SATU KENANGAN DALAM TIGA CERITA

Bagaimana perasaanmu jika ternyata kamu mengalaminya juga?



Minggu, 20 September 2015

Seperti biasa, bapak sudah menunggu satu jam yang lalu. Tidak ada yang beda sama bapak. Sejak kecil, bapak selalu menjemput kami satu jam lebih dulu. Padahal tidak ada kereta yang tiba lebih cepat dari jadwalnya. Tetapi bapak selalu memilih menunggu.

Sesampai di rumah, saya tidak banyak cerita. Entah mengenai pekerjaan, mengenai kehidupan, mengenai apapun. Kecuali kalau Bapak dan Ibu bertanya.

Hari-hari bapak lalui berdua bersama ibu. Memperbaiki rumah. Merawat kebun. Pergi ke pasar, pergi ke dokter, pergi ke hajatan orang, pergi kemana pun, bapak dan ibu selalu berdua. Bapak orangnya rajin dan ringan tangan. Musholla depan rumah bapak yang ngurus. Padahal bukan musholla pribadi dan tidak berdiri di tanah kami, tetapi bapak rajin merawatnya. Membelikan ini itu, mengecat. Dan terakhir terlihat karpet baru di musholla. Bapak suka sekali menyibukkan diri. Di rumah ada kolam lele, ribuan jumlahnya, hasil keterampilan bapak juga. Budhe yang sakit, bapak juga yang ngurus, padahal anak-anaknya budhe mampu mengurus budhe, tapi budhe lebih memilih bapak.

Kami bangga sama bapak.

Kami pulang sebulan, dua bulan atau satu tahun sekali. Lumayan lama. Alhamdulillah, setelah mas Dian pindah tugas di Jogja, mas Dian sering pulang menengok Bapak dan Ibu. Mba El yang mengaturnya. Kalau ada long weekend dipastikan mas Dian sekeluarga menginap di rumah. Ibu dan Bapak terhibur—saya juga.

Senin, 21 September 2015

Hari ini saya cuti, tidak masuk kerja. Itulah kenapa saya pulang. Mba El sidang promosi Doktor nanti sore. Mba El minta saya datang. Ibu dan Bapak juga datang.

Selain itu, ada agenda sosial di rumah sakit Semarang. Ada bayi yang mengidap Pneumonia dari keluarga tidak mampu. Bapak yang mengantar, namun bapak langsung ke rumah mba El, saya menyusul. Ini kali kedua bapak membantu saya. Sebelumnya, bapak juga membantu saya menyalurkan bantuan ke pasien penderita kanker.

Di rumah sakit, saya ditemani Danang yang baru tiba dari Pontianak. Sudah sangat lama saya tidak bertemu dengannya, semenjak tiga tahun yang lalu. Kami datang mewakili teman-teman. Sayang, kami berdua tidak bertemu si bayi, karena masih di ICU. 

Setelah agenda di rumah sakit selesai, jam tiga sore acara mba El dimulai.

Mas Dian tiba lebih dulu, disusul saya, lalu bapak dan ibu. Di dalam mobil, mas Dian merapikan penampilan Bapak. Hari ini bapak terlihat spesial. Bapak orang yang jarang membeli pakaian. Setahun dapat dihitung, satu atau dua kali. Itu pun dibelikan anak-anaknya. Namun untuk hari ini Bapak beli sendiri jas dan sepatunya tiga hari yang lalu di swalayan kecil di kota kami.

  

Acara pun dimulai. Saya duduk di belakang bapak.

Dua jam berlalu, Mba El sidang dengan lancar. Mba El lulus. Mba El Doktor. Suasana haru dan bahagia pecah menjadi satu.

Habis maghrib, suasana mulai sepi.

Mas Dian pulang ke Jogja, saya beranjak ke stasiun. Bapak dan Ibu pulang ke rumah. Dan ternyata menjadi pertemuan terakhir dengan bapak.

Jumat, 25 September 2015

Pukul sembilan pagi bapak mengirim sms ke saya, memberitahu sedang belajar mengoperasikan HP baru yang diberi mas Arif. HP lama kecil suaranya.

Waktu berlalu.

Menjelang pukul sebelas malam, bapak telephone. Saya menduga ada kabar buruk yang ingin disampaikan bapak, mungkin budhe meninggal.

Telephone saya angkat.

Tidak ada suara bapak.

Bukan bapak yang menelephone. Tetapi tetangga saya menelephone pakai HP bapak. Hati saya tak karuan. Ada kabar buruk apa?

“Tolong bapak saya ya pak. Bawa ke rumah sakit. Tolong. Terima kasih ya pak.” Saya meracau.

