AS-SAWAD AL A’ZHAM (KELOMPOK BESAR); JAMA’AH; DAN DEMOKRASI

Di era demokrasi ini sudah barang tentu yang paling banyak dan paling besar adalah yang menang. Tidak hanya di dunia politik, bahkan hampir di seluruh sendi kehidupan.

Tiap-tiap mereka yang asing, menyendiri, kecil, tidak populer, dan berbeda dari yang kebanyakan, selalu ditafsirkan negatif, nyleneh, sesat, dan tidak mungkin akan menang.

Hal ini sangat besar kemungkinan disalah gunakan.

Senjata paling kekar saat ini adalah media. Siapapun yang dapat menggiring opini masyarakat, ummat, jama’ah, dialah yang akan menang—konsekuensi dari demokrasi yang tidak jelas.

Apa Yang Dimaksud Dengan Jama’ah

“Aku pernah menemani Mu’adz di Yaman.” demikian Amr bin Maimun Al-Audi berkata di dalam Bab Rahasia Hati Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. “Aku lalu berpisah dengannya ketika ia meninggal dunia dan dikubur di Syam. Sesudah Mu’adz meninggal, aku menemani manusia yang paling ahli fikih, yaitu Abdullah bin Mas’ud r.a. Aku mendengar ia berkata, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh kepada jama’ah, karena tangan Allah berada di atas jama’ah.’ Pada hari yang lain, aku mendengar Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, ‘Suatu saat nanti akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin yang menunda shalat dari waktunya, maka shalatlah tepat pada waktunya, karena shalat adalah kewajiban, kemudian shalatlah bersama mereka, karena ia ibadah sunnah bagi kalian.'”

Amr bin Maimun Al-Audi melanjutkan, “Aku kemudian berkata, ‘Hai sahabat-sahabat Muhammad, aku tidak tahu apa yang kalian katakan kepada kami? Apa maksudnya? Engkau menyuruhku berpegang teguh kepada jama’ah dan menganjurkanku kepadanya, kemudian engkau mengatakan, ‘Shalatlah sendiri, karena shalat adalah kewajiban fardhu, kemudian shalatlah bersama jama’ah, karena ia adalah ibadah sunnah?'”

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Hai Amr bin Maimun, aku pikir engkau manusia yang paling ahli fikih di desa ini. Tahukah engkau yang dimaksud dengan jama’ah?”

Amr bin Maimun menjawab, “Tidak.”

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Sesungguhnya jama’ah adalah sesuatu yang sesuai dengan kebenaran, kendati engkau sendirian di dalamnya.”

Nu’aim bin Hammad berkata, “Maksudnya, jika jama’ah telah rusak, maka engkau hendaknya berpegang teguh kepada sesuatu yang ada pada jama’ah sebelum jama’ah itu rusak, kendati engkau sendirian di dalamnya, karena sesungguhnya ketika itu engkau adalah jama’ah.”

Abu Syamah dan Mubarak dan Hasan Basri berkata, “Sunnah, dan Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, berada di antara orang yang berlebih-lebihan dengan orang yang keras, maka bersabarlah terhadap Sunnah. Mudah-mudahan kalian dirahmati oleh Allah. Sesungguhnya pengikut Sunnah jumlahnya sedikit pada zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Mereka tidak ikut-ikutan dengan orang-orang mewah dalam kemewahan mereka dan orang-orang ahli bid’ah dalam bid’ah mereka. Mereka bersabar terhadap Sunnah mereka hingga mereka berjumpa dengan Allah. Kalian hendaknya seperti itu.”

Muhammad bin Aslam At-Tusi adalah seorang imam yang diakui keimamannya. Kedudukannya tinggi, dan merupakan manusia yang paling konsekuen dengan Sunnah pada zamannya. Ia berkata, “Tidaklah aku mendapatkan Sunnah Rasulullah ﷺ melainkan aku segera mengamalkannya. Sungguh, aku terbiasa thawaf di Baitullah di atas kendaraan. Ketika aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba salah seorang dan orang berilmu pada zamannya ditanya tentang maksud as-sawad al a’zham (kelompok besar) yang disebutkan di dalam hadits, ‘Jika manusia berbeda pendapat, maka kaliam berpegang teguh kepada as-sawad al a’zham (kelompok besar).’ Orang berilmu tersebut lalu menjawab, ‘Muhammad bin Aslam At-Tusi as-sawad al a’zham (kelompok besar).'”

~

Yang perlu saya garis bawahi di sini bahwa yang disebut jama’ah; ummat; bahkan demokrasi adalah segala sesuatu yang bersesuaian dengan kebenaran—yang tidak berdimensi kepada kebenaran orang banyak ataukah kebenaran beberapa orang.

Di sinilah tugas kita untuk menjaga mripat kita agar mampu melihat sejatinya kebenaran.

Salam,

08 Maret 2015

IBF 2015: MAU BELI APA?

IMG_2923.JPG

IBF atau Islamic Book Fair adalah perhelatan besar bagi para penerbit di seluruh Indonesia (dalam keanggotaan IKAPI) untuk berkumpul—berdagang, berdiskusi, dll—yang diikuti oleh hampir seratus penerbit, termasuk di dalamnya beberapa penerbit dari luar. IBF 2015 diselenggarakan mulai tanggal 27 Februari 2015 sampai 08 Maret 2015 di Senayan Jakarta.

Yang Bisa dilakukan di IBF

Banyak hal yang dapat kita lakukan di IBF 2015 ini, pertama adalah beli buku, buku apa saja yang sedang kamu inginkan. Untuk itu sebaiknya anda mampir di stand panitia terlebih dahulu—yang berada di samping pintu utama—untuk meminta katalog acara. Katalog ini akan memudahkan anda untuk mengetahui stand-stand penerbit, jadwal acara, dll. Kedua, di IBF 2015 anda bisa beli parfum, mukena, obat, peci, jilbab, sampai rumah. Lho kok rumah? Ya, di sini terdapat stand khusus dari developer syariah. Silakan kalau ingin beli rumah—yang katanya non-riba. Sementara itu untuk multi produk disediakan di sayap gedung lantai atas. Ketiga, di IBF 2015 anda juga bisa beli makan. Lokasinya ada di samping tempat wudhu perempuan. Terletak di sayap kanan dari pintu masuk. Harga berkisar 25 ribu per porsi, agak mahal memang. Keempat, di IBF 2015 anda bisa mengajak anak-anak anda bermain di KidsZone, di sini disediakan mobile planetarium, zona balita, mandi bola, dsb. Kelima, di IBF 2015 ada mumi Fir’aunnya juga. Tapi berupa replika. Ada juga tongkat nabi Musa, lalu tongkatnya Fir’aun sendiri, dan ular, semuanya replika. Not recommended sih. Dua puluh ribu rupiah tarif masuknya. Keenam, bisa ikut seminar, talkshow, lomba-lomba, dan lain-lain, banyak deh.

IMG_2918.JPG

Di IBF 2015, Beli Apa?

Kalau saya, di IBF 2015 ingin membeli buku yang bertema pengelolaan jiwa, atau cara menikmati ibadah, atau sekedar ingin hidup yang tidak ngedan. Saya merasa (selama hidup) level penghambaan—abid—saya terpuruk di level terendah. Kasihan memang. Untuk itu saya perlu buku.

Sebelum membeli, saya konsultasi dulu, buku klasik apa yang cocok untuk saya. Baik melalui twitter, browsing-browsing, ngintip di goodreads, dsb.

IMG_2922.JPG

Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali adalah buku yang disarankan Gus Awy—ternyata susah didapat. Untuk tahun ini penerbit buku tersebut yaitu Khatulistiwa Press absen dari IBF.

Tapi tidak apa-apa, masih ada list buku yang perlu dibeli.

Buku Baru Saya

Buku At-Tabshirah

Buku ini saya beli dua jilid. Hasil karya dari ulama klasik yaitu Ibnul Jauzi. Judul terjemahannya adalah Majelis Ibnul Jauzi. Buku ini membahas diantaranya yaitu kisah para Nabi yang dikaitkan dengan al-Qur’an dan diselipkan beberapa hikmah, lalu keutamaan dari para sahabat dan Rasulullah sendiri, kemudian tentang bulan-bulan kalender hijriyah, penciptaan alam semesta, fikih, hingga akhlak. Harga normalnya untuk satu set (dua jilid) Rp. 322.000,- diskon 30% menjadi Rp. 225.400,- (saving Rp. 96.600,- lumayan).

Buku Kumpulan Tulisan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tidak sama dengan Ibnul Jauzi. Beda orang. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berasal dari Damaskus Suriah, sementara Ibnul Jauzi berasal dari Bashrah Iraq.

Salah satu murid Ibnu Qayyim Al-Jauziyah adalah Ibnu Katsir—anda pasti tahu Tafsir Ibnu Katsir. Nah itu muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Kalau Ibnu Qayyim Al-Jauziyah muridnya Ibnu Taimiyah. Dulu keduanya pernah sama-sama dipenjara hanya karena fatwa-fatwanya.

Buku Kumpulan Tulisan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini membahas beberapa hal, diantaranya rahasia hati, kesehatan jiwa, dan akhlak. Cocok dengan apa yang sedang menerpa kehidupan saya. Bukunya tebal, sekitar hampir seribu halaman. Harga Rp. 201.000,-, diskon 30% menjadi Rp. 140.000,- (saving lagi lumayan).

Buku At-Tabarruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu

Dalam terjemahan kita berjudul Tabarruk Memburu Berkah Sepanjang Masa Di Seluruh Dunia Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Judulnya cetar membahana. Lebih cetar lagi karena buku ini harganya cuma Rp. 40 ribu. Padahal halamannya tidak kurang dari 600 halaman, lumayan tebal. Harga normalnya saya lupa, kira-kira seratus ribuan lebih.

Buku ini membahas tentang dzikir, Al-Qur’an, hujan, hari-hari tertentu, air zam-zam, masjid-masjid, negeri syam, hingga benda-benda keraton. Entahlah, tentang apa isinya saya belum membaca.

Buku Sutra Kasih Ibunda

Bukan karena kangen ibu di rumah kemudian saya membeli ini, tetapi karena saya melihat nama penulisnya. Abu Umar Basyir. Siapa yang tidak mengenal nama beliau ini? lewat novel-novelnya yang katanya berdasarkan kisah nyata, seperti buku Sandiwara Langit misalnya. Buku ini membahas tentang ibu. Bagaimana kita berbuat baik kepada ibu, merawat, mengasihi, dsb. Harganya Rp. 32.000,- diskon menjadi Rp. 20.000,- saja. Lumayan hemat.

Slilit Sang Kiai

Sebenarnya buku ini buku lawas yang saya lirik tapi tidak kunjung saya beli. Penulisnya adalah idola saya. Muhammad Ainun Nadjib. Buku ini sebenarnya hanya berisi kumpulan-kumpulan tulisan atau kolom Mbah Nun saja, sekitar satahun 80-an atau awal 90-an, yang disusun kembali oleh pak Toto Rahardjo dan pak Kus. Buku ini adalah bentuk ijtihad, menertawakan diri, dan reinterpretasi atas nilai-nilai agama. Setidaknya ikut memproses pendewasaan manusia terhadap penghayatannya kepada agama. Harga normalnya Rp. 66.000,- dapat diskon Rp. 11.000,-. Hemat lagi.

Bulan

Buku ini saya beli karena iseng saja, katanya Tere Liye menerbitkan buku baru. Saya cari di stand Republika tidak ada buku baru dari Tere Liye, saya yanya ke masnya buku barunya adalah Rindu—yang sudah saya baca dan mendapat anugerah dari IBF. Ternyata Tere Liye tidak sekedar mempercayai Republika saja sebagai perusahan cetak atas hasil karyanya, melainkan juga ke yang lain. Nah, buku baru Tere Liye bukan di Republika melainkan di penerbit Gramedia (Kompas). Buku ini ndak tahu sih tentang apa. Melihat sekilas buku ini tentang seseorang yang mampu mengeluarkan petir. Mungkin semacam kawannya Elektra. Harga buku baru ini Rp. 71.000,- tanpa diskon. Hmmm.

