saya akan melanjutkan share ilmunya, yaitu dzikir setelah shalat. Seperti biasa saya akan menuliskan riwayat-riwayatnya dari Rasulullah SAW maupun dari Para Sahabat.

Semoga bermanfaat 🙂

Dari Tsauban, ia berkata: Adalah Rasulullah SAW apabila selesai dari shalat, beliau memohon ampun (istighfar) tiga kali. Lalu beliau membaca, Alloohumma antas salaam, wa minkas salaam, tabaarokta dzal jalaali wal ikrom (Ya Allah, Engkau Maha Selamat, dan dari Engkaulah datangnya keselamatan. Engkau Maha Berkah, wahai Tuhan Maha Agung lagi Maha Mulia).” Al-Walid (perawi) berkata: Aku bertanya kepada Al-Auza’iy, “Bagaimana bacaan istighfar itu?” Al-Auza’iy menjawab, “Astaghfirulloh, astaghfirulloh” (Aku mohon ampun kepada Allah, aku mohon ampun kepada Allah). [HR. Muslim Juz 1, hal. 414]

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW , beliau bersabda, “Barangsiapa yang setiap habis shalat membaca tasbih sebanyak 33 kali, tahmid sebanyak 33 kali, tqkbir sebanyak 33 kali, yang demikian itu berarti 99 kali.” Nabi SAW bersabda, “Dan genap 100-nya ia mengucapkan, Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa’alaa kulli syai-in qodiir.” (Tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia atas segala sesuatu Berkuasa), maka akan diampuni dosa-dosanya sekalipun sebanyak buih di laut .” [HR. Muslim Juz 1, hal. 418]

Dari Abdullah bin ‘Umar r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Ada dua perkara, tidaklah seorang muslim menjaga atas keduanya kecuali dia masuk surga. Dua perkara itu mudah, tetapi orang yang mengamalkannya sedikit, yaitu sehabis shalat (fardhu) bertasbih kepada Allah Ta’ala 10 kali, membaca Tahmid 10 kali, dan membaca Takbir 10 kali. Maka yang demikian itu adalah 150 di lisan, dan 1500 di timbangan amal. Dan apabila akan tidur membaca Takbir 34 kali, membaca Tahmid 33 kali, dan membaca Tasbih 33 kali. Maka yang demikian itu adalah 100 di lisan, dan 1000 pada timbangan amal.” Berkata (Abdullah bin ‘Umar), “Sesungguhnya saya melihat Rasulullah SAW menghitungnya dengan tangannya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana keduanya itu mudah sedangkan orang yang mengamalkannya sedikit?” Rasulullah SAW menjawab, “Datang kepada seseorang diantara kalian (yaitu syaithan) pada tempat tidurnya lalu ia menidurkannya sebelum orang itu sempat membacanya, dan (syaithan) datang kepadanya di dalam shalat, lalu mengingatkan orang itu pada kebutuhannya sebelum orang itu sempat membacanya.” [HR. Abu Dawud Juz 4, hal. 316]

Dari Warrad–sekretaris Mughirah bin Syu’bah–bahwa Mu’awiyah pernah berkirim surat kepada Mughirah yang isinya: “Tolong tuliskan untukku sebuah hadist yang pernah engkau dengar dari Rasulullah SAW.” Mughirah lalu membalasnya sebagai berikut: “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW ketika telah selesai dari shalatnya membaca: Laa ilaaha illallooh, wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qodiir (sebanyak tiga kali).” Mughirah juga menulis: “Beliau juga melarang qiila wa qoola (kata orang begini atau katanya-katanya), banyak bertanya (yang tidak perlu), menyia-nyiakan harta, tidak mau memberikan apa yang semestinya barus diberikan, meminta sesuatu yang bukan haknya, mendurhakai ibu, dan mengubur anak wanita hidup-hidup.” [HR. Bukhari, tambahan tiga kali terdapat di dalam kitab Darus Salam dan Darul Fikr, akan tetapi tidak ada di dalam kitab Fathul Bari]

Catatan: Selain dzikir yang telah saya sebutkan di atas, terdapat dzikir yang lainnya, misal dengan ayat kursi (hadist Abu Umamah), dengan surat Al-Mu’awwidzat yakni Al-Ikhlas; Al-Falaq; dan An-Naas (hadist ‘Uqbah bin ‘Amir), dll bisa dicari referensi dalil-dalilnya sendiri.

Tak kalah penting, berdzikirlah dengan jari tangan. Selain dapat menyembunyikan ibadah kita, juga, nantinya jari-jari tangan kita dapat menjadi saksi kebaikan bagi kita, insyaAllah. Kalaupun pakai biji-bijian (atau sering disebut tasbih) boleh juga, terpenting hindari riya’.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

Salam Di Dalam Shalat

Ini tulisan terakhir terkait rangkaian shalat menurut Rasulullah beserta para sahabat yang saya bagikan disini.

Salam merupakan akhir shalat. Bukan mengusap muka dengan tangan. Ketika selesai salam, selesai sudah rangkaian shalat kita.

Berikut saya bagikan riwayat-riwayat mengenai salam di dalam shalat. Semoga bermanfaat 🙂

Telah berkata ‘Aisyah, “Adalah Rasulullah SAW memulai shalat dengan takbir … Dan adalah beliau menyudahi shalat dengan salam.” [HR. Muslim Juz 1, hal. 357]

Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Adalah Nabi SAW mengucap salam ke arah kanannya, dan ke arah kirinya: Assalaamu’alaikum wa rohmatullooh (Mudah-mudahan Allah mencurahkan keselamatan atas kalian dan begitu pula rahmat-Nya) sehingga kelihatan putih pipinya.” [HR. Al-Khamsah]

Dari ‘Alqamah bin Waail dari bapaknya, ia berkata, “Saya shalat bersama Nabi SAW, maka beliau memberi salam ke sebelah kanan dengan mengucap Assalaamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokaatuh (Mudah-mudahan Allah mencurahkan keselamatan atas kalian dan begitu pula rahmat dan berkah-Nya), dan sebelah kiri dengan mengucapkan Assalaamu ‘alaikum wa rohmatulloh (Mudah-mudahan Allah mencurahkan keselamatan atas kalian dan begitu pula rahmat-Nya)” [HR. Abu Dawud Juz 1, hal. 262]

Dari Jabir bin Samurah ra, ia berkata, “Tatkala mengerjakan shalat bersama Rasulullah SAW (sewaktu salam) kami mengucapkan: ‘Assalaamu’alaikum wa rohmatullooh. Assalaamu’alaikum wa rohmatullooh’ Rasulullah SAW lalu bersabda: ‘Mengapa (sewaktu salam) kalian memberi isyarat dengan tangan kalian bagaikan ekor kuda larat? Cukuplah seseorang dari kalian (tetap) meletakkan telapak tangannya pada pahanya, lalu mengucapkan salam kepada saudaranya yang ada di sebelah kanan dan kirinya.'” [HR. Muslim]

Catatan: Dalam menulis catatan ini saya menggunakan dua sumber buku. Dimana buku yang satunya tidak dijelaskan bahwa riwayat dari Wa’il yang ada tambahan wa barokaatuh adalah hadist dla’if. Sumber dari penulisnya adalah Sulubus Salam 2/330.

Karena di dalam majelis kajian yang saya ikuti tidak menjelaskan riwayat dari Wa’il adalah dla’if atau bukan, maka untuk memperjelas hal ini, insyaAllah nanti akan saya tanyakan kepada mufti nya. PR bagi saya. Soalnya saya di dalam blog ini hanya membagikan catatan saja. Ada ahli hadist di dalam kajian yang lebih berwenang menjawabnya. 🙂

Demikian, semoga kita selalu dikaruniai untuk terus semangat belajar. Jangan takut bertanya ke orang yang lebih tahu. Meski ibadah pada dasarnya adalah ittiba’ (mengikut), tapi kita harus belajar dalilnya, bahkan kita harus tahu dasar dalil tersebut shahih atau bukan. Karena ribuan hadist yang sering kita baca, tidak sadar adalah hadist palsu.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati.