Bapak dikabarkan tidak sadarkan diri. Bapak pingsan. Dan bapak—selama saya kenal—tidak pernah pingsan!

Firasat saya melompat kemana-mana.

Lampu saya hidupkan kembali. Berkemas seadanya, pulang saat itu juga. Waktu berputar, hanya ada bapak.

Tiba di stasiun, telephone berdering kembali.

“Le bapakmu sudah meninggal. Kamu yang sabar ya. Kamu pulang. Mas-masmu belum ada yang ngangkat telephone. Sabar ya le.”

Waktu berjalan melambat. Memutar satu per satu memori tentang bapak. Tentang apapun terkait bapak. 

Mau tidak mau, suka tidak suka hal ini pasti tiba.

Tetapi kenapa malam ini! Kenapa tiba-tiba!

Jam dua belas malam kereta kembali mengantarkan saya pulang.

Sabtu, 26 September 2015

Minggu yang lalu, bapak ada disini. Menjemput saya di stasiun ini. Tetapi sekarang…

Saya melangkah kosong, keluar dari pintu kereta. Mengambil wudhu menenangkan diri.

Pagi ini orang lain yang akan menjemput, bukan bapak lagi. Bapak tidak akan menunggu di sini lagi, selamanya.

Sepanjang perjalanan pulang, memori melintas bergantian, mengurai kenangan dengan cepat.

Saya berusaha tegar.

Tidak.

Saya tidak bisa tegar, saya belum siap ditinggal bapak.

   

Di halaman rumah masyarakat sudah banyak yang berkumpul. Mendirikan tenda, mempersiapkan kursi meja. Di ruang depan bapak disemayamkan. Ibu duduk di samping bapak. Saya peluk ibu, lalu isak tangis pecah lagi.

“Bapakmu sudah ndak ada le. Kamu yang tenang ya.” Ibu memeluk erat. Ibu pasti tergoncang. Ibu yang melihat bagaimana bapak meninggal tadi malam. Bapak meninggal dalam kondisi tidak sakit. Bapak baru saja medical check up, tidak ada gangguan kesehatan apa-apa. Habis isya’ bapak masih sempat menelephone cucu-cucunya. Bapak masih sempat kenduri di tetangga. Bapak masih sempat semuanya. Mengurus kebun. Pergi bersama ibu. Merawat musholla. Memberi makan lele-lelenya.

Mas Dian yang sudah datang lebih dulu, menghampiri, menenangkan.

Mas Arif belum datang. Pesawatnya delay karena bencana asap yang memburuk. Kemungkinan tiba sore hari.

  

Bapak bersemayam sejak tadi malam. Tidak mungkin menunggu lebih lama lagi menunggu mas Arif tiba. Kami meminta ijin kepada mas Arif, untuk segera menguburkan bapak. Mas Arif mengijinkan.
Haru kembali pecah saat bapak dimakamkan.

Ibu tidak ikut. Hanya saya dan mas Dian yang mengantarkan bapak.

Mas Arif tiba sore hari. Lalu saya antar ke kubur bapak. Makam bapak bersebelahan dengan saudara-saudara yang lain. Mas Arif sholat dan berdoa. Mas Arif menangis. Saya ikut menangis. Terisak tanpa suara.

Sementara mas Wafa baru tiba hari seninnya dari Singapura. Prosedur ijinnya tidak semudah kami.

Untuk kesekian kali saya menangis, memeluk erat kakak-kakak saya.

“Mas, bapak sudah meninggal. Bapak sudah meninggal mas.”

“Kamu yang tenang, bapak orang yang baik, kita bangga sama bapak. Bapak juara.”

~

  

Bapak orang yang paling baik yang saya kenal. Paling sabar. Suka sekali membantu ini itu. Bapak telah menyelesaikan semuanya.

Betapa mudah bapak pulang.

Saya sangat rindu bapak.

Allahummaghfirlahuu ya Allah.

23:15 WIB

SENI KALIGRAFI TIONGKOK DI CANDRA NAYA

Hari ini saya kemana? Ke Candra Naya.

Candra Naya adalah rumah dari Mayor Belanda berdarah Hokkien. Namanya Khouw Kim An. Jadi Khouw Kim An ini diberi tanggungjawab sama Belanda untuk mengatur etnis Tiongkok di negeri ini. Sang Mayor bertrah pada Khouw Tjoen, seorang saudagar Hokkien yang bermigrasi ke Tegal, yang pada akhirnya menetap di Batavia pada abad ke 18. Nah, Candra Naya inilah satu-satunya rekam jejak keluarga Khouw yang masih ada hingga sekarang, meskipun bangunannya terhimpit oleh super block Green City. Kok bisa ya pemerintah memberi ijin pembangunan hotel di sini?