Buku Al-Qur’an

Al-Qur’an termasuk buku ndak sih? Kitab ya? Kitab suci. Padahal kitab di bahasa kita adalah buku. Hmmm. Al-Qur’an ini saya beli dengan harga Rp. 11.000,- murah sekali. Tapi isinya lebih dari buku-buku yang saya sebutkan di atas tadi. Al-Qur’an isinya tentang apa? Hmmm. Selalu ada hal-hal baru jika kita mendalami buku ini. Tidak bisa saya ceritakan di sini.

Demikianlah IBF 2015 yang saya kunjungi kali ini.

Untuk IBF 2016 saya punya doa khusus. Tapi rahasia.

Di acara ini saya bertemu kawan lama saya yang sedang galau: Raja Ramses II.

IMG_2924-1.JPG

Salam,

01 Maret 2015

ZAMAN KALATHIDA DAN ZAMAN KALABENDU (ZAMAN KERAGUAN DAN ZAMAN KERUSAKAN)

Derajat negara makin merosot saja
tatanan dan aturan rusak
karena tiada teladan
etika ditinggalkan
bijak cendikia gagap tergulung arus zaman keraguan
kenyataan hidup mencekam
karena dunia penuh gangguan.

Rajanya raja utama
patihnya patih hebat
para pegawai selalu lurus
pemukanya baik-baik
tapi tak mampu
mengubah daya zaman kerusakan
yang justru makin menjadi
gangguan yang mengacaukan
lain-lain pikiran dan maksud orang senegara.

[Oleh: Ronggowarsito tahun 1860]

*dikutip dari buku Samin ‘Mistisme Petani Di Tengah Pergolakan’ karya Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin.

11 Februari 2015

MENJADI KAYA ADALAH ISI UTAMA KEPALA MANUSIA INDONESIA, TERMASUK SAYA TAPI TIDAK TERMASUK ANDA

Sesungguhnya orang-orang yang kaya adalah orang yang paling sedikit pahalanya di hari Kiamat nanti, kecuali orang yang diberikan kebaikan oleh Allah, lalu disebarkan dari arah kanan dan kirinya, serta dari arah depan dan belakangnya dan ia beramal kebaikan dalam hartanya itu. [Dikutip dari lisan Rasulullah ﷺ saat bersama Abu Dzar — diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim]

Kita bangsa bersuku-suku, tetapi cita-cita satu. Kita berbagai-bagai budaya, tetapi gawang kehidupan satu. Kita punya banyak agama, ragam nilai, pilihan-pilihan di segala sisi kehidupan, tetapi obsesi kita satu.

Anak-anak kita boleh pilih masuk kuliah di Fakultas Kedokteran, Ekonomi, Teknik, bahkan Tarbiyah dan Ushuludin, namun harapan hidupnya satu.

Satu cita-cita itu ialah menjadi kaya.

Ada kerbau, ada macan, berang-berang, buaya, cacing, badak dan jutaan macam hewan lagi, tetapi cita-citanya sama; ingin terbang dengan pakaian kemewahan.

Macam-macam profesinya, macam-macam permainannya, beragam-ragam kostum dan ayat-ayatnya, namun obsesinya menyatu secara nasional, ialah menjadi kaya. Memang ada klise-klise aplikatif; ingin mengabdi kepada bangsa dan negara. Ingin berbakti kepada agama dan masyarakat. Dan mungkin benar awalnya memang bercita-cita seperti itu, tetapi begitu ketemu pintu-pintu gerbang keuangan; mulai penuhlah kepala oleh cita-cita tunggal itu. Kalau anak-anak kecil dikasih iklim; ingin menjadi dokter, insinyur, presiden. Tetapi, ujungnya sama saja, yaitu menjadi kaya. Milih jadi orang kaya meskipun tidak jadi dokter, daripada sebaliknya.

Uang berlimpah jauh lebih menarik daripada Tuhan. Korupsi jauh lebih dipercaya dibanding hakikat dan metabolisme rezeki. Kalau melebar sedikit; orang diam-diam sudah makin sanggup meragukan Tuhan, tetapi tak seorang pun memiliki keberanian untuk meragukan demokrasi. Orang lebih tertarik pada kekayaan dibanding keshalehan. Orang lebih terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada kejayaan materi dibandingkan kemuliaan hidup.

Menjadi kaya adalah isi utama kepala manusia Indonesia. Dan untuk itu dipilih cara dan jalan yang paling bodoh dan malas; akting menjadi pemimpin, ustadz, artis, wakil rakyat, lembaga zakat infak atau apapun.