Duduk at-Tahiyyat Akhir dan Membaca Do’a

Wah, catatannya sudah sampai at-tahiyyat akhir. Hhe. Semoga apa yang saya bagikan ini bermanfaat 🙂

Dari Abu Humaid, dan pada waktu itu dia berada dalam satu rombongan dari shahabat-shahabat Rasulullah SAW ia berkata, “Saya adalah yang paling hafal shalatnya Rasulullah diantara kamu sekalian, saya melihat Nabi SAW apabila bertakbir menjadikan kedua tangannya sejajar dengan dua bahunya, …. Dan apabila duduk pada raka’at yang akhir (duduk at-tahiyyat akhir) beliau menjulurkan kakinya yang kiri dan menegakkan yang lain (kakinya yang kanan) dan beliau duduk pada tempat duduk beliau.” [HR. Al Bukhari, dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 306]

Membaca Do’a

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian selesai membaca tasyahud akhir, maka hendaklah mohon perlindungan kepada Allah dari empat hal: Yaitu dari siksa jahannam, dari siksa kubur, dan fitnah hidup dan mati, serta dari kejahatan masiihid dajjal (perusak yang menghabiskan kebaikan).” [HR. Al Jama’ah, kecuali Al Bukhari dan At Tirmidzi, dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 326]

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW berdo’a (di dalam shalatnya) Allaahumma innii a’uudzu bika min ‘adzaabil qobri wa min ‘adzabin naar, wa min fitnatil mahyaya wa mamaat, wa min fitnatil masiihid dajjal. (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari siksa neraka, dari fitnah hidup dan mati, serta dari fitnah masiihid dajjal–perusak yang menghabiskan kebaikan.)” [HR. Al Bukhari Juz 2, hal. 103]

Dari ‘Urwah bin Zubair, bahwasannya ‘Aisyah istri Nabi SAW mengkhabarkan kepadanya (‘Urwah bin Zubair), “Adalah Nabi SAW biasa berdo’a di dalam shalat Allahummaa innii a’udzu bika min ‘adzaabil qobri wa a’uudzu bika min fitnatil masiihid dajjaal. Wa a’uudzu bika min fitnatil mahyaa wal mamaat. Allahummaa innii a’uudzu bika minal ma’tsami wal maghromi. (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah masiihid dajjaal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.)”. ‘Aisyah berkata: Lalu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Alangkah banyaknya engkau memohon perlidungan dari hutang, ya Rasulullah!” Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya orang itu apabila berhutang (bisa menyebabkan) dia berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu menyelisihi.” [HR. Muslim Juz 1, hal. 412]

Dari Abu Bakar RA, ia pernah berkata kepada Rasulullah SAW, “Mohon ajarkan kepadaku do’a yang bisa aku baca dalam shalatku.” Beliau lalu bersabda, “Ucapkanlah: Allaahummaa innii zholamtu nafsii zhulman katsiroo, wa laa yaghfirudz dzunuubana illa anta, faghfirlii maghfirotam min ‘indika war hamnii. Innaka antal ghofuurur rohim. (Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak berbuat zhalim kepada diriku sendiri, sementara tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa, kecuali hanya Engkau. Karenanya, berikanlah ampunan dari sisi-Mu kepadaku dan berilah aku rahmat. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.)” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dari Mu’adz RA, ia menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memegang tangan Mu’adz, lalu berkata, “Wahai Mu’adz, demi Allah, aku mencintaimu. Demi Allah, aku mencintaimu.” Selanjutnya beliau bersabda: “Aku pesankan kepadamu, wahai Mu’adz, agar engkau sekali-kali tidak meninggalkan do’a ini di akhir shalatmu: Allaahummaa a’innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘baadatik. (Ya Allah, bantulah aku untuk bisa senantiasa berdzikir, bersyukur, dan beribadah dengan sebaik-baiknya kepada-Mu.)” [HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Dishahihkan Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud Juz 1, hal. 184]

Masih banyak lagi do’a-do’a di dalam at-tahiyyat akhir. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Anas, Mihjan bin Adra’, dsb. Silakan ditanyakan di kajiannya masing-masing atau buku-buku tentang ini.

Bahkan, ada di dalam suatu hadist, do’a setelah tasyahud akhir, kita diperbolehkan membaca do’a lain yang disukai, yang berisi permohonan kebaikan dunia dan akhirat. Do’a untuk kedua orang tua kita atau kaum muslimin pada umumnya, itu pun juga diperbolehkan, baik sewaktu mengerjakan shalat fardhu maupun shalat sunnah.

Dari Ibnu Mas’ud RA, ia pernah diajari bacaan tasyahud oleh Nabi SAW, “Selanjutnya, silakan dia (orang yang sedang shalat) memilih do’a yang disukainya, lalu berdo’a dengannya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Pengertian dari sabda Nabi SAW ini mencakup kebaikan dunia dan akhirat. (Bacalah Kaifiyyatu Shalatin Nabi SAW oleh Syaikh bin Baz hal. 18)

Demikian, catatan yang dapat saya bagikan. Silakan terus menambah ilmu tentang ibadah dan muamalah. Dan bagikan ke yang lainnya, insyaAllah, apa yang kita bagikan bermanfaat bagi kita dan orang-orang yang membacanya.

Catatan: Di dalam duduk at-tahiyyat akhir, kita membaca bacaan tasyahud, shalawat, dan do’a. Setelah itu mengucapkan salam, dengan demikian shalat itu telah selesai.

Untuk riwayat Salam, insyaAllah akan saya bagikan besok malam.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

Bacaan Tasyahhud dan Shalawat

Ada tidak ya yang bacaan Shalawatnya di dalam duduk at-tahiyyat pakai Sayyidina? Atau mengganti bacaan Assalamu’alaika ayyuhan-nabi… menjadi Assalamu’alan nabi… karena Rasulullah SAW telah wafat?

Ayo kita check riwayat yang diteladankan Rasulullah SAW mengenai bacaan di dalam duduk at-tahiyyat, semoga catatan yang saya bagikan ini bermanfaat 🙂

Bacaan Tasyahhud

Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW mengajarkan tasyahhud kepada saya dengan kedua tangan beliau memegang telapak tanganku sebagaimana beliau mengajarkan surat Al-Qur’an kepadaku, beliau membaca, Attahiyaatu lillahi washsholawaatu wath-thoyyibaat. Assalaamu’alaika ayyuhan-nabiyyu warohmatullahi wa baro-katuuh assalamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadillaahish-shoolihin. Asyhadu allaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan’abduhu wa rasuuluh (Segala kehormatan itu kepunyaan Allah, begitu pula segala ibadah dan segala yang baik-baik. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba Allah yang shalih-shalih. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang sebenarnya) melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya).” [HR. Jama’ah, dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 310]

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW mengajarkan tasyahhud kepada kami sebagaimana beliau mengajarkan surat Al-Qur’an kepada kami. Dan adalah beliau membaca Attahiyyaatul mubaarokaatush-sholawatuth-thoyyibaatu lillah, Assalaamu ‘alaikan ayyuhan-nabiyyu wa rohmatullaahi wa barokaatuh. Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish-shoolihin, Asyhadu allaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadar rasulullaah (Segala kehormatan, segala berkah, segala ibadah, dan segala yang baik-baik itu kepunyaan Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba Allah yang shalih-shalih. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang sebenarnya) melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya). [HR. Muslim dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 313]

Bacaan Shalawat

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, oa berkata, “Rasulullah SAW pernah datang kepada kami, yang pada waktu itu kami berada di majelisnya Sa’ad bin ‘Ubadah”. Lalu Basyir bin Sa’ad bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kami supaya membaca shalawat kepadamu, lalu bagaimana caranya kami membaca shalawat kepadamu?”

(Abu Mas’ud) berkata, “Maka Rasulullah SAW diam, sehingga kami menginginkan sekiranya dia tidak menanyakannya.” Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Ucapkanlah Allaahumma shalli’alaa muhammad wa’ala aali muhammad, kamaa shollaita ‘aala aali ibroohiim, wa baarik ‘alaa muhammad wa’alaa aali muhammad kama baarokta ‘alaa aali ibroohim. Fil ‘aalamiina innaka hamiidum-majid. (Ya Allah, berilah shalawat kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada keluarga Nabi Ibrahim. Dan berilah berkah kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada keluarga Nabi Ibrahim. Di dalam semesta alam ini, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia)”, sedangkan (bacaan) salam sebagaimana yang telah kalian ketahui. [HR. Muslim Juz 1, hal. 305]

Dari Hakam, ia berkata: Saya mendengar Ibnu Abu Laila mengatakan: Ka’ab bin ‘Ujrah pernah bertemu saya, lalu berkata, “Maukah kamu saya beri hadiah? Rasulullah SAW pernah datang kepada kami.”

Lalu kami berkata, “(Ya Rasulullah), kami telah mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepadamu. Lalu bagaimana kami mengucapkan shalawat kepadamu?”

Beliau (Rasulullah SAW) menjawab, “Ucapkanlah Allaahumma shalli’alaa muhammad wa’ala aali muhammad, kamaa shollaita ‘aala aali ibroohiim innaka hamiidum-majid. Allaahumma baarik ‘alaa muhammad wa’alaa aali muhammad kama baarokta ‘alaa aali ibroohim innaka hamiidum-majid. (Ya Allah, berilah shalawat kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah berilah berkah kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.) [HR. Muslim Juz 1, hal. 305]

Demikian apa yang dapat saya bagikan. Semoga bermanfaat dan dapat diamalkan. Shalatlah sebagaimana Rasulullah SAW shalat, beliau telah mengajari kita. Cari ilmunya.

Catatan: Apakah kalian masih menambahkan kata Sayyidina dalam bacaan shalawat di dalam shalat? Tentu dalam hadist tersebut tidak mengajarkan demikian. Mengucapkan Sayyidina baik, tapi ketika hal itu tidak diajarakan oleh Rasulullah maupun para sahabat, maka akan menjadi tidak baik. Ibadah pada dasarnya hanya mengikut. Mengikut apa yang telah diajarkan Rasulullah maupun para sahabat. Coba dicarikan hadist yang menjelaskan tentang penambahan sayyidina, kalau memang ada dan shahih, maka hal itu boleh digunakan.

Begitupun dengan penggantian Assalamu’alaika ayyuhan-nabi… menjadi Assalamu’alan nabi… kalau ada hadist yang shahih menjelaskan pergantian lafadz (karena Nabi SAW wafat) maka hal itu boleh digunakan, tapi kalau tidak, berpegang pada hadist-hadist di atas jauh lebih baik. Bersikap hati-hati dalam ibadah.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

Duduk At-Tahiyyat Awwal dan Isyarat Telunjuk

Dulu, saya bersama oknum V dan R (karena kebodohannya akan ilmu) pernah menertawakan isyarat telunjuk seorang Mukmin yang sedang shalat dimana jari telunjuknya digerak-gerakkan naik turun.

Saya bertanya kepada oknum V dan R kenapa mereka menggerak-gerakkan telunjuknya. Gerakan-gerakkannya seperti apa? Asal atau bagaimana. Nah salahsatu teman saya ini menjawab, “Gerakannya membentuk huruf Allah kali.”

Kemudian saya menimpali, “Waow… kalau tulisan Allah nya pakai kaligrafi, rumit juga gerakan telunjuknya. Begini, begini, dan begini.” Hha… Kontan kami bertiga tertawa. Astaghfirullah

Para Sahabat Rasulullah SAW mengatakan bahwa setiap dosa yang dilakukan oleh seorang hamba adalah disebabkan karena kejahilannya (kebodohannya).
[Diriwayatkan oleh Qatadah dari Abul ‘Aliyah, dalam Tafsir Ibnu Katsir QS. An-Nisaa’: 17]

Baiklah, agar hal ini tidak terjadi kepada para pembaca lainnya, saya ingin berbagi ilmu mengenai tatacara Duduk At-Tahiyyat Awwal dan Isyarat Telunjuknya.

Dari Abu Humaid, ia berkata, “… Maka apabila beliau SAW duduk pada dua raka’at (at-tahiyyat awwal), beliau duduk pada kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Dan apabila duduk pada raka’at yang akhir (duduk at-tahiyyat akhir) beliau menjulurkan kakinya yang kiri dan menegakkan yang lain (kaki yang kanan) dan beliau duduk pada tempat duduk beliau.” [HR. Al Bukhari, dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 306]

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “… Dan adalah beliau SAW membaca at-tahiyyat pada setiap dua rakaat. Dan beliau duduk pada kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan.” [HR. Muslim Juz 1, hal. 357]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW apabila duduk dalam shalat (duduk at-tahiyyat) beliau meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat jarinya yang kanan yaitu jari yang disebelahnya ibu jari (jari telunjuk), lalu beliau berdo’a dengannya. Sedangkan tangannya yang kiri pada lututnya yang kiri dengan menghamparkan padanya.” Dan dalam suatu lafadh, “Adalah beliau SAW apabila duduk di dalam shalat (duduk at-tahiyyat), meletakkan tapak tangannya yang kanan pada pahanya yang kanan dan menggenggam jari-jarinya semuanya, dan beliau berisyarat dengan jarinya, yaitu jari yang sebelahnya ibu jari (jari telunjuk). Dan beliau meletakkan tapak tangannya yang kiri pada pahanya yang kiri.” [HR. Ahmad, Muslim, dan An Nasai, dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 316]