IMG_2580.JPG

Saat ini rumah Khouw digunakan untuk berbagai kegiatan, salah satunya seperti hari ini: Pameran Kaligrafi Tiongkok. Kaligrafi Arab dan Kaligrafi Tiongkok. Jangan sebut China lagi ya, tidak boleh. Dilarang. Hhe.

IMG_2581.JPG

Masuk rumah Khouw gratis. Dari shelter Olimo jalan kaki menuju hotel Novotel. Di tengah-tengah hotel itulah rumah Khouw dihimpit. Lokasinya bersih dan terawat. Pihak Novotel sepertinya yang mengurus. Pintunya berdiri gagah dengan gagang pintu bulat tertempel di daun pintu sebagai Pa Kua pengusir roh jahat (tolak balak). Di kedua daun pintu tertulis aksara Tiongkok, saya tidak tahu bagaimana artinya.

Rumah ini lapang, dengan jendela-jendela berukuran besar. Kanan kiri rumah terdapat bangunan sederhana—yang saat ini digunakan sebagai lapaknya pak Bondan ‘Maknyus’ (Kopi Oey).

IMG_2585.JPG

IMG_2587.JPG

IMG_2586.JPG

Workshop Kaligrafi

Acara ini diselenggarai oleh Kaligrafi Islam dan Ningxia Islam Huaer Culture Media. Tidak hanya workshop seni kaligrafi arab tapi juga seni kaligrafi Tiongkok, ada juga seni lukis kanvas—Shan Shui Hua.

Sebagian besar saya tidak paham apa yang ditulis, tapi saya menikmatinya. Tak banyak orang yang datang kesini, kecuali orang yang nggak jelas seperti saya. Karena tidak banyak yang datang berkunjung, terkesan private. Bahkan saya sempat melamun seorang diri di halaman belakang. Apeu. Hhe.

IMG_2592.JPG

IMG_2594.JPG

Ikannya besar-besar. Tidak hanya ikan yang hidup berenang, ornamen atap rumah ini pun ada ikan koinya. Saya tidak tahu melambangkan apa ikan koi bagi keluarga Khouw.

IMG_2595-0.JPG

Allah pemberi cahaya langit dan bumi. Bagus ya kaligrafinya. Kaligrafinya boleh difoto tapi tidak boleh dipegang. Hanya kaligrafi itu yang bisa saya baca. Al-Qur’an surah dan ayat berapa hayo? Iya, qs. 24:35.

IMG_2597.JPG

Melangkah ke ruang lainnya, disuguhi tulisan Salam, dibalik pintu pula. Seolah-olah ada yang sedang berinteraksi. Kata Salam dapat ditemukan di beberapa surah di al-Qur’an, namun yang bertepatan dengan kaligrafi tersebut adalah Salam dari Tuhan Yang Maha Penyayang. Tuhan menyapa siapa saja yang masuk surga-Nya. Ini dapat dilihat di qs. 36:58.

IMG_2578.JPG

Kaligrafi yang sedang dipegang sama orang-orang berdialek Tiongkok ini saya tidak bisa membacanya. Anda bisa membacanya?

IMG_2598.JPG

Shan Shui Hua itu seni lukis yang berlatar gunung dan air. Kalau di negara kita latarnya gunung dan sawah. Hhe

IMG_2599.JPG

Tidak hanya seni kaligrafi arab, seni lukis khas Tiongkok pun dipamerkan juga. Pengunjungnya pun tidak hanya muslim saja, saudara-saudara Tionghoa pun juga ada.

IMG_2601-0.JPG

Demikian catatan Kemana saya hari ini. Sebelum pulang, saya membeli T-Shirt bertuliskan kaligrafi Tiongkok karya ustadz Abu Bakar Chang. Setelah saya tanyakan, makna tulisannya adalah Kebaikan menyuguhkan keharmonisan. Mantap. Hhe.

Salam,

25 Januari 2015

MENJADI KAYA ADALAH ISI UTAMA KEPALA MANUSIA INDONESIA, TERMASUK SAYA TAPI TIDAK TERMASUK ANDA

Sesungguhnya orang-orang yang kaya adalah orang yang paling sedikit pahalanya di hari Kiamat nanti, kecuali orang yang diberikan kebaikan oleh Allah, lalu disebarkan dari arah kanan dan kirinya, serta dari arah depan dan belakangnya dan ia beramal kebaikan dalam hartanya itu. [Dikutip dari lisan Rasulullah ﷺ saat bersama Abu Dzar — diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim]

Kita bangsa bersuku-suku, tetapi cita-cita satu. Kita berbagai-bagai budaya, tetapi gawang kehidupan satu. Kita punya banyak agama, ragam nilai, pilihan-pilihan di segala sisi kehidupan, tetapi obsesi kita satu.

