TAURIYAH: ANTARA DUA MAKNA

Suatu hari saya menulis pertanyaan kepada pak Menag melalui akun sosial media pak Menag. Adanya akun sosial—yang diadminkan oleh pribadi—membuat banyak keuntungan, salah satunya rakyat seperti saya ‘merasa’ dekat dengan pemimpinnya—meskipun kita tidak pernah tahu ditanggapi serius atau tidak.

Nah, ternyata tidak mudah untuk menggiring seseorang untuk dibawa ke makna yang tidak sebenarnya.

Di dalam ilmu seni mengungkapkan suatu gagasan dengan kalam (mutakallim) dikenal dengan istilah tauriyah, yaitu seseorang ingin mengungkapkan makna yang jauh, namun orang lain menafsirkannya dengan makna yang dekat.

Delapan tahun silam ketika pak Abdurrahman Wahid (Gusdur) masih hidup, beliau pernah mengungkapkan gagasan yang membuat banyak orang mengkritik beliau, bahkan sampai ada yang melaporkan beliau karena penistaan agama, beritanya ada di sini. Beliau mengungkapkan bahwa Al-Qur’an itu kitab suci yang paling porno.

Tauriyah dalam ilmu badie’ bermakna ganda. Dalam mutakallim yang dimaksud justru makna yang jauh, tapi kebanyakan yang ditafsirkan adalah makna yang dekat. Menurut Muhammad Ainun Nadjib, al-Qur’an memang kitab suci yang porno. Lho kok bisa? banyak orang yang menafsirkan makna yang dekat. Porno itu sendiri dimaknai rendahan hanya seputar orang yang telanjang atau hal-hal yang berhubungan dengan kelamin. Padahal porno dalam makna yang luas adalah tidak tertutupnya aurat diri seseorang. Aurat manusia memang wajib ditutupi, namun al-Qur’an tidak bersifat menutupi, malah terbuka secara blak-blak-an, tidak ada yang disembunyikan di al-Qur’an. Apapun yang Allah firmankan, tidak pernah satu kata pun Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ menyembunyikan dan menutupinya dari kita. Nah, dalam konteks tauriyah, al-Qur’an kitab suci yang paling porno bukan kok porno yang telanjang, namun porno karena tidak ada satu pun yang disembunyikan atau ditutup-tutupi di dalam al-Qur’an, beda halnya dengan kitab suci yang lain seperti injil misalnya—banyak hal yang telah disembunyikan dan ditutup-tutupi.

Selain itu, tauriyah seringkali digunakan oleh gerakan Samin di awal abad ke-19. Hal tersebut disinyalir untuk menghindari interogasi dari pihak penjajah Belanda. Apapun yang dikatakan oleh Samin Surosentiko di tahun 1907 memiliki makna ganda. Mereka menjawab namun sebenarnya ‘tidak menjawab’. Apa yang dikatakan bukan makna yang dekat melainkan makna yang jauh yang memerlukan tafsiran diluar kalimat itu sendiri.

Hal tersebut berkembang hingga saat ini, ketika kita bertemu dengan orang Samin, lalu bertanya mengenai tempat tinggal misalnya, mereka tidak akan menjawab sebagaimana kita menjawab. ‘Dimana anda tinggal?’ mereka tidak akan menjawab Blora, sebagaimana kalau kita ditanyai tempat tinggal. ‘Badan inilah rumah saya dimana saya tinggal.’ kalau kita membaca jawaban ini, maknanya amat jauh dari sekedar tempat tinggal. Ketika ditanya tempat tinggal, sebenarnya ruhnya lah yang menjawab, ‘Saya tinggal di badan ini. Kalau pondoknya (tempat tinggal atau rumah dalam makna kita) ada di dusun Plosowetan.’

Bayi udo nangis nger, niku suksma ketemu rogo. Dadi mulane wong niku mboten mati. Nek ninggal sandangan niku nggih kedah sabar lan trokal sing diarah turun-temurun. Dadi ora mati nanging kumpil sing urip. Apik wong selawase, sepisan dadi wong selawase dadi wong—Bayi lahir telanjang dengan menangis, dikarenakan saat itu ruh bertemu dengan raga. Oleh sebab itu, seseorang tidak mati. Ia hanya berganti pakaian. Harus sabar dan tawakal yang telah dituju turun-temurun. Jadi tidak mati, hanyasaja kembali bersatu dengan yang hidup. Kebaikan orang itu selamanya, sekali menjadi orang selamanya akan menjadi orang.

Dalam tatanan tauriyah orang sikep, kata wong inilah yang kemudian melahirkan kata aku atau saya yang menjadi subyek keberadaan. Wong tidak menunjukkan gender, karena wong bukan lelaki maupun perempuan. Dalam perwujudannya, wong diberi jeneng (nama) lanang (lelaki) dan wedok (perempuan). Di sisi lain kata jeneng merujuk pengertian fisik, terkadang merujuk ke makna sifat atau fungsi. Jeneng dan aran di dalam makna kita (secara denotatif) sama, namun ketika dipakai secara konotatif bisa berbeda makna. Sebagai ilustrasi, di jawa ada istilah ‘Kabotan jeneng’ (tidak kuat menyandang nama, namanya terlalu tinggi atau terlalu priyayi, doanya ketinggian), atau ada istilah lagi ‘Milih jenang opo jeneng?’ (memilih kekayaan atau nama baik?). Oleh karena itu jika orang Sikep ditanya jeneng mereka akan menjawab laki-laki atau perempuan. Ketika ditanya pangaran atau aran barulah mereka menjawab nama (seperti makna kita pada umumnya). ‘Pangaran kulo Budi Gunawan’ atau ‘Aran kulo Badrudin Haiti.’