Dari Waail bin Hujr, bahwasannya ia berkata dalam menerangkan shalatnya Rasulullah SAW, “Kemudian beliau SAW duduk dengan duduk pada kakinya yang kiri, dan meletakkan tapak tangannya yang kiri pada pahanya dan lututnya yang kiri dan menjadikan ujung sikunya yang kanan pada pahanya yang kanan (tidak menempelkan ujung siku kanan pada pangkal paha kanan). Kemudian menggenggam dua jarinya (jari manis dan jari kelingking) dan membentuk lingkaran (dengan menghubungkan jari tengah dengan ibu jari) kemudian beliau mengangkat (berisyarat) dengan jarinya (jari telunjuk), maka saya melihat beliau menggerak-gerakkannya dan berdo’a dengannya. [HR. Ahmad, Nasai, dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 315]

Dari ‘Abdullah bin Zubair, ia berkata, “Bahwa Rasulullah SAW jika duduk tasyahhud, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kiri dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya (yang kanan), sementara pandangan beliau tidak melampui isyarat (jari telunjuknya).” [HR. Nasa’i, Albani berkata dalam Shahih Sunan Nasa’i 1/272: Hadist ini hasan shahih]

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata, “… Ibnu ‘Umar pun meletakkan (telapak) tangan kanannya diatas paha kanan, memberi isyarat dengan jari telunjuknya ke arah kiblat, dan mengarahkan pandangannya ke jari telunjuk atau ke arah tidak jauh darinya.” Selanjutnya, Ibnu ‘Umar berkata, “Demikianlah tindakan Rasulullah SAW yang aku lihat.” [HR. Nasa’i, Albani berkata dalam Shahih Sunan Nasa’i 1/250; hadist ini hasan shahih]

Catatan: Dengan adanya riwayat yang berbeda (yang satu menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud, dan yang lain tidak menyebutkan “menggerak-gerakkan jari telunjuknya”), hal ini dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW terkadang menggerak-gerakkan terkadang juga tidak menggerak-gerakkan telunjuknya.

Para Ulama’ berbeda pendapat terkait kapan persisnya menggerak-gerakkan jari telunjuk. Ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan saat menyebut nama Allah saja. Ada yang mengatakan saat menyebut lafadz illallaah. Ada juga yang mengatakan dilakukan saat menyebut nama Allah dan Rasul-Nya. Ada yang menyatakan selama tasyahud. Yang lebih tepat adalah menggerak-gerakkan sewaktu berdo’a atau berdzikr saja dan diam (lurus) pada selain itu. [Baca: Al-Inshaf 3/353-536, Nailul Authar 2/66-68, Subulus Salam 2/308-309, Syarh Shahih Muslim oleh Nawawi 5/85, Al-Mughni 2/119, As-Syarhul Kabir 3/532, dan As-Syarhul Mumti’ 3/200-202]

Demikian yang mampu saya bagikan. Bila ada kekurangan mohon saya diberitahu. Mengenai kapan waktunya mengangkat telunjuk, saya belum tahu, namun dari penjelasan riwayat diatas, telunjuk telah diangkat sebelum kita berdoa.

Isyarat telunjuk mensimbolkan tauhid atau ikhlas, hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu.

Demikian, semoga bermanfaat, dan menjadikan saya untuk terus belajar dan memahami ilmu-ilmu yang belum saya ketahui. Semoga ada kesempatan untuk ditanyakan di kajian dengan orang yang lebih mengerti.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

Mengerjakan Raka’at Kedua

Seperti yang kita tahu di raka’at yang kedua ini kita langsung membaca Al-Fatihah. Berikut riwayatnya:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW apabila bangkit pada raka’at kedua, beliau memulai membaca dengan Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, dan beliau tidak diam (untuk membaca doa iftitah).” [HR. Muslim Juz 1, hal. 419]

Pada raka’at yang kedua ini tidak sepanjang raka’at yang pertama, raka’at yang kedua lebih pendek. Sebagaimana yang ada pada riwayat sebagai berikut:

Dari Abu Qatadah, ia menyebutkan, bahwa “Beliau (Nabi SAW) memanjangkan raka’at pertama dan memendekkan raka’at yang kedua.” [HR. Muslim]

Apakah perlu membaca doa ta’awwudz lagi sebelum membaca Al-Fatihah pada raka’at yang kedua? Hal ini ada dua pendapat, silakan dipakai yang mana kalian yakini.

Pertama, ada yang mengatakan hal tersebut disyariatkan pada setiap rakaat, sebab antara dua bacaan ayat Al-Qur’an (pada raka’at yang pertama dan kedua) terputus dengan adanya dzikir-dzikir dan gerakan-gerakan shalat. Sehingga seseorang sebaiknya membaca ta’awwudz kembali. Ibnu Taimiyah juga memilih pendapat ini. Di dalam Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah hal. 50, beliau berkata, “Dianjurkan bagi seseorang untuk membaca ta’awwudz di awal semua bacaan (Al-Qur’an)nya.”

Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. [QS. An-Nahl: 98]

Dalam ayat tersebut ketika kita membaca Al-Qur’an dianjurkan untuk membaca doa ta’awwudz.

Kedua, ada yang mengatakan bahwa doa ta’awwudz cukup dibaca pada raka’at yang pertama saja. Sebab seluruh rangkaian shalat merupakan satu kesatuan yang mana dalam bacaan Al-Qur’an (pada raka’at yang pertama dan kedua) di dalamnya tidak diselingi diam, tetapi diselingi dzikir. Sehingga semua bacaan yang ada di dalamnya juga dianggap sebagai satu kesatuan, maka cukup membaca doa ta’awwudz sekali saja. Seperti halnya pendapat Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’dad 1/242, ia berkata, “Mencukupkan dengan satu kali ta’awwudz adalah pengertian yang lebih jelas.”

Jika pada raka’at yang pertama kita lupa membaca doa ta’awwudz, hendaklah pada raka’at yang kedua membaca doa ta’awwudz.

Demikian ilmu yang dapat saya bagikan dari apa yang saya catat. Semoga kita selalu berusaha untuk menggali ilmu. Beribadah dengan ilmu. Pun shalat dengan ilmu. 🙂

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

Bangkit Untuk Raka’at Kedua

Ketika bangkit untuk raka’at yang kedua kamu tipe yang mana? Tipe yang telapak tangannya menekan lantai atau tipe yang telapak tangannya menekan paha?

Yuk kita baca riwayatnya. Hhe

Dari Waail bin Hujr, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW ketika akan sujud, dua lututnya lebih dulu mengenai bumi sebelum dua tangannya. Dan ketika sujud beliau meletakkan dahinya di antara dua tapak tangannya dan menjauhkan (tangannya) dari ketiaknya. Dan apabila bangkit, beliau bangkit atas dua lututnya dan menekan pada dua pahanya. [HR. Abu Dawud dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 300]

Dari Waail bin Hujr, ia berkata, “Aku melihat Nabi SAW apabila sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya. [HR. Abu Dawud Juz 1, hal. 222]

Dari Malik bin Al-Huwairits, ia berkata, “Ketika bangkit dari sujud kedua, dia (‘Amr bin Salamah) duduk terlebih dahulu, lalu menopangkan tangannya ke tanah, lalu berdiri.” [HR. Bukhari]

Dari Malik bin Al-Huwairits, Sesungguhnya ia melihat Nabi SAW melakukan shalat. Maka apabila bangkit dari raka’at yang ganjil dari shalatnya, beliau tidak bangkit sehingga duduk dengan sempurna. [HR. Jama’ah, kecuali Muslim dan Ibnu Majah, dalam Nailul Authar juz 2, hal. 300]

Dari Abu Humaid, ia menyebutkan, “Kemudian jika berdiri dari raka’at kedua, beliau bertakbir seraya mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya sebagaimana bertakbir ketika memulai shalat. [HR. Bukhari dan Abu Dawud]

Demikian sharing kali ini, semoga bermanfaat. Jangan lupa diamalkan ya.

Catatan: Ketika bangkit dari sujud untuk rakaat yang kedua, posisi tangan kita menopang ke paha, tapi kalau tidak kuat dengan cara yang demikian, boleh menopang ke lantai. Sebelum bangkit, jangan lupa duduk barang sebentar ya dan bertakbir.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

Wajib Thuma’ninah Pada Setiap Sujud, Rukuk, dan Bangkit Dari Keduanya

“Ojo mong njengkang-njengking nak shalat cah… cah… Thuma’ninahho!” Pernah dengar nasihat seperti ini? Hhe.

Yuk kita belajar lagi, betapa Rasulullah SAW menekankan kepada kita untuk shalat dengan Thuma’ninah 🙂

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW masuk masjid. Kemudian ada seorang laki-laki masuk masjid lalu shalat. Setelah shalat laki-laki tersebut datang kepada Nabi SAW dan memberi salam.

