Yang duduk di hadapan saya saat ini adalah seorang muslimah dan seorang bapak yang saya temui di perbelanjaan minggu lalu. Ia mengenakan jilbab berwarna hijau tua dengan cadar menutupi wajah. Pandangannya selalu menunduk, sementara ayahnya terus mengawasi saya agar saya tak sempat curi pandang terhadap anak gadisnya tersebut.
Kami berbincang di ruang tamu berukuran sedang. Ruang tamunya terlihat rapi dengan susunan rak berjejer yang berisi buku-buku tebal. Di pojok ruang tamu terdapat tanaman yang saya kira bohongan, ternyata tidak. Di sebelahnya ada mesin jahit dengan kain yang belum berbentuk, mungkin anak gadisnya suka menjahit.
Kunjungan saya di keluarga ini bukan untuk ta’aruf keperluan meminang, tapi untuk mengetahui kenapa anak gadisnya lebih memilih memakai cadar.
Jadi, bapak yang punya ruang tamu dan anak gadis cantik ini, tidak perlu menjauh di pojok sana lalu mengijinkan saya untuk berbincang berdua saja dengan anak gadisnya tersebut. :p
Di ruang tamu yang super cozzy ini, kami bertiga berbincang mengenai cadar, obrolannya mengalir, lalu ibunya datang dengan membawa minuman dan kue yang dibungkus rapi di wadah-wadah kecil. Hhe. Enak.
Mereka keluarga yang terbuka, dan ramah dengan tamunya. Berbeda sekali dengan prasangka saya sebelumnya.
~
Malam ini, saya ingin membagikan wawasan mengenai cadar atau niqab, agar dapat diambil manfaat. Karena banyak di antara kita (tanpa pengetahuan) telah berprasangka yang tidak-tidak kepada para muslimah yang bercadar.
~
Dulu, orang-orang fasik penduduk Madinah keluar di waktu malam saat kegelapan malam menyusuri jalan-jalan di Madinah. Mereka mencari-cari wanita-wanita. Rumah penduduk Madinah saat itu sangat sempit-sempit. Jika waktu malam tiba, wanita-wanita itu keluar ke jalan-jalan untuk menunaikan hajat mereka. Lalu orang-orang fasik itu mencari-cari mereka. Jika mereka melihat wanita-wanita memakai jilbab, mereka berkata, “Jangan, ini wanita merdeka, tahanlah diri dari mereka.” dan jika mereka melihat wanita tidak berjilbab, mereka berkata, “Ini adalah budak wanita.” Maka mereka menggodanya.
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. Al-Ahzaab [33]: 59)
Jilbab (Jalaabiib) adalah ar-rida’ atau kain penutup yang ukurannya lebih besar dari kerudung. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahimm an-Nakha’i, ‘Atha’ al-Khurasani, dan lain-lain. Al-Jauhari berkata: “Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.”
Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka…’ (QS. An-Nuur [24]: 31
‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas r.a., “Allah memerintahkan wanita-wanita kaum Mukminin apabila mereka keluar dari rumah mereka untuk suatu keperluan agar mereka menutupkan jilbab ke wajah mereka dari atas kepala mereka dan menampakkan sebelah matanya.”
Muhammad bin Sirin berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ubaidah as-Salmani tentang firman Allah ‘Azzawajalla (yang artinya): ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Lalu dia menutup wajah dan kepalanya serta menampakkan mata kirinya. ‘Ikrimah berkata: ‘Dia menutup bagian pipinya dengan jilbabnya yang diulurkan di atasnya.'”
Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata mengenai ayat ke-59 dari surah Al-Ahzab, ia berkata, “Hendaklah mereka tidak menyerupai budak-budak wanita dalam berpakaian. Apabila mereka keluar dari rumah untuk suatu keperluan, lalu menampakkan rambut dan wajah mereka. Namun, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya agar apabila orang fasik mengetahui bahwa mereka adalah wanita merdeka, maka ia tidak menggunjing dengan kata-kata yang menyakitkan.”
Al-‘Allamah Abu Bakar Al-Jashshash berkata, “Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang wanita remaja diperintahkan menutupi wajahnya dari mata laki-laki asing, menampakkan penutupnya, dan menjaga kehormatannya ketika keluar supaya orang-orang fasik tidak berbuat jahat kepadanya.”
Ibnu Abi Hatim berkata, ayahku bercerita kepadaku, dari Abu Shalih, dari al-Laits, bahwa Yunus bin Zaid berkata: Kami bertanya kepada az-Zuhri: “Apakah budak wanita wajib memakai jilbab, baik dia sudah kawin atau belum kawin?” Beliau menjawab: “Wajib baginya memakai jilbab jika dia sudah kawin, dan (jika belum kawin) ia dilarang berjilbab karena makruh bagi mereka menyamai wanita-wanita merdeka dan muhshan.”
An-Naisaburi berkata tentang firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 59, “Wanita-wanita pada masa permulaan Islam, kebiasaan wanita-wanita jahiliyah ketika keluar rumah mereka memakai pakaian mereka sehari-hari, yakni dengan memakai baju besi dan kerudung saja. Tanpa ada perbedaan antara wanita merdeka dengan hamba sahaya, kemudian mereka diperintahkan untuk memakai rida’ (kain lebar) yang menutup kepala serta wajahnya.”
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, para sahabat dan para ahli tafsir, serta para ahli ilmu bersepakat bahwa wanita muslimah diperintahkan untuk mengenakan jilbab besar yang menutup wajahnya dari pandangan laki-laki asing.
Selanjutkan kita akan simak bersama riwayat-riwayat shahih dari Rasulullah ﷺ dan dari para shahabiyah tentang menutup wajah ini (cadar/niqab).
Dan dari mereka kita akan tahu bahwa berjilbab dan bercadar bukanlah adat kebiasaan bangsa arab, melainkan bagