SATU KENANGAN DALAM TIGA CERITA

Bagaimana perasaanmu jika ternyata kamu mengalaminya juga?



Minggu, 20 September 2015

Seperti biasa, bapak sudah menunggu satu jam yang lalu. Tidak ada yang beda sama bapak. Sejak kecil, bapak selalu menjemput kami satu jam lebih dulu. Padahal tidak ada kereta yang tiba lebih cepat dari jadwalnya. Tetapi bapak selalu memilih menunggu.

Sesampai di rumah, saya tidak banyak cerita. Entah mengenai pekerjaan, mengenai kehidupan, mengenai apapun. Kecuali kalau Bapak dan Ibu bertanya.

Hari-hari bapak lalui berdua bersama ibu. Memperbaiki rumah. Merawat kebun. Pergi ke pasar, pergi ke dokter, pergi ke hajatan orang, pergi kemana pun, bapak dan ibu selalu berdua. Bapak orangnya rajin dan ringan tangan. Musholla depan rumah bapak yang ngurus. Padahal bukan musholla pribadi dan tidak berdiri di tanah kami, tetapi bapak rajin merawatnya. Membelikan ini itu, mengecat. Dan terakhir terlihat karpet baru di musholla. Bapak suka sekali menyibukkan diri. Di rumah ada kolam lele, ribuan jumlahnya, hasil keterampilan bapak juga. Budhe yang sakit, bapak juga yang ngurus, padahal anak-anaknya budhe mampu mengurus budhe, tapi budhe lebih memilih bapak.

Kami bangga sama bapak.

Kami pulang sebulan, dua bulan atau satu tahun sekali. Lumayan lama. Alhamdulillah, setelah mas Dian pindah tugas di Jogja, mas Dian sering pulang menengok Bapak dan Ibu. Mba El yang mengaturnya. Kalau ada long weekend dipastikan mas Dian sekeluarga menginap di rumah. Ibu dan Bapak terhibur—saya juga.

Senin, 21 September 2015

Hari ini saya cuti, tidak masuk kerja. Itulah kenapa saya pulang. Mba El sidang promosi Doktor nanti sore. Mba El minta saya datang. Ibu dan Bapak juga datang.

Selain itu, ada agenda sosial di rumah sakit Semarang. Ada bayi yang mengidap Pneumonia dari keluarga tidak mampu. Bapak yang mengantar, namun bapak langsung ke rumah mba El, saya menyusul. Ini kali kedua bapak membantu saya. Sebelumnya, bapak juga membantu saya menyalurkan bantuan ke pasien penderita kanker.

Di rumah sakit, saya ditemani Danang yang baru tiba dari Pontianak. Sudah sangat lama saya tidak bertemu dengannya, semenjak tiga tahun yang lalu. Kami datang mewakili teman-teman. Sayang, kami berdua tidak bertemu si bayi, karena masih di ICU. 

Setelah agenda di rumah sakit selesai, jam tiga sore acara mba El dimulai.

Mas Dian tiba lebih dulu, disusul saya, lalu bapak dan ibu. Di dalam mobil, mas Dian merapikan penampilan Bapak. Hari ini bapak terlihat spesial. Bapak orang yang jarang membeli pakaian. Setahun dapat dihitung, satu atau dua kali. Itu pun dibelikan anak-anaknya. Namun untuk hari ini Bapak beli sendiri jas dan sepatunya tiga hari yang lalu di swalayan kecil di kota kami.

  

Acara pun dimulai. Saya duduk di belakang bapak.

Dua jam berlalu, Mba El sidang dengan lancar. Mba El lulus. Mba El Doktor. Suasana haru dan bahagia pecah menjadi satu.

Habis maghrib, suasana mulai sepi.

Mas Dian pulang ke Jogja, saya beranjak ke stasiun. Bapak dan Ibu pulang ke rumah. Dan ternyata menjadi pertemuan terakhir dengan bapak.

Jumat, 25 September 2015

Pukul sembilan pagi bapak mengirim sms ke saya, memberitahu sedang belajar mengoperasikan HP baru yang diberi mas Arif. HP lama kecil suaranya.

Waktu berlalu.

Menjelang pukul sebelas malam, bapak telephone. Saya menduga ada kabar buruk yang ingin disampaikan bapak, mungkin budhe meninggal.

Telephone saya angkat.

Tidak ada suara bapak.

Bukan bapak yang menelephone. Tetapi tetangga saya menelephone pakai HP bapak. Hati saya tak karuan. Ada kabar buruk apa?

“Tolong bapak saya ya pak. Bawa ke rumah sakit. Tolong. Terima kasih ya pak.” Saya meracau.

Bapak dikabarkan tidak sadarkan diri. Bapak pingsan. Dan bapak—selama saya kenal—tidak pernah pingsan!

Firasat saya melompat kemana-mana.

Lampu saya hidupkan kembali. Berkemas seadanya, pulang saat itu juga. Waktu berputar, hanya ada bapak.

Tiba di stasiun, telephone berdering kembali.

“Le bapakmu sudah meninggal. Kamu yang sabar ya. Kamu pulang. Mas-masmu belum ada yang ngangkat telephone. Sabar ya le.”

Waktu berjalan melambat. Memutar satu per satu memori tentang bapak. Tentang apapun terkait bapak. 

Mau tidak mau, suka tidak suka hal ini pasti tiba.

Tetapi kenapa malam ini! Kenapa tiba-tiba!

Jam dua belas malam kereta kembali mengantarkan saya pulang.

Sabtu, 26 September 2015

Minggu yang lalu, bapak ada disini. Menjemput saya di stasiun ini. Tetapi sekarang…

Saya melangkah kosong, keluar dari pintu kereta. Mengambil wudhu menenangkan diri.

Pagi ini orang lain yang akan menjemput, bukan bapak lagi. Bapak tidak akan menunggu di sini lagi, selamanya.

Sepanjang perjalanan pulang, memori melintas bergantian, mengurai kenangan dengan cepat.

Saya berusaha tegar.

Tidak.

Saya tidak bisa tegar, saya belum siap ditinggal bapak.

   

Di halaman rumah masyarakat sudah banyak yang berkumpul. Mendirikan tenda, mempersiapkan kursi meja. Di ruang depan bapak disemayamkan. Ibu duduk di samping bapak. Saya peluk ibu, lalu isak tangis pecah lagi.

“Bapakmu sudah ndak ada le. Kamu yang tenang ya.” Ibu memeluk erat. Ibu pasti tergoncang. Ibu yang melihat bagaimana bapak meninggal tadi malam. Bapak meninggal dalam kondisi tidak sakit. Bapak baru saja medical check up, tidak ada gangguan kesehatan apa-apa. Habis isya’ bapak masih sempat menelephone cucu-cucunya. Bapak masih sempat kenduri di tetangga. Bapak masih sempat semuanya. Mengurus kebun. Pergi bersama ibu. Merawat musholla. Memberi makan lele-lelenya.

Mas Dian yang sudah datang lebih dulu, menghampiri, menenangkan.

Mas Arif belum datang. Pesawatnya delay karena bencana asap yang memburuk. Kemungkinan tiba sore hari.

  

Bapak bersemayam sejak tadi malam. Tidak mungkin menunggu lebih lama lagi menunggu mas Arif tiba. Kami meminta ijin kepada mas Arif, untuk segera menguburkan bapak. Mas Arif mengijinkan.
Haru kembali pecah saat bapak dimakamkan.

Ibu tidak ikut. Hanya saya dan mas Dian yang mengantarkan bapak.

Mas Arif tiba sore hari. Lalu saya antar ke kubur bapak. Makam bapak bersebelahan dengan saudara-saudara yang lain. Mas Arif sholat dan berdoa. Mas Arif menangis. Saya ikut menangis. Terisak tanpa suara.

Sementara mas Wafa baru tiba hari seninnya dari Singapura. Prosedur ijinnya tidak semudah kami.

Untuk kesekian kali saya menangis, memeluk erat kakak-kakak saya.

“Mas, bapak sudah meninggal. Bapak sudah meninggal mas.”

“Kamu yang tenang, bapak orang yang baik, kita bangga sama bapak. Bapak juara.”

~

  

Bapak orang yang paling baik yang saya kenal. Paling sabar. Suka sekali membantu ini itu. Bapak telah menyelesaikan semuanya.

Betapa mudah bapak pulang.

Saya sangat rindu bapak.

Allahummaghfirlahuu ya Allah.

23:15 WIB

Leave a comment