Jangan khawatir, tentu saja orang juga menikmati hubungannya dengan Tuhan, kenyamanan bernasionalisme, kesantunan sosial, estetika dan lain sebagainya, tetapi itu semua sekunder. Yang primer di kepalanya adalah harus ada kenyataan bahwa ia berlimpah atau sekurang-kurangnya aman di bidang keuangan.

~

Di luar kaya, unsur lain populer juga: powerful and famous, berkuasa dan terkenal. Tetapi kekuasaan dan popularitas juga membawa visi-misinya sendiri: merangsang manusia untuk lebih kaya dan lebih kaya.

Kekuasaan adalah jalan yang paling populer untuk mencapai cita-cita tunggal itu. Maka tidak ada agenda apapun yang lebih diutamakan dibanding apapun dalam kehidupan bangsa Indonesia melebihi agenda politik. Siang malam, tiap bulan, tiap tahun, headline, ngrumpi, obrolan gardu, apapun saja sesungguhnya berpangkal dan berujung pada agenda politik.

Disebuah provinsi saya diajak ketemu oleh seorang wali kota, di saat lain oleh sekelompok pemuda dari suatu komunitas, juga di malam lain seorang pemimpin pembela kaum miskin urban semuanya untuk agenda yang sama: yakni membicarakan nasib ribuan orang yang berumah di bawah jalan tol.

Tatkala ajakan itu disampaikan kepada saya, saya benar-benar sibuk menonton televisi yang menayangkan berita bahwa Pak Gubernur provinsi itu sedang naik podium menyatakan akan mencalonkan diri menjadi presiden mendatang.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis dan shalat taubat kepada Allah gara-gara seekor unta terpeleset nun jauh di sana namun masih di wilayah tanggungjawab kekhalifahannya. Ia begitu merasa bersalah. Agenda pak Umar benar-benar berbeda dengan agenda Pak Gubernur.

~

Sejumlah orang akan membantah kalimat-kalimat ini. Tetapi, saya sendiri sudah terlalu tua untuk mampu membantah hal itu. Saya sudah uzur dan ditipu mentah oleh fakta-fakta kehidupan, sehingga sampai menjelang kepala enam saya belum memulai apapun untuk memperjuangkan karier saya: jangankan lagi untuk menegakkan kebenaran.

Tentu saja kalau yang dimaksud karier adalah berkuasa, kaya, dan terkenal: sudah lama—menurut ukuran saya dengan hidup tempe sambal dan menikmati cuci kaus piring: saya tidak memiliki problem apa-apa. Tetapi, yang saya maksudkan karier adalah mandat kekhalifahan dengan konten dan skala yang jelas yang sudah lama saya siapkan namun tidak ada gejala bahwa sejarah manusia ini memerlukan kualitas kesejahteraan hidup semacam itu.

[oleh Muhammad Ainun Nadjib]

*dapat dibaca di buku ‘Jejak Tinju Pak Kyai’ cetakan tahun 2008

#WHOISMUHAMMAD: KANJENG NABI MUHAMMAD ﷺ

IMG_2424.JPG

Kita telah menyakiti hatinya.

Lelaki itu,
Kekasih yang kedalaman cintanya tak tertandingi itu,
Telah kita sakiti hatinya.
Ia bahkan tidak pernah peduli kepada dirinya sendiri,
Tapi kita menyakiti hatinya.

Ia hidup untuk menyelamatkan kehidupan kita,
Tapi kita menyakiti hatinya.

Ia menghabiskan siang dan malam untuk keselamatan kita;
Ia bersujud memohon neraka agar dijauhkan dari kita;
Bahkan ia mati dengan menyebut-nyebut nama kita,
Tapi kita menyakiti hatinya.

Karena ada dia maka kita pun ada,
Tapi karena ada kita maka dia menjadi menderita.

Lelaki itu bahkan lebih mulia dari surga,
Namun ia merendah menjadi debu hina.

Keagungan pribadinya tak tertandingi oleh seribu jagad raya,
Tapi selalu ia menundukkan kepala sebagai hamba yang papa.
Ia bukan tinggal di surga,
Tapi surgalah yang bergembira tinggal di dalam dirinya.
Kebahagiaan merasa bahagia karena kebahagiaan tinggal di dalam jiwanya.

Tapi tiap larut malam tiba ia mengucurkan air mata,
Karena bersedih melihat nasib kita.
Tiap malam ia menangis dalam sujudnya,
Karena hatinya perih memandang kehidupan kita.

Ia dilarang masuk neraka,
Api neraka haram menjilatnya,
Karena kalau sampai api neraka itu menyentuhnya,
Api itu padam dan lenyap panasnya,
Api yang gemuruh tiba-tiba senyap.
Jika lelaki itu melangkahkan kaki di tepian neraka,
Seluruh api rebah,
Semua kedahsyatan itu bersimpuh di hadapan wajahnya yang teduh.

Jibril dan semua malaikat yang lain berjalan berduyun-duyun di belakang langkahnya, menjadi makmumnya.
Semua makhluk Allah di belakang langkahnya menjadi makmumnya.

Ya Allah terimalah kami menyelipkan di antara makmum-makmum itu.
Melompat semesta demi semesta.
Bertasbih kepadanya sang Aza wajala.

Maafkan kami ya Rosul,
Kami telah menyakiti hatimu.
Kami tidak mampu menjaga perasaanmu ya Rosul.

Amat sangat ia mencintai kita,
Tapi kita membalasnya dengan dusta.
Dengan hidup yang main-main.
Dengan langkah yang main-main.
Dengan keputusan yang main-main.
Dengan kepemimpinan yang main-main.
Dengan cara hidup yang hina dan penuh aniaya.
Semua orang telah dibutakan matanya.

Ia penghulu rahmatan lil ‘alamin.
Tapi kita main-main.
Akal kita dayagunakan untuk pandai maling.
Negara kita makdubbin.
Pemimpin kita dholim.
Alam menjadi demam.
Bumi bergetar.
Lempengan-lempengannya menggeliat seperti nadza’.
Gunung panas suhunya.
Laut meluap airnya;
Api neraka tidak sabar hatinya meluap ke atas bumi;
Memanggang kita dan anak-anak kita.

Wahai penghulu rahmatan lil ‘alamin.
Ihdinassirotol mustakim…

[Allah Tuan Rumahku (Rasulullah Penjaga Pintunya) — Prayogi R. Saputro dalam Spiritual Journey: Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib]

15 Januari 2015

*gambar dari sini.

HATI DAN OUTPUT

Menurut anda, kenapa Rasulullah ﷺ masih mampu menyuapi wanita yahudi yang sangat sengak kepada beliau? Tidak sekedar menyuapi malahan, tetapi memperlakukannya dengan penuh lembut.

Hati.

“Hatilah yang menyambungkan manusia satu dengan manusia yang lain. Bukan agama, bukan kebangsaan, apalagi ikatan negara. Hati membuat orang memiliki rasa kasih, iba, dan sayang.” demikian kata Muhammad Ainun Nadjib.

~

Sholat itu input ataukah output? Kalau Islam, input ataukah output?

Kecenderungan manusia saat ini memang melihat input nya, bukan output nya. Jadi tidak heran, banyak sekali nada satir yang salah tempat dan terbalik-balik.

“Itu lho sering sholat tapi korup.”

“Lebih baik ndak jilbab tapi ndak maling.”

“Cut Nyak Dien itu sebenarnya berjilbab.”

“Ikut kajian, tapi pelitnya bukan main.”

Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan lain yang seperti ini.

Inilah yang membuat orang beramai-ramai mendahulukan identitas diri daripada sistem nilai. Yang dilihat dulu adalah agamanya, organisasinya, kebangsaannya, dan seterusnya. Bukan apakah dia sudah melakukan sesuatu yang positif dan bermanfaat bagi kehidupan ataukah justru sebaliknya.

Jika kita sama-sama concern kepada output, tidak akan ada lagi pertanyaan soal agama apa yang dianut–dan agama tidak akan dijadikan kambing hitam atas perilaku orang-orang yang tidak benar. Akan tetapi, sudahkah kita menjalankan kehidupan seperti sistem nilai yang telah diinformasikan oleh Tuhan kepada kita ataukah belum.

05 Januari 2015

*diilmui dari buku ‘Spiritual Journey-Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib’ karya Prayogi R. Saputra.

KEMATIAN ITU

Kematian itu tidak ada hubungannya dengan sehat atau sakit. Tidak ada hubungannya dengan malam atau siang. Tidak ada hubungannya dengan tua, muda, atau anak-anak. Tidak ada hubungannya dengan siap atau tidak siap, juga tidak ada hubungannya dengan perilaku kehidupan kita. “Kematian tidak ada rumusnya.” Demikian kata Muhammad Ainun Nadjib.

Banyak macam sebab kematian.

Kita rangkum menjadi tiga jenis.

Pertama, kematian yang ditakdirkan oleh Allah. Ini hak mutlak Allah. Setiap detiknya telah terinci dengan pasti oleh Allah. Kematian jenis ini banyak macamnya. Bisa karena kecelakaan, makan, berjalan, tidur, atau duduk.

Kedua, kematian yang diizinkan oleh Allah. Kematian jenis ini bukan atas kepastian Allah, namun diizinkan oleh Allah.

Ketiga, kematian yang dibiarkan oleh Allah. Untuk jenis ini, anda bisa menawar sendiri hari, jam, detik, tempat maupun cara bagaimana anda mati. Orang yang mati dalam keadaan seperti ini dibiarkan oleh Allah.“Sak karep-karepmu.” kalau Allah bilang.

Kematian yang diharapkan adalah kematian dengan jiwa yang tenang, hati yang puas, dan Allah ridha. Selama hal tersebut kita dapatkan, kita tidak peduli lagi dengan cara, hari, tempat, dan kondisi bagaimana kita mati.

Ingat, karena kematian tidak ada rumusnya, berusahalah setiap detik (secara kontinue) menjalani kehidupan ini dalam keadaan jiwa yang tenang dan hati yang puas. Keduanya kita gunakan untuk meraih perhatian Allah lalu mengharap Allah ridha, ridha atas kehidupan yang telah kita lakukan.

Semoga anda dan saya mampu melakukannya dan meraihnya.

Demikian, semoga postingan ini bermanfaat.

04 Januari 2014 (sembari menunggu kereta)

*silakan baca buku ‘Spiritual Journey-Pikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib’ karya Prayogi R. Saputra. Postingan ini diilmui dari buku tersebut.

GURUTTA

IMG_2269.JPG

Gurutta Ahmad Karaeng, seorang tokoh di novel Rindu karya Tere Liye ini mengingatkan saya kepada kakek saya Mbah Yunus. Beliau haji diawal-awal, pada masa pemerintah Hindia Belanda. Melaut hingga sembilan bulan lamanya.

Foto tersebut saya temukan ditumpukan buku saat rumah saya direnovasi dan menjadi satu-satunya dokumentasi yang menggambarkan wajah Mbah Yunus.

Mungkin dulunya foto tersebut tertempel di passport, tiket kapal, atau sejenisnya, yang menjadi syarat kelengkapan seorang pribumi untuk berangkat haji.

Di balik foto tersebut tertulis “gestraft met hechtenis” yang berarti dihukum dengan hukuman penjara.

27 Desember 2014

MULAI BESOK, ROKOK HARAM!

20140531-174515-63915275.jpg

“Khaifat tadkhien hunaa?” (Bagaimana dengan perihal merokok di pondok ini?)

Hari ini datang tamu dari Arab. Ia seorang saudagar cukup kaya yang dibawa oleh seorang pemandu dari Jakarta. Ia berniat mampir dan melihat pondok kami. Darinya, diharapkan akan ada bantuan dana untuk mengembangkan pondok kami.

Pria Arab itu menyampaikan ceramah singkatnya di musholla kecil kami. Usai memberikan ceramah, pak Kyai mengajak pria Arab itu keliling pondok. Melihat kondisi asrama yang menyedihkan, tempat wudhu yang jauh dari layak, kamar mandi dan MCK yang serba darurat.

Setelah tanya ini dan itu, tiba lah pada sebuah pertanyaan yang menghentak kami semua.

“Khaifat tadkhien hunaa?” (Bagaimana dengan perihal merokok di pondok ini?)

Continue reading