Seru kan ya seni tauriyah ini?

Nah, di dalam pertanyaan saya kepada pak Menag mengenai dana talangan pembelian mahar, banyak orang yang memaknai dengan artian dekat yaitu mahar itu sendiri, padahal saya hendak menyindir mengenai dana talangan (bailout) yang diberikan Angkasa Pura sebagai perusahaan milik rakyat kepada Lion Air. Kalau Angkasa Pura bisa, kenapa KUA tidak?

Beruntung, pak Menag tahu maksud saya, sehingga menjawab, ‘Duuuh..*speechless*’. Tapi banyak yang mengomentari miring mengenai mahar itu sendiri. Padahal tidak diterangkan pun, sebaik-baik wanita adalah maharnya yang murah. Sekedar membaca al-Qur’an misalnya.

Semoga tulisan ini dapat menjadikan kita arif menanggapi sesuatu. Ingat tauriyah dalam dunia pesantren, di ilmu badie’ adalah lafal bermakna ganda, di ilmu mutakallim bermakna jauh, namun seringkali dimaknai orang lain dekat.

“Ajarkanlah anak-anakmu dengan sastra.” kata seorang khalifah.

IMG_2822.JPG

Tauriyah ala Nabi Ibrahim a.s. adalah ketika ditanyai oleh penguasa lalim mengenai isterinya, “Dia isterimu?” ‘Dia saudaraku.’ yang dimaksud saudara seanak Adam.

Salam,

25 Februari 2015

TUHAN MAHA ASYIK

Kalimat tersebut dipopulerkan oleh Sujiwo Tedjo.

Bagi saya pribadi Tuhan memang Maha Asyik. Asyiknya tidak ada yang menandingi—oleh makhluk yang paling asyik sekalipun.

Apakah ini menghina sifat Tuhan? ‘Hey! Sifat Tuhan hanya ada sembilan puluh sembilan! Tidak lebih tidak kurang!! Jangan ditambah-tambahi, jangan dikurang-kurangi.’

Menghina atau tidak, letaknya bukan kepada siapa, tetapi terletak kepada tafsir masing-masing diri, yang tahu ya diri kita sendiri.

Ketika saya masuk pura, atau sekedar ikut membakar dupa, bukan berarti saya sedang menduakan Tuhan saya sendiri. Kok anda tahu saya sedang menduakan Tuhan? Padahal bagi saya, masuk ke pura itu hanya sedang mengagumi seni arsitekturnya saja, atau sedang menyenangi wewanginya dupa. Jangan terlalu terburu-buru menafsirkan orang.

Tuhan Maha Asyik

Tuhan Maha Asyik saya dapatkan di banyak tempat. Tentunya, karena Tuhan melingkupi alam semesta itu sendiri—saking Maha Besarnya.

Ketika membaca kisah Ummi Maktum yang buta pandangannya misalnya, ia memiliki semangat jihad yang luar biasa namun kesempatan jihad tersebut tidak teraih olehnya sesaat pun, ya karena Ummi Maktum buta.

“Ya Rasulullah! Demi Allah, seandainya aku mampu berjihad, tentu aku akan berjihad!” Ummi Maktum menggelegak semangatnya.

Membaca kisah ini, saya menemukan bahwa Tuhan Maha Asyik. Lihatlah, bagaimana Tuhan tidak Maha Asyik? Ummi Maktum yang buta pandangannya memekikkan semangat yang luar biasa! Tapi apa mau dikata, Rasulullah tidak memberikan ijin berjihad bagi sang tunanetra. Namun di sinilah diperlihatkan bagi kita Tuhan memang Maha Asyik.

Dimana Maha Asyiknya?

Bukalah surah An-Nisaa’ ayat 95, di sanalah saya melihat Tuhan Maha Asyik kepada makhluk-makhluknya.

Ghairu uuli(dz) dzurar—yang tidak mempunyai udzur.

Setelah mendengar firman Allah secara langsung (fresh from the oven) hati Ummi Maktum menjadi lega, senyumnya tersimpul di wajahnya yang teduh.

Ya Tuhan, Engkau benar-benar Maha Asyik! Ketika makhlukmu dengan keterbatasan yang tak dapat disangkal inginkan berjuang, Engkau tak sia-siakan semangatnya tersebut. Engkau benar-benar Maha Asyik! Penuh perhatian!

‘Sesungguhnya di Madinah terdapat kaum yang kalian tidak menempuh perjalanan, dan tidak melintasi suatu lembah. Melainkan mereka bersama kalian.’ Rasulullah menyapu setiap wajah yang kala itu sedang berjihad, bergumul di padang pasir yang sangat memapas kulit. Rasulullah sedang menceritakan orang-orang yang tidak ikut berjihad—menetap di Madinah. Namun secara ruh membersamai mereka yang ikut berjihad.

Karena Tuhan Maha Asyik, diberikannya pahala kepada Ummi Maktum juga, padahal Ummi Maktum tidak ikut berjihad, namun derajat yang diberikannya sama dengan mereka yang ikut berjihad. Merekalah orang-orang yang terhalang udzur. Tuhan di sini bagi saya Maha Asyik, tidak kaku—apalagi tidak asyik.

Rasulullah (meski sebagai Rasul) pernah ditegur oleh Tuhan karena mengabaikan keinginan Ummi Maktum yang ingin belajar. Kisah ini bisa dicari sendiri. Tuhan benar-benar Maha Asyik!

Mentah Atau Matang?

Pun bagi saya al-Qur’an tidak harus melulu dimatangkan, ada beberapa yang (memang) harus ditelan mentah-mentah. Kalau dimatangkan malah menyimpang.

Masih di dalam ayat tersebut misalnya, Laa yastawil qaa’iduuna minal mukminin, Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk, ini ayat bersifat mutlak, mentah, tidak terikat satu kriteria apapun karena menjadi pembeda. Namun ketika sampai ayat selanjutnya ghairu uuli(dz) dzarari,yang tidak mempunyai udzur,menjadilah ayat tersebut kudu dimatangkan. Siapapun yang memiliki udzur; entah buta (seperti Ummi Maktum), pincang, sakit, menjaga isteri (seperti Utsman), disamakan dengan Mujahidin (padahal secara fisik tidak ikut berjihad). Namun begitu mereka sama seperti orang-orang yang sedang ikut berjihad di jalan Allah dengan harta maupun jiwanya. Adakalanya Al-Qur’an harus diterima mentah-mentah; ada kalanya juga harus dimatangkan terlebih dahulu.

Begitulah pemaknaan saya bagaimana Tuhan kok memiliki sifat Maha Asyik—padahal Tuhan memang Maha Asyik. Heuheu.

20 Februari 2015

MEMANFAATKAN AIR CUCIAN BERAS

IMG_2638-0.JPG

“Ssssttt, air cucian beras jangan dibuang. Manfaatkan untuk kesehatan kulit kepala.”

Tertarik mempraktikkan, tadi sore saya iseng mencoba nasihat ini. Tidak terlalu sulit, hanya mempersiapkan air cucian beras—yang berwarna putih pekat, lalu disiram di kulit kepala. Selesai.

~

Apalagi manfaat sampingan dari beras?

Tajen. Air hasil kegiatan menanak nasi ini katanya juga kaya protein. Dulu—sewaktu masih kecil—saya pernah mencoba meminum tajen, warnanya seperti susu kental manis, tetapi rasanya asin—karena dibumbui garam. Hhe.

Selain Tajen adalah Intip. Kerak dari hasil menanak nasi ini dapat dimanfaatkan untuk camilan saat gerimis seperti malam ini. Jika ukurannya seukuran beras namanya bukan intip, tetapi karuk. Kalau karuk, biasanya disajikan dengan taburan parutan kelapa.

~

Banyak juga ya manfaat sampingan dari beras?—kalau kamu, jangan sampai kalah manfaat juga ya.

29 Januari 2015

TAHUKAH KAMU, KENAPA DISEBUT YAHUDI?

IMG_2486.JPG

Ayo siapa yang sudah tahu, berasal dari manakah kata Yahudi itu?

Yahudi berasal dari kata hawadah yang artinya kasih sayang. Juga berasal dari kata tawahhud yang artinya taubat, seperti dalam kisah Nabi Musa ‘alayhissalam di qs. 7:155-156. Mereka disebut demikian karena taubat mereka serta kecintaan mereka satu sama lain.

Ada pula yang berpendapat bahwa mereka dinamakan Yahudi karena hubungan silsilah mereka dengan Yahuda, yaitu putera tertua dari Nabi Ya’qub.

Sedangkan menurut Abu ‘Amr bin al-‘Ala’—seorang ahli tata gramatika bahasa Arab dari generasi Tabi’in—, disebut Yahudi, karena mereka يَتَهَوَّدُون yaitu sering menggerak-gerakkan tubuh mereka ketika membaca Taurat.

~

Bagaimana pendapat kalian? Hhe.

*isi tulisan dapat dibaca lengkap di Tafsir Ibnu Katsir.

20 Januari 2015

[gambar dari sini.]

IA LEBIH MEMILIH MEMAKAI CADAR

IMG_0405.JPG

Yang duduk di hadapan saya saat ini adalah seorang muslimah dan seorang bapak yang saya temui di perbelanjaan minggu lalu. Ia mengenakan jilbab berwarna hijau tua dengan cadar menutupi wajah. Pandangannya selalu menunduk, sementara ayahnya terus mengawasi saya agar saya tak sempat curi pandang terhadap anak gadisnya tersebut.

Kami berbincang di ruang tamu berukuran sedang. Ruang tamunya terlihat rapi dengan susunan rak berjejer yang berisi buku-buku tebal. Di pojok ruang tamu terdapat tanaman yang saya kira bohongan, ternyata tidak. Di sebelahnya ada mesin jahit dengan kain yang belum berbentuk, mungkin anak gadisnya suka menjahit.

Kunjungan saya di keluarga ini bukan untuk ta’aruf keperluan meminang, tapi untuk mengetahui kenapa anak gadisnya lebih memilih memakai cadar.

Jadi, bapak yang punya ruang tamu dan anak gadis cantik ini, tidak perlu menjauh di pojok sana lalu mengijinkan saya untuk berbincang berdua saja dengan anak gadisnya tersebut. :p

Di ruang tamu yang super cozzy ini, kami bertiga berbincang mengenai cadar, obrolannya mengalir, lalu ibunya datang dengan membawa minuman dan kue yang dibungkus rapi di wadah-wadah kecil. Hhe. Enak.

Mereka keluarga yang terbuka, dan ramah dengan tamunya. Berbeda sekali dengan prasangka saya sebelumnya.

~

Malam ini, saya ingin membagikan wawasan mengenai cadar atau niqab, agar dapat diambil manfaat. Karena banyak di antara kita (tanpa pengetahuan) telah berprasangka yang tidak-tidak kepada para muslimah yang bercadar.

~

Dulu, orang-orang fasik penduduk Madinah keluar di waktu malam saat kegelapan malam menyusuri jalan-jalan di Madinah. Mereka mencari-cari wanita-wanita. Rumah penduduk Madinah saat itu sangat sempit-sempit. Jika waktu malam tiba, wanita-wanita itu keluar ke jalan-jalan untuk menunaikan hajat mereka. Lalu orang-orang fasik itu mencari-cari mereka. Jika mereka melihat wanita-wanita memakai jilbab, mereka berkata, “Jangan, ini wanita merdeka, tahanlah diri dari mereka.” dan jika mereka melihat wanita tidak berjilbab, mereka berkata, “Ini adalah budak wanita.” Maka mereka menggodanya.

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. Al-Ahzaab [33]: 59)

Jilbab (Jalaabiib) adalah ar-rida’ atau kain penutup yang ukurannya lebih besar dari kerudung. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahimm an-Nakha’i, ‘Atha’ al-Khurasani, dan lain-lain. Al-Jauhari berkata: “Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.”

Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka…’ (QS. An-Nuur [24]: 31

‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas r.a., “Allah memerintahkan wanita-wanita kaum Mukminin apabila mereka keluar dari rumah mereka untuk suatu keperluan agar mereka menutupkan jilbab ke wajah mereka dari atas kepala mereka dan menampakkan sebelah matanya.”

Muhammad bin Sirin berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ubaidah as-Salmani tentang firman Allah ‘Azzawajalla (yang artinya): ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Lalu dia menutup wajah dan kepalanya serta menampakkan mata kirinya. ‘Ikrimah berkata: ‘Dia menutup bagian pipinya dengan jilbabnya yang diulurkan di atasnya.'”

Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata mengenai ayat ke-59 dari surah Al-Ahzab, ia berkata, “Hendaklah mereka tidak menyerupai budak-budak wanita dalam berpakaian. Apabila mereka keluar dari rumah untuk suatu keperluan, lalu menampakkan rambut dan wajah mereka. Namun, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya agar apabila orang fasik mengetahui bahwa mereka adalah wanita merdeka, maka ia tidak menggunjing dengan kata-kata yang menyakitkan.”

Al-‘Allamah Abu Bakar Al-Jashshash berkata, “Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang wanita remaja diperintahkan menutupi wajahnya dari mata laki-laki asing, menampakkan penutupnya, dan menjaga kehormatannya ketika keluar supaya orang-orang fasik tidak berbuat jahat kepadanya.”

Ibnu Abi Hatim berkata, ayahku bercerita kepadaku, dari Abu Shalih, dari al-Laits, bahwa Yunus bin Zaid berkata: Kami bertanya kepada az-Zuhri: “Apakah budak wanita wajib memakai jilbab, baik dia sudah kawin atau belum kawin?” Beliau menjawab: “Wajib baginya memakai jilbab jika dia sudah kawin, dan (jika belum kawin) ia dilarang berjilbab karena makruh bagi mereka menyamai wanita-wanita merdeka dan muhshan.”

An-Naisaburi berkata tentang firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 59, “Wanita-wanita pada masa permulaan Islam, kebiasaan wanita-wanita jahiliyah ketika keluar rumah mereka memakai pakaian mereka sehari-hari, yakni dengan memakai baju besi dan kerudung saja. Tanpa ada perbedaan antara wanita merdeka dengan hamba sahaya, kemudian mereka diperintahkan untuk memakai rida’ (kain lebar) yang menutup kepala serta wajahnya.”

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, para sahabat dan para ahli tafsir, serta para ahli ilmu bersepakat bahwa wanita muslimah diperintahkan untuk mengenakan jilbab besar yang menutup wajahnya dari pandangan laki-laki asing.

Selanjutkan kita akan simak bersama riwayat-riwayat shahih dari Rasulullah ﷺ dan dari para shahabiyah tentang menutup wajah ini (cadar/niqab).

Dan dari mereka kita akan tahu bahwa berjilbab dan bercadar bukanlah adat kebiasaan bangsa arab, melainkan bagian dari perintah / aturan / syariat yang ada di dalam agama Islam.

Terdapat di dalam Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi serta Al-Muwatha’ Imam Malik bahwa Nabi ﷺ memerintahkan kepada wanita yang sedang berihram dalam haji untuk tidak menutup wajah dan kedua telapak tangannya. Dan di dalam riwayat Abu Dawud bahwa Nabi ﷺ melarang wanita-wanita yang sedang berihram untuk menutup kedua telapak tangannya dan wajahnya.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa wanita-wanita pada zaman Nabi ﷺ sudah terbiasa memakai cadar (niqab) dan memakai kaos tangan. Kemudian mereka dilarang untuk memakainya ketika sedang berihram. Namun larangan tersebut tidak bersifat mutlak, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits berikut ini.

