Di era demokrasi ini sudah barang tentu yang paling banyak dan paling besar adalah yang menang. Tidak hanya di dunia politik, bahkan hampir di seluruh sendi kehidupan.
Tiap-tiap mereka yang asing, menyendiri, kecil, tidak populer, dan berbeda dari yang kebanyakan, selalu ditafsirkan negatif, nyleneh, sesat, dan tidak mungkin akan menang.
Hal ini sangat besar kemungkinan disalah gunakan.
Senjata paling kekar saat ini adalah media. Siapapun yang dapat menggiring opini masyarakat, ummat, jama’ah, dialah yang akan menang—konsekuensi dari demokrasi yang tidak jelas.
Apa Yang Dimaksud Dengan Jama’ah
“Aku pernah menemani Mu’adz di Yaman.” demikian Amr bin Maimun Al-Audi berkata di dalam Bab Rahasia Hati Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. “Aku lalu berpisah dengannya ketika ia meninggal dunia dan dikubur di Syam. Sesudah Mu’adz meninggal, aku menemani manusia yang paling ahli fikih, yaitu Abdullah bin Mas’ud r.a. Aku mendengar ia berkata, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh kepada jama’ah, karena tangan Allah berada di atas jama’ah.’ Pada hari yang lain, aku mendengar Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, ‘Suatu saat nanti akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin yang menunda shalat dari waktunya, maka shalatlah tepat pada waktunya, karena shalat adalah kewajiban, kemudian shalatlah bersama mereka, karena ia ibadah sunnah bagi kalian.'”
Amr bin Maimun Al-Audi melanjutkan, “Aku kemudian berkata, ‘Hai sahabat-sahabat Muhammad, aku tidak tahu apa yang kalian katakan kepada kami? Apa maksudnya? Engkau menyuruhku berpegang teguh kepada jama’ah dan menganjurkanku kepadanya, kemudian engkau mengatakan, ‘Shalatlah sendiri, karena shalat adalah kewajiban fardhu, kemudian shalatlah bersama jama’ah, karena ia adalah ibadah sunnah?'”
Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Hai Amr bin Maimun, aku pikir engkau manusia yang paling ahli fikih di desa ini. Tahukah engkau yang dimaksud dengan jama’ah?”
Amr bin Maimun menjawab, “Tidak.”
Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Sesungguhnya jama’ah adalah sesuatu yang sesuai dengan kebenaran, kendati engkau sendirian di dalamnya.”
Nu’aim bin Hammad berkata, “Maksudnya, jika jama’ah telah rusak, maka engkau hendaknya berpegang teguh kepada sesuatu yang ada pada jama’ah sebelum jama’ah itu rusak, kendati engkau sendirian di dalamnya, karena sesungguhnya ketika itu engkau adalah jama’ah.”
Abu Syamah dan Mubarak dan Hasan Basri berkata, “Sunnah, dan Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, berada di antara orang yang berlebih-lebihan dengan orang yang keras, maka bersabarlah terhadap Sunnah. Mudah-mudahan kalian dirahmati oleh Allah. Sesungguhnya pengikut Sunnah jumlahnya sedikit pada zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Mereka tidak ikut-ikutan dengan orang-orang mewah dalam kemewahan mereka dan orang-orang ahli bid’ah dalam bid’ah mereka. Mereka bersabar terhadap Sunnah mereka hingga mereka berjumpa dengan Allah. Kalian hendaknya seperti itu.”
Muhammad bin Aslam At-Tusi adalah seorang imam yang diakui keimamannya. Kedudukannya tinggi, dan merupakan manusia yang paling konsekuen dengan Sunnah pada zamannya. Ia berkata, “Tidaklah aku mendapatkan Sunnah Rasulullah ﷺ melainkan aku segera mengamalkannya. Sungguh, aku terbiasa thawaf di Baitullah di atas kendaraan. Ketika aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba salah seorang dan orang berilmu pada zamannya ditanya tentang maksud as-sawad al a’zham (kelompok besar) yang disebutkan di dalam hadits, ‘Jika manusia berbeda pendapat, maka kaliam berpegang teguh kepada as-sawad al a’zham (kelompok besar).’ Orang berilmu tersebut lalu menjawab, ‘Muhammad bin Aslam At-Tusi as-sawad al a’zham (kelompok besar).'”
~
Yang perlu saya garis bawahi di sini bahwa yang disebut jama’ah; ummat; bahkan demokrasi adalah segala sesuatu yang bersesuaian dengan kebenaran—yang tidak berdimensi kepada kebenaran orang banyak ataukah kebenaran beberapa orang.
Di sinilah tugas kita untuk menjaga mripat kita agar mampu melihat sejatinya kebenaran.
Salam,
08 Maret 2015