Anak-anak kita boleh pilih masuk kuliah di Fakultas Kedokteran, Ekonomi, Teknik, bahkan Tarbiyah dan Ushuludin, namun harapan hidupnya satu.

Satu cita-cita itu ialah menjadi kaya.

Ada kerbau, ada macan, berang-berang, buaya, cacing, badak dan jutaan macam hewan lagi, tetapi cita-citanya sama; ingin terbang dengan pakaian kemewahan.

Macam-macam profesinya, macam-macam permainannya, beragam-ragam kostum dan ayat-ayatnya, namun obsesinya menyatu secara nasional, ialah menjadi kaya. Memang ada klise-klise aplikatif; ingin mengabdi kepada bangsa dan negara. Ingin berbakti kepada agama dan masyarakat. Dan mungkin benar awalnya memang bercita-cita seperti itu, tetapi begitu ketemu pintu-pintu gerbang keuangan; mulai penuhlah kepala oleh cita-cita tunggal itu. Kalau anak-anak kecil dikasih iklim; ingin menjadi dokter, insinyur, presiden. Tetapi, ujungnya sama saja, yaitu menjadi kaya. Milih jadi orang kaya meskipun tidak jadi dokter, daripada sebaliknya.

Uang berlimpah jauh lebih menarik daripada Tuhan. Korupsi jauh lebih dipercaya dibanding hakikat dan metabolisme rezeki. Kalau melebar sedikit; orang diam-diam sudah makin sanggup meragukan Tuhan, tetapi tak seorang pun memiliki keberanian untuk meragukan demokrasi. Orang lebih tertarik pada kekayaan dibanding keshalehan. Orang lebih terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada kejayaan materi dibandingkan kemuliaan hidup.

Menjadi kaya adalah isi utama kepala manusia Indonesia. Dan untuk itu dipilih cara dan jalan yang paling bodoh dan malas; akting menjadi pemimpin, ustadz, artis, wakil rakyat, lembaga zakat infak atau apapun.

Jangan khawatir, tentu saja orang juga menikmati hubungannya dengan Tuhan, kenyamanan bernasionalisme, kesantunan sosial, estetika dan lain sebagainya, tetapi itu semua sekunder. Yang primer di kepalanya adalah harus ada kenyataan bahwa ia berlimpah atau sekurang-kurangnya aman di bidang keuangan.

~

Di luar kaya, unsur lain populer juga: powerful and famous, berkuasa dan terkenal. Tetapi kekuasaan dan popularitas juga membawa visi-misinya sendiri: merangsang manusia untuk lebih kaya dan lebih kaya.

Kekuasaan adalah jalan yang paling populer untuk mencapai cita-cita tunggal itu. Maka tidak ada agenda apapun yang lebih diutamakan dibanding apapun dalam kehidupan bangsa Indonesia melebihi agenda politik. Siang malam, tiap bulan, tiap tahun, headline, ngrumpi, obrolan gardu, apapun saja sesungguhnya berpangkal dan berujung pada agenda politik.

Disebuah provinsi saya diajak ketemu oleh seorang wali kota, di saat lain oleh sekelompok pemuda dari suatu komunitas, juga di malam lain seorang pemimpin pembela kaum miskin urban semuanya untuk agenda yang sama: yakni membicarakan nasib ribuan orang yang berumah di bawah jalan tol.

Tatkala ajakan itu disampaikan kepada saya, saya benar-benar sibuk menonton televisi yang menayangkan berita bahwa Pak Gubernur provinsi itu sedang naik podium menyatakan akan mencalonkan diri menjadi presiden mendatang.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis dan shalat taubat kepada Allah gara-gara seekor unta terpeleset nun jauh di sana namun masih di wilayah tanggungjawab kekhalifahannya. Ia begitu merasa bersalah. Agenda pak Umar benar-benar berbeda dengan agenda Pak Gubernur.

~

Sejumlah orang akan membantah kalimat-kalimat ini. Tetapi, saya sendiri sudah terlalu tua untuk mampu membantah hal itu. Saya sudah uzur dan ditipu mentah oleh fakta-fakta kehidupan, sehingga sampai menjelang kepala enam saya belum memulai apapun untuk memperjuangkan karier saya: jangankan lagi untuk menegakkan kebenaran.