Disebutkan di dalam Sunan Abu Dawud, ‘Aisyah r.a., berkata, “Pernah ada orang-orang yang menaiki kendaraan lewat di hadapan kami, sedangkan kami bersama Rasulullah ﷺ dalam keadaan ihram. Ketika mereka berpapasan dengan kami maka salah seorang di antara kami segera menutupkan jilbabnya dari kepala sampai wajahnya. Dan ketika mereka telah kami maka kami membukanya kembali.”

Disebutkan juga di dalam Al-Muwatha’ Imam Malik, Fatimah binti Al-Mundzir berkata, “Kami menutupi wajah kami sedangkan kami dalam keadaan ihram, dan kami bersama Asma’ binti Abu Bakar, dan ia tidak mengingkari yang kami lakukan.”

Disebutkan di dalam Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani, dari hadits ‘Aisyah r.a., “Hendaklah wanita itu menjulurkan jilbabnya dari atas kepala sampai (menutup) wajahnya.”

Disebutkan di dalam Ash-Shihaah bahwa seorang wanita muslimah sedang menunaikan keperluannya di pasar Bani Qainuqa’ dan wanita muslimah tersebut mengenakan jilbab. Kemudian seorang Yahudi menghadang sembari menghina jilbab yang ia kenakan. Orang Yahudi tersebut juga hendak menyingkap penutup wajahnya, akan tetapi ia menolaknya dan meminta tolong. Kemudian ada seorang laki-laki muslim yang menyerang dan membunuh orang Yahudi tersebut sebagai balasan dari perbuatannya yang berdosa itu.

Dari keterangan-keterangan hadits yang shahih tersebut, maka jelaslah bahwa istri-istri Rasulullah ﷺ dan para shahabiyah memakai penutup wajah jika hendak keluar menunaikan keperluannya. Bahkan di saat mereka sedang berihram. Mereka berkeyakinan bahwa mengenakan penutup wajah atau cadar atau niqab adalah diwajibkan oleh syariat.

Setelah kita simak landasan melalui Al-Qur’an dan Hadits para shahabiyah, selanjutkan kita akan simak pendapat dari para ulama mujtahid yang dipercaya tentang masalah cadar bagi para wanita.

Para Ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat dan menutupnya merupakan suatu kewajiban, sementara membukanya diharamkan. Argumentasi mereka berdasar pada dalil yang tetap dari para sahabat dan ulama salaf tentang QS. Al-Ahzab [33]: 59. Bahwasanya ayat itu memerintahkan untuk menutup wajah dan hal ini dikuatkan lagi oleh perbuatan para shahabiyah.

Sedangkan para fuqaha’ Hanafiyah dan yang sependapat dengan mereka mengatakn bahwa wajah bukanlah aurat, dan membuka wajah jika tidak mengundang fitnah adalah diperbolehkan. Adapun jika dengan menyingkapnya mengundang fitnah maka diharamkan, hal ini sebagai tindakan prefentif dan menghindari kerusakan.

Adapun dalil-dalil yang dipakai mereka adalah sebagai berikut.

Hadits Al-Fadhl bin ‘Abbas r.a., yaitu ketika dia sedang membonceng Nabi ﷺ pada waktu haji Wada’, kemudian lewatlah di sampingnya wanita-wania yang berihram. Al-Fadhl lalu melihat mereka, kemudian Rasulullah ﷺ meletakkan telapak tangannya pada wajah Al-Fadhl. Maka Al-Fadhl berusaha untuk memalingkan wajahnya pada arah yang lain (menghindar).

Hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Hadits tersebut tidak menjadikan hujjah atas pembolehan membuka wajah bagi seorang wanita di hadapan laki-laki asing. Sebab, wanita-wanita yang dilihat Al-Fadhl adalah mereka yang sedang berihram dalam ibadah haji. Dan wanita yang berihram diperbolehkan untuk membuka wajahnya. Hal ini berdasar hadits: “Janganlah wanita itu menutupi wajahnya dan memakai tutup kedua telapak tangannya.”

Kita akan menyimak hadits selanjutnya.

Hadits Asma’ binti Abu Bakar r.a. Telah menceritakan kepadaku Al-Walid dari Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Darik dari Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a., bahwa Asma’ binti Abu Bakar memasuki rumah Nabi ﷺ dengan mengenakan pakaian yang tipis. Kemudian beliau ﷺ melihatnya, lalu bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita jika sudah baligh maka tidak boleh terlihat darinya ini dan ini.” Nabi menunjuk kepada wajah dan kedua telapak tangannya.

Hadits Asma’ yang dipakai sebagai hujjah pembolehan membuka wajah adalah hadits mursal atau sanadnya terputus. Hadits mursal oleh para ahli ilmu digolongkan ke dalam hadits dha’if atau lemah, maka tidak boleh digunakan sebagai dalil.

Dengan demikian jelas dari para imam mujtahid (Imam Asy-Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad) menyimpulkan bahwa wajah wanita adalah aurat. Menutupnya adalah wajib dan membukanya adalah haram. Adapun dari para fuqaha’ Hanafiyah, memakai cadar adalah wajib ketika tidak mengenakannya menjadikan fitnah atau kerusakan.

Seorang muslim hendaknya selalu berusaha untuk memelihara agama dan kehormatannya dan lebih memilih sisi yang mendekatkan kepada ketaqwaan dan rasa hati-hati. Tentunya jika ingin kelak di akhirat bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah SWT, yaitu dari para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada’, dan orang-orang shalih. Merekalah sebaik-baik kawan. Dan mereka lah yang ditunjuki jalan yang lurus.

~

“Begitulah dik, saya selaku ayah dan pemimpin keluarga ini, memerintahkan kepada keluarga saya dan anak-anak perempuan saya untuk lebih memilih memakai cadar, karena kami ingin berusaha mewujudkan perintah Allah dan Rasulullah ﷺ, dan sebagai bentuk meneladani nasihat dari para kalangan shahabiyah, dan mengikuti ketetapan para imam mujtahid yang terpercaya, salah satunya bagi kami yaitu Imam Asy-Syafi’i.”

Saya mengangguk, antara paham dan takjub. Keluarga ini (menurut saya) adalah keluarga yang luar biasa. Mereka terbuka dan menjelaskan secara rinci latar belakang anak gadisnya dan isterinya untuk lebih memilih memakai cadar. Di samping itu, keluarga ini jauh dari penilaian orang selama ini, seperti kolot, konvensional, dan tidak kenal modernisasi teknologi. Padahal anak gadisnya mahir berbahasa asing. Arab, Inggris, dan Nihongo. Suka menulis dan mencintai buku selayaknya manusia lainnya. Dan anak gadisnya tersebut saat ini sedang menyelesaikan studinya di Institut Teknologi Bandung. MasyaAllah. Cepat lulus ya. :p

“Dik…”

“Eh, iya pak?”

“Sekarang, giliran bapak,”

“Bapak ingin bertanya kepada adik, boleh?”

“Si…si..lakan pak, mau tanya apa?”

“Ngomong-ngomong, adik ini sudah punya calon apa belum?”

*tarakdungces*

28 Agustus 2014

*diilmui dari Tafsir Ibnu Katsir dan buku Tarbiyatul Aulad Fil Islam. Prolog dan Epilog hanya fiksi belaka (abaikan). Gambar dari sini.

NASIHAT MENJELANG TIDUR: ALLAH BERSAMAKU, ALLAH MELIHATKU, ALLAH MENYAKSIKANKU.

Namanya Sahl bin ‘Abdullah rahimahullah. Nantinya kita akan mendapatinya sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan kebijakan dan ia termasuk orang yang shalih.

Ketika itu umurnya masih tiga tahun. Ia terbangun, saat malam telah merangkak naik. Dan ia melihat pamannya (Muhammad bin Siwar rahimahullah) sedang melaksanakan shalat.

Pada suatu hari, Muhammad bin Siwar bertanya kepada keponakannya tersebut, “Apakah kamu mengingat Allah yang telah menciptakanmu?”

Sahl bin ‘Abdullah menjawab, “Bagaimana cara untuk mengingat Allah paman?”

Muhammad bin Siwar menjawab, “Katakanlah di dalam hatimu di saat kamu berbaring di tempat tidurmu tiga kali tanpa menggerakkan lisanmu: ‘Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.'”

~

Kemudian Sahl bin ‘Abdullah mengucapkan kalimat itu selama beberapa malam, lalu ia menceritakannya kepada pamannya.

Lalu Muhammad bin Siwar berkata, “Ucapkanlah kalimat tersebut setiap malam tujuh kali.”

Kemudian Sahl mempraktekkannya, lalu menceritakannya lagi kepada pamannya.

Muhammad bin Siwar berkata lagi, “Ucapkanlah kalimat tersebut setiap malam sebanyak sebelas kali.”

Kemudian Sahl bin ‘Abdullah mengatakan kepada pamannya bahwa ia telah merasakan suatu kelezatan.

Setelah setahun lamanya, Muhammad bin Siwar berkata kepadanya, “Jagalah apa yang telah aku ajarkan kepadamu dan lakukanlah hingga kamu meninggal, niscaya akan bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat.”

Maka kalimat yang diajarkan oleh pamannya senantiasa ia lazimi hingga bertahun-tahun, dan ia selalu mendapatkan kelezatan di dalam dirinya.

Pada suatu hari, pamannya berkata kepadanya, “Wahai Sahl, barang siapa yang Allah bersamanya, merasa diawasi oleh-Nya, merasa disaksikan-Nya, apakah ia akan bermaksiat kepada-Nya? Maka jauhilah olehmu perbuatan maksiat.”

~

Demikianlah, tulisan ini dibagikan untuk menambah wawasan. Bahwa sebenarnya kita tidak kemana-mana. Kita hanya (dan selalu) berada di hadapan Allah semata. Dimana pun kita berada, dengan siapapun kita bersama, dengan perbuatan apapun yang kita lakukan. Sadar tidak sadar kita sedang dilihati Allah. Yang tidak pernah tertidur dan juga tidak lengah.

Kisah Sahl bin ‘Abdullah rahimahullah dan pamannya memberikan pelajaran bagi kita, meski masih kanak-kanak, kita diajarkan untuk memberikan teladan; mengajari; menanamkan dalam diri tentang makna keimanan, muraqabah, serta akhlak yang mulia pada mereka. Mata dan telinga seorang anak selalu terikat dengan apa yang dilihat dan didengarkannya.

22 Agustus 2014 | 22:03

*kisah ini diilmui dari tulisan Imam Al-Ghazali di dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin, dan dapat dibaca di buku Tarbiyatul Aulad Fil Islam karya DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan.

PUASA PERMULAAN ISLAM

TAHUKAH KAMU?

Pada permulaan Islam, puasa hanya dilakukan tiga hari di setiap bulan.

Namun, hal tersebut telah di hapus (dinasakh) dengan puasa satu bulan penuh, yaitu pada bulan Ramadhan.