Lalu Nabi SAW bersabda, “Kembalilah dan shalatlah, karena kamu belum shalat.”

Lalu laki-laki tersebut kembali dan shalat sebagaimana dia shalat tadi. Kemudian orang tersebut datang kepada Nabi SAW dan memberi salam.

Lalu Nabi SAW bersabda, “Kembalilah dan shalatlah, karena kamu belum shalat.”

Lalu laki-laki tersebut kembali dan shalat sebagaimana dia shalat tadi. Kemudian orang tersebut datang kepada Nabi SAW dan memberi salam.

Lalu Nabi SAW bersabda, “Kembalilah dan shalatlah, karena kamu belum shalat.”

Demikianlah, sampai tiga kali, lalu laki-laki tersebut berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan membawa kebenaran. Saya tidak bisa shalat lebih baik selain itu. Maka ajarilah saya (wahai Rasulullah).”

Maka Nabi SAW bersabda, “Apabila kamu berdiri shalat bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah yang ada padamu dari Al-Qur’an, kemudian ruku’lah hingga thuma’ninah di dalam ruku’ itu, kemudian bangkitlah dari ruku’ hingga berdiri tegak, kemudian sujudlah hingga thuma’ninah di dalam sujud itu, kemudian angkatlah kepala dari sujud hingga thuma’ninah dalam duduk (antara dua sujud), kemudian sujudlah (yang kedua) hingga thuma’ninah dalam sujud itu. Kemudian kerjakanlah yang demikian itu dalam shalat semuanya.” [HR. Ahmad, Al Bukhari dan Muslim dalam Nailul Authar Juz 2, hal. 294, tetapi di dalam riwayat Muslim tidak disebutkan tentang sujud yang kedua.]

Dari Abu Qatadah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Sejahat-jahat manusia dalam mencuri itu ialah orang yang mencuri dari shalatnya.” Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana orang yang mencuri shalat itu?” Rasulullah SAW bersabda, “Yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan tidak pula sujudnya.” atau beliau bersabda, “Orang yang tidak meluruskan tulang belakangnya di dalam ruku’ dan sujud.” [HR. Ahmad Juz 8, hal. 386, no. 22705]

Catatan: Tuma’ninah adalah diam dan tenang selama membaca dzikir yang diwajibkan, sehingga jika sewaktu membaca dzikir yang diwajibkan ini seseorang tidak diam dan tidak tenang, dia dikatakan tidak tuma’ninah. [Baca: Hasyiyatut Kaudh 2/126 dan As-Syahrul Mumti’ 3/421]

Saya belum tahu, apa yang dimaksud diam dalam keterangan tersebut. Karena diam di dalam shalat itu hanya ada dua yaitu ketika membaca do’a iftitah dan ketika telah selesai membaca surah. Hal ini didasarkan riwayat Hasan sebagai berikut:

Dari Samurah, ia berkata, “Bahwa Nabi SAW biasa diam dengan dua macam diam (dalam shalat), yakni ketika membaca do’a iftitah dan ketika telah selesai membaca surah.” [HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad]

Tirmidzi berkata dalam As-Sunan 1/342: Muhammad berkata: Ali bin Abdullah berkata: “Hadist yang diriwayatkan Hasan dari Samurah itu adalah shahih sebab dia memang mendengarnya secara langsung.” Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’ad 1/208 “Hadist yang menjelaskan tentang adanya dua diam yang diriwayatkan dari Samurah, Ubay bin Ka’b, dan Imran bin Hushain, adalah shahih.”

Baca juga Fatawa Ibn Taimiyah 22/338. Di dalamnya, Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak dianjurkan diam bagi imam kecuali dengan dua diam.” Beliau menyebutkan bahwa diam yang pertama adalah sewaktu membaca do’a iftitah dan yang kedua adalah sesudah selesai dari membaca surah sekedar untuk istirahat sejenak dan sebagai pemisah antara membaca dan ruku’. Adapun diam setelah membaca Al-Fatihah, hadist yang menerangkan tentang ini berpredikat dhaif (kalau dhaif lebih baik ditinggalkan).

InsyaAllah saya akan belajar lagi mengenai maksud thuma’ninah ini. Nanti kalau sudah dapat ilmunya, insyaAllah akan saya bagikan disini. Yang penting jangan shalat dengan tergesa-gesa ya. Tenang saja. Kalem. Hhe

Salam,

Yang Perlu Dinasihati.