Tentu saja kalau yang dimaksud karier adalah berkuasa, kaya, dan terkenal: sudah lama—menurut ukuran saya dengan hidup tempe sambal dan menikmati cuci kaus piring: saya tidak memiliki problem apa-apa. Tetapi, yang saya maksudkan karier adalah mandat kekhalifahan dengan konten dan skala yang jelas yang sudah lama saya siapkan namun tidak ada gejala bahwa sejarah manusia ini memerlukan kualitas kesejahteraan hidup semacam itu.

[oleh Muhammad Ainun Nadjib]

*dapat dibaca di buku ‘Jejak Tinju Pak Kyai’ cetakan tahun 2008

NASIHAT MENUJU PERNIKAHAN: SURAT

IMG_2416.JPG

Surat ini datang beberapa hari setelah sidang sarjana saya selesai.

“Ini ada titipan untukmu.” Kak Elsa memberikan amplop coklat seukuran folio.

“Dari siapa kak?”

Kak Elsa merapikan jilbab. Bros yang dipakainya terlepas.

Sebenarnya saya tidak begitu kenal dengan kak Elsa—apalagi dengan laki-laki yang menulis surat ini. Baru satu tahun saya mengenal kak Elsa, itu pun kami jarang berkomunikasi.

Ketika kak Elsa menyebutkan nama, segera saya tahu siapa yang dimaksud—tepatnya tahu namanya, tetapi tidak pada orangnya.

Dua tahun yang lalu, nama yang sama pernah menuliskan surat untuk saya. Kejadiannya lucu, saya tergelitik mengingatnya. Beginikah laki-laki jika jatuh cinta?

Dulu ada sebuah paket datang beralamatkan rumah saya. Tapi bukan saya yang menerima, melainkan adik saya; Rajasa. Rajasa memberikan paket tersebut kepada ibu saya.

Kasihan laki-laki itu.

Paket terlanjur dibuka oleh adik saya dengan ibu saya—tanpa saya.

Di dalam paket tersebut, terselip sebuah surat. Seharusnya Rajasa tidak boleh membacanya. Ibu yang menyuruhnya.

Rajasa semangat sekali membaca surat itu, seolah-olah ia sedang diberi tugas oleh gurunya untuk membacakan sebuah cerita di depan kelasnya. Ibu mendengarkan, sesekali tersenyum, kalimat demi kalimat meluncur dari adik saya tanpa intonasi yang baik. Ibu tersenyum lagi—terkenang bagaimana ayah dua puluh lima tahun yang lalu jatuh cinta kepada ibu. Tentunya ayah tidak segila laki-laki ini. Ibu tersenyum lagi.

Sebenarnya laki-laki ini bermaksud baik. Tapi entah kenapa, di hati saya tidak ada rasa kepadanya.

Baru empat tahun belakangan saya menata diri. Berjilbab, lalu memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Seabrek kegiatan kampus telah menyita banyak waktu, namun Tuhan begitu cepat memberikan ujian; cinta.

~

Malam ini Surabaya turun hujan rintik. Kami tidak kemana-mana. Biasanya ayah mengajak kami makan di luar atau sekedar jalan-jalan untuk menghabiskan malam akhir pekan. Tapi tidak untuk malam ini, kami hanya berkumpul di ruang tengah saja.

Akhirnya saya berani untuk berbicara mengenai surat itu. Ibu duduk di samping saya, merangkul. Sementara ayah di ujung sofa mendengarkan.

Ini kali pertama saya bercerita kepada ayah mengenai cinta. Ibu yang seringkali mendengarkan curhatan saya.

Setelah bercerita, Ayah mendekat.

“Kakak kan baru saja lulus. Masih jauh untuk menikah. Tapi kalau kakak mau menikah, ayah tidak memaksa.”

Ayah orang yang bijak. Ibu mengiyakan.

Dulu ibu menikah dengan ayah ketika umur dua puluh dua tahun. Sama persis dengan umur saya saat ini. Melahirkan kak Anna setahun kemudian. Lalu empat tahun setelah itu lahirlah saya. Adik saya Rajasa terpaut jauh.

Kak Anna sudah berkeluarga sejak tiga tahun yang lalu. Otomatis Rajasa menjadi tanggungjawab saya.

Saat-saat semangat mendalami agama, saya pernah ingin untuk menikah di usia muda, bahkan sering merasa iri dengan shalihat lain yang berani menikah meski masih kuliah. Padahal tanggungjawab menikah itu luar biasa adanya, bagaimana mereka bisa mengatur waktu kuliahnya? Pertanyaan itu selalu menyisakan kagum.

Cinta adalah ujian. Hey, bukankah ujian itu mendewasakan? Mematangkan bagaimana kita memandang sesuatu hal.

~

Beberapa minggu berlalu. Surat itu masih tergeletak sepi di meja kamar. Saya belum menjawabnya. Kesibukan menjelang wisuda serta persiapan mencari kerja sungguh menyita waktu.

Keinginan menikah muda hanya semangat belaka. Sejatinya saya masih ingin hidup sendiri. Mencari kerja, menemanai Rajasa, dan membahagiakan ibu dan ayah. Selain itu saya belum kenal apa-apa dengan lelaki itu, saya belum mencintainya.

~

Sent.

Email terkirim.

Tiga lembar jawaban, saya kirimkan ke email mba Elsa.

~

Ini keputusan terbaik, belum ada kemantapan hati bagi saya untuk menikah—setidaknya dengan lelaki itu.

13 Januari 2014

[gambar dari sini.]

NASIHAT MENUJU PERNIKAHAN: PROPOSAL

“Kamu tahu?” Pak Tua menyergap. “Gadis itu sedang dilindungi dengan apa yang telah menjadi keputusannya tersebut.”

~

Malam ini, angin di tepian pantai Tuban belum begitu menusuk. Saya dan pak Tua (seperti biasa) keluar untuk sekedar duduk-duduk. Di ujung horison sana terdapat sebuah pulau. Pulau Bawean namanya. Pulau kecil berjarak tiga jam dari pelabuhan Gresik. Dan dari sanalah perasaan-perasaan ini semakin tumbuh–sejak empat tahun yang lalu.

“Jadi, gadis itu telah menerima suratmu?”

Saya mengangguk.

Bulan November tahun lalu–atas nasihat pak Tua–saya mengirimkan surat itu, lebih tepatnya proposal, proposal perkenalan untuk seseorang di pulau Bawean.

Lin Lin.

Namanya Lin Lin. Penamaan yang khas dari dialek Hokkian. Orang Hokkian adalah perantau mayoritas di negeri ini. Dulu di zaman kolonial Belanda, pemerintah Batavia pernah membatasi kuota perantau dan mendata mereka berdasar daerah asal. Setidaknya ada empat kelompok besar, yaitu; Hokkian, Tiochiu, Konghu, dan Hakka. Mayoritas orang Hokkian berasal dari daerah pesisir, seperti Zhangzhou dan Quanzhou. Mereka adalah pekerja keras dan pandai berdagang.

Lin Lin adalah orang Hokkian, ia tinggal di belakang pasar Kembang Jepun Surabaya. Ia baru saja lulus sarjana dari sebuah Institut kota tersebut. Setahun terakhir ia menghabiskan waktunya untuk Indonesia Mengajar. Pulau Bawean menjadi tempatnya menaruh sejengkal kepeduliannya di dunia pendidikan.

Saya tidak tahu apa-apa tentang Lin Lin, sampai suatu hari pak Tua mengajak saya membeli perlengkapan melautnya. Di toko Akiong itulah saya jatuh hati kepada Lin Lin.

Akiong adalah ayahnya. Pedagang besar di kota Surabaya. Tidak seperti orang Hokkian kebanyakan, keluarga Akiong telah lama memeluk Islam. Lin Lin di toko itu terlihat anggun dengan jilbab besarnya tertutup longgar. Semenjak itu, separuh hati saya tertinggal.

“Dia sudah membalas suratmu?” Tanya pak Tua pendek-pendek.

Saya kembali mengangguk.

“Lalu?”

Saya diam.

Empat tahun lamanya perasaan itu saya jaga. Dan hanya pak Tua yang tahu. Setelah lama terbenam, pak Tua menyarankan agar saya menanyainya–tentang perasaan ini.

“Saya sudah menerima surat itu. Kemarin.”

Angin berhembus. Malam beranjak larut. Pak Tua senyap mendengarkan.

“Dia belum siap menikah. Dia ingin melanjutkan pendidikannya. Adiknya juga masih kecil, dan butuh penjagaan kakaknya. Ayah dan Ibunya telah menyetujui keputusannya tersebut.”

Suara ombak terdengar di kejauhan, melenyapkan perasaan-perasaan yang saya keluarkan satu per satu.

“Apapun latar belakangnya, ia menolak proposal saya.”

Pak Tua mendekat. Ia hendak menasihati. Pak Tua adalah penasihat ulung!

“Dengar. Betapa banyak manusia setelah sekian lama terjadi baru menyadari bahwa Tuhan amat mengenali dan menyayangi ciptaan-Nya. Apakah kamu lupa dengan peristiwa di Bandara tempo lalu?” Tanya pak Tua.

Saya menggeleng.

Saya belum melupakan peristiwa itu, dan saya tahu kemana arah nasihat pak Tua ini.