~

Diriwayatkan dari Mu’adz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Qatadah, dan adh-Dhahhak bin Muzahim, bahwa puasa itu pertama kali dijalankan seperti yang diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya yaitu tiga hari setiap bulannya. Ditambahkan oleh adh-Dhahhak, bahwa pelaksanaan puasa seperti ini masih tetap disyari’atkan pada permulaan Islam sejak Nabi Nuh a.s. sampai Allah SWT menasakhnya dengan puasa Ramadhan.

~
Di dalam Al-Qur’an ada beberapa yang digantikan / dihapus / dinasakhkan bagi umat Islam, sepertihalnya puasa, pergantian arah kiblat, dll.

Demikian, semoga informasi ini menambah pengetahuan kita.

Salam,

Yang Mengutip Ilmu.

*ilmu dari Tafsir Ibnu Katsir tentang surah Al-Baqarah: 183

CADEL TAPI AHLI SURGA

20140605-173032-63032625.jpg

TAHUKAH KAMU?

Siapakah wanita muslimah yang cadel suaranya, namun ahli surga?

Dialah Ummu Aiman r.a.. Dia lah ‘ibu’ setelah ibunya Rasulullah ﷺ. Karena beliau lah yang mengasuh Rasulullah ﷺ hingga dewasa.

Ummu Aiman r.a. adalah seorang wanita yang cadel suaranya. Suatu ketika pada perang Hunain, Ummu Aiman ingin menyeru kepada kaum muslimin dengan berkata, “Tsabatallahu aqdamakum.” (Semoga Allah mengistirahatkan kaki kalian). Padahal yang ingin beliau maksud adalah Tsabbatallahu aqdamakum (Semoga Allah mengokohkan kaki kalian). (1)

Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Diamlah yaa Ummu Aiman, fa innaki ‘usaraa-ul-litsaani. Karena engkau adalah seorang yang cadel suaranya.” (2)

Pada waktu lain, Ummu Aiman r.a. masuk ke dalam rumah Nabi ﷺ dan mengucapkan salam, “Salamun laa ‘alaikum.” (Keselamatan bukan atas kalian), padahal yang dimaksud Ummu Aiman adalah Assalamu’alaikum (Keselamatan atas kalian). Namun demikian Rasulullah ﷺ memberikan rukhshah atau keringanan kepada Ummu Aiman untuk mengucapkan salam dengan Salamun laa ‘alikum atau Salamun laa ‘alaikum.

Nabi ﷺ memuliakan Ummu Aiman, beliau sering mengunjungi Ummu Aiman dan memanggilnya dengan kalimat “Wahai ibu…”.

Nabi ﷺ bersabda: “Beliau (Ummu Aiman) adalah termasuk ahli baitku.” beliau juga bersabda: “Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku.” (3)

Aiman adalah nama dari putera Ummu Aiman ketika dinikahi oleh Ubaidullah bin Haris al-Khazraji. Nama asli Ummu Aiman adalah Barakah binti Tsa’labah bin Amru bin Hishan bin Malik bin Salmah bin Amru bin Nu’man al-Habsyiyah.

Ketika Rasulullah ﷺ mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah, Ummu Aiman r.a. termasuk diantara wanita yang ikut hijrah pada angkatan pertama. Puteranya Aiman juga ikut hijrah. Hingga ia syahid pada saat perang Hunain.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barangsiapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah menikahi Ummu Aiman.” (4)

Akhirnya Zaid bin Haritsah menikahi Ummu Aiman pada malam ketika Zaid diutus oleh Nabi ﷺ. Dengan Zaid, Ummu Aiman melahirkan Usamah bin Zaid, buah hati Rasulullah ﷺ.

Rasulullah ﷺ sangat bersikap lemah lembut kepada Ummu Aiman dan terkadang mengajak Ummu Aiman bercanda, karena Ummu Aiman seperti ibunya sendiri.

Telah diriwayatkan bahwa suatu ketika Ummu Aiman berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah bawalah (ajaklah) aku.” Maka Nabi ﷺ berkata: “Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ummu Aiman berkata: “Anak unta tidak akan mampu membawaku, lagi pula aku tidak menyukainya.” Nabi ﷺ bersabda: “Aku tidak akan membawu kecuali dengan anak unta.” Rasulullah ﷺ tersenyum kepada Ummu Aiman. Beginilah candaan Rasulullah ﷺ, meski bercanda tak pernah sekalipun Rasulullah ﷺ menggunakan kalimat bohong. Kita tahu bahwa setiap unta, seluruhnya adalah anak unta. (5)

Ummu Aiman r.a. dikaruniai umur yang panjang.

Ketika Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar r.a. berkata kepada ‘Umar r.a., “Pergilah bersama kami untuk menemui Ummu Aiman, kita akan mengunjunginya sebagaimana Rasulullah ﷺ telah mengunjunginya.” Tatkala mereka sampai di rumah Ummu Aiman, ternyata Ummu Aiman sedang menangis, keduanya berkata, “Apa yang membuat anda menangis? Bukankah apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?”

Ummu Aiman menjawab, “Bukankah aku menangis karena tidak tahu bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya, hanya saja aku menangis karena telah terputusnya wahyu dari langit.” hal itu membuat Abu Bakar dan ‘Umar menangis, sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman. (6)

Ummu Aiman menjadi saksi perkembangan Islam dari sejak Rasulullah ﷺ hingga kekhalifahan Utsman bin Affan r.a.

Pada saat terbunuhnya ‘Umar bin al-Khaththab r.a., Ummu Aiman menangis sambil berkata: “Pada hari ini Islam menjadi lemah.” (7)

Ummu Aiman wafat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Tepatnya dua puluh hari setelah terbunuhnya ‘Umar bin al-Khaththab r.a.

Semoga Allah SWT merahmati Ummu Aiman. Pengasuh Rasulullah ﷺ, yang memiliki kekhasan dalam bersuara. Meski cadel saat berbicara, keinginan beliau amat kuat untuk menyeru kebaikan.

Bagaimana dengan kita saat ini? Terlebih yang memiliki kemampuan dalam berbicara. Sudahkah mensyukurinya?

Ketika orang-orang dengan kemampuan berbicaranya ramai memprovokasi, melakukan kesia-siaan, serta pandai menghasut kepada keburukan dan pertikaian. Generasi Qur’ani lebih memilih untuk menggunakan lisannya menyeru kepada kebaikan dan kebenaran, mengingatkan saudaranya yang salah tanpa perlu menghakimi dan menggurui. Lisannya adalah laksana oase di padang pasir yang penuh ghibah dan fitnah. Bicaranya adalah inspirasi bagi siapapun yang mendengarnya.

Berusahalah untuk mengurangi kesia-siaan dalam berbicara, lebih baik diam. Dan pilihlah untuk berbicara, kalau itu lebih mendekatkan kepada ridha Allah SWT.

Demikian apa yang dapat saya bagikan. Semoga bermanfaat.

Salam,

Yang Mengutip Ilmu.

~
(1) QS. Al-Baqarah: 250, …mereka pun berkata, “Rabbana afrigh’alainaa sabran, wa tsabbat aqdaamanaa, wan(g)tsurnaa ‘alal qaumil kafirin. (Ya Rabb, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir).”,

(2) Lihat Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibnu Sa’ad VIII/224-225,

(3) Diriwayatkan oleh Al-Hakim IV/63 dan Al-Asqalani dalam Al-Ishabah VIII/213 serta Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqatul Kubra VIII/223,

(4) Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad VIII/224 dari jalan Abdullah bin Musa dari Fadhl bin Marzuq, rijalnya tsiqah akan tetapi munqathi’. Lihat Al-Ishabah VIII/213,

(5) Lihat Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibnu Sa’ad VIII/224,

(6) Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Fadha’ilush Shahabah, no. 2454 dan Ibnu Majah dalam Al-Jana’iz, no. 1635, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah II/8, Ath-Thabaqat VIII/22, semuanya dari jalan Sulaiman bin Mughirah bin Tsabit dari Anas berkata …. Al-Hadits,

(7) Lihat Ath-Thabaqat VIII/226, sanadnya shahih dan oleh Al-Hafidh dalam Al-Ishabah VIII/214.

*gambar dari sini. | ilmunya dari buku ‘Mereka adalah para shahabiyah’ hal. 209.

GURU WANITA PERTAMA DI DALAM ISLAM

20140604-200613-72373855.jpg

TAHUKAH KAMU?

Siapakah guru wanita pertama di dalam Islam?

Dialah Asy-Syifa’ binti al-Harits r.a. Beliau merupakan Muhajirah angkatan pertama. Dan beliau juga salah satu perempuan yang disebut di dalam surah al-Mumtahanah (Perempuan Yang Diuji). Tepatnya di ayat yang ke-12.

Beliau pulalah yang mengajari ilmu baca tulis dan ilmu ruqyah kepada Hafshah binti Umar bin al-Khaththab r.a. (1)

~

Maka duhai perempuan, menjadilah seorang yang terdidik dan mendidik. Engkaulah guru pertama bagi keluargamu kelak.

Ulama-ulama besar seperti Anas bin Malik, ‘Urwah bin Zubeir, Hasan al-Bashry, hingga Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman cerdas karena tarbiyah ibunda-ibunda mereka.

Dan menjadilah perempuan yang mendukung generasi-generasinya dalam menuntut ilmu. (2)

Sebagaimana ibunda ulama Sufyan ats-Tsauri ketika menyemangati puteranya:

“Wahai puteraku, tuntutlah ilmu, dan aku siap membiayaimu dari pintalanku… Wahai puteraku, jika engkau telah mencatat sepuluh kalimat, maka perhatikanlah; Apakah engkau bertambah takut, sabar, dan sopan? Jika engkau tidak demikian, maka ketahuilah bahwa semua kalimat tadi akan membahayakanmu dan tidak bermanfaat bagimu.” (3)

Demikian, semoga pengetahuan ini bermanfaat. Sukailah ilmu.

Salam,

Yang Mengutip Ilmu.

~

(1) Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Ath-Thibb bab tentang ‘Ruqyah’ no. 3887 bersanad hasan, Asy-Syifa’ berkata: “Suatu ketika Rasulullah ﷺ masuk sedangkan saya berada di samping Hafshah, beliau bersabda: ‘Mengapa tidak engkau ajarkan kepadanya ruqyah sebagaimana engkau ajarkan kepadanya menulis.'”

(2) “Menuntut ilmu itu lebih baik daripada shalat nafilah atau sunnah.” (Shifatus Shafwah, I/234)

(3) Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Wara’ hal. 193, dan as-Sahmi dalam Tarikh Jurjan hal. 492.

*gambar dari sini.