Minggu yang lalu saya kesal bukan main kepada pelayanan Bandara Soekarno Hatta. Bus kecil berwarna kuning (Shuttle Bus) milik Angkasa Pura telat hampir setengah jam. Padahal di dalam tulisan, bus tersebut akan datang setiap sepuluh menit. Terminal satu ke terminal tiga lumayan jauh. Satu jam lagi penerbangan akan ditutup. Bus kuning itu belum terlihat keberadaannya. Setengah jam berlalu, bus datang. Di dalam bus, saya was-was. Pasti telat, gumam saya. Sampai di terminal tiga, pintu check in sepi. Tidak terlihat antrian seperti biasa. Penerbangan telah ditutup. Tiket saya hangus.

Namun dari peristiwa itu, Tuhan menyelamatkan saya, pesawat yang seharusnya saya tumpangi gagal take off, terperosok di ujung run way. Beberapa bagian pesawat terbakar.

~

“Kamu tahu? Gadis itu sedang dilindungi dengan apa yang telah menjadi keputusannya tersebut.” Pak Tua menasihati.

Iya. Saya berkeyakinan sama seperti pak Tua. Mungkin akan jauh lebih baik jika Lin Lin menolak proposal itu. Lin Lin gadis yang baik. Tuhan mencintainya. Orang yang baik pastilah dipertemukan dengan orang yang baik juga. Mana mungkin Tuhan tega?

Dan tentunya tidak akan timbul fitnah apa-apa jika Lin Lin menolak saya, karena saya bukan termasuk golongan di dalam hadits yang banyak orang bicarakan saat peristiwa pernikahan menjelang.

Empat tahun lamanya perasaan itu saya jaga, dan malam ini tibalah waktunya untuk dilepas.

Dari suratnya itu, saya baru tahu kalau Lin Lin bukan anak pertama Akiong, melainkan anak keduanya.

Surat itu tiga lembar banyaknya. Surat pertama dan terakhir Lin Lin kepada saya.

11 Januari 2015

ADA SESUATU

Ada sesuatu yang lebih baik engkau tidak tahu.

Kemudian menjadi debu.

Lalu terhempas oleh angin, sejauh ribuan mil. Lantas hilang.

Tidak dipertanyakan, tidak mempertanyakan.

Karena ada sesuatu yang lebih baik engkau tidak tahu.

Tetapi mana bisa?

qs. 4:42.

09 Januari 2015

KEIMANAN

IMG_2378.JPG

Sebentuk apakah keimanan itu? Orang dulu bilang ia membawa kenikmatan. Andaikan saja para raja mendengarnya, pastilah mereka merampoknya. Andaikan saja ada di hati manusia, meski kecil, sangat kecil, keberadaannya menyelamatkan dari maha marabahaya.

Tapi, sebentuk apakah keimanan itu?

~

Ya Allah, saya belum pernah merasakannya.

09 Januari 2015

*gambar dijepret satu setengah jam yang lalu.

KEREDHAAN ALLAH

Atas secuil ujian yang tak berbanding lurus dengan apa yang telah aku usahakan.

Buru-buru kupersalahkan kehendak Tuhan.

Menyangka terhadap-Nya dengan bermacam prasangka. Menyangka yang tidak benar kepada-Nya.

“Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepadaku melainkan tipu-tipu!” (qs. 33:12).

Padahal yang ada adalah kecemasan yang datang dari dalam diri sendiri saja (qs. 3:154).

~

Betapa aku ini amat kerdil taqwanya; amat culas ibadahnya: amat munafik bathinnya.

Mengukur rizqi linier saja; hanya berupa harta dan kemudahan hidup saja.

~

“Bertaqwalah kepada Allah, Allah akan adakan jalan keluar; Allah akan ulurkan rizqi-Nya dari arah yang tidak kamu sangka-sangka.” (qs. 65: 2-3).

Mahasuci Allah yang tidak pernah menyalahi janji-janji-Nya.

Sebab Sa’d ibn Mu’adz yang bergelar ‘terkasih’; yang ibadahnya amat total; yang taqwanya tidak diragukan, hartanya itu-itu saja. Meski keras ia bekerja; berkapal muka tangannya; pecah guratan genggamannya, ia redha pada apa-apa yang diperolehnya.

Kalau saja redha Allah itu terletak pada mudahnya hidup dan gemilangnya harta, tentu Rasulullah tak sampai berdarah pelipisnya, tak sampai rompal gigi serinya, tak sampai melilit perutnya, tak sampai termiskin kehidupan dunianya.

Kalau saja redha Allah terletak pada mudahnya hidup dan gemilangnya harta, tentu makhluq yang mendurhakai-Nya telah punah keberadaannya.

Di dalam Islam mudah sukar, miskin gemilang tidak jadi ukuran atas keredhaan Allah.

Abdurrahman bin ‘Auf berkemudahan dan bergemilang kehidupan dunianya. Terkaya pada masanya. Namun terjamin sebagai makhluq surga.

‘Ali bin Abi Thalib maharnya hanya dari jualan baju besi pemberian; perabotan rumah tangganya tak bermacam; Alas tidurnya hanya satu lembar saja. Namun baginya juga terjamin surga.

Apapun yang ditimpakan dan dikaruniakan Allah kepada mereka, mereka redha pada Allah, dan Allah redha pada mereka.

~

Hanya orang tak bersabar yang menghalalkan yang haram.

Haram-haram yaa Qolu (haram-haram ya tertelan).

Dunia adalah ladang penghambaan.

Berkarya dan berketekunan adalah cara meraih cinta-Nya.

Karena yang paling penting bukan pendakuan kita cinta kepada Allah, namun cintakah Allah kepada kita.

09 Agustus 2014

*dipost ulang di 28 November 2014.

HUKUM BISNIS BAGI SAYA

Fase bisnis bagi saya (untuk saat ini) itu hukumnya masih sunnah, atau jangan-jangan sudah wajib?

~

Setiap kali melihat barang atau jasa yang dilakukan oleh orang lain untuk dijual, seringkali saya berpikir, “Ah, cuma kayak gitu. Saya sih bisa bikin begituan.”

Atau setiap kali balik ke rumah, saya seringkali iba kepada remaja-remaja dan masyarakat desa yang tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan, banyak sekali yang berjuang hingga ke luar negeri.

Tidak hanya iba kepada mereka, saya pun murka kepada diri saya sendiri yang notabene memiliki sedikit pengetahuan, dan seharusnya saya mampu menggunakannya untuk kemaslahatan hidup masyarakat.

Dengan cara berpikir seperti itu, saya kayaknya sudah wajib untuk berbisnis. Sehingga ketika waktu semakin menuakan saya, sementara saya tidak berbisnis apa-apa, sejauh itu pula saya akan menuai dosa-dosa atas kewajiban saya yang saya tinggalkan dengan sengaja.

Atau karena kepongahan saya berpikir seperti itu, yaitu menganggap bahwa berbisnis bagi saya hukumnya sudah wajib, dan ternyata tidak. Sebenarnya saya jatuh pada hukum makruh. Dimana meninggalkannya justeru lebih baik daripada mengerjakannya. Tentu saya akan menuai ke-mudharat-an selamanya.

Jadi, berbisnis bagi saya (untuk saat ini) itu hukumnya masih sunnah, atau sudah wajib?

atau bahkan malah makruh.

08 Agustus 2014

*tulisan ini abaikan saja. Karena tidak ada manfaatnya. Hhe

RIUH

20140603-220649-79609182.jpg

RASULULLAH ﷺ jelas manusia biasa, ia tidak seperti ‘Isa putera Maryam, yang sewaktu lahir sudah tahu bahwa dirinya adalah Nabi. Tapi Muhammad ﷺ tidak.

Bahkan diawal-awal risalah, beliau gemetar hebat, tidak yakin bahwa dirinya adalah Nabi.

Disekian banyak teladan, saya ingin mengambil sebuah fase dalam kehidupan beliau. Yaitu pada saat beliau belum menjadi Nabi.

Ketika malam datang, beliau sering menyendiri. Bersemedi di dalam gua, yaitu gua Hira’. Membungkus keriuhan hidup dan meninggalkannya dalam kesunyian seorang diri.

Lalu saya melihat diri saya.

Saya tidak merasakan apa yang disebut kesunyian. Ketenangan amat jauh dalam jiwa saya. Jiwa saya tidak tenang. Hati berlarian, menginjak mati kekhusyukan.

Jiwa saya riuh. Sangat riuh. Tak mampu menahan berisik dunia.

Maka saya selalu terheran-heran dan takjub dengan seseorang. Ia mampu menahan agar hidupnya sunyi dan tenang. Ia tidak mempedulikan keriuhan masa di luar hidupnya. Ia tidak satu pun memperlihatkan hidupnya ke dunia luar.

Bagaimana dia bisa? Sementara saya tidak.

Bahkan satu tetes air mata pun tak kunjung datang. Hati saya keras, hati saya linglung, hati saya berlarian, hati saya kelelahan, hati saya tidak khusyuk.

Saya ingin dada saya dibelah oleh Mahapenyembuh. Untuk mengeluarkan segala penyakit yang ada di dalamnya.

Agar riuh hidup ini tak mampu pengaruhi (lagi).

~

Allaahumma innii as-aluka ridhaaka, ya Allah ridha-Mu ya Allah…ridha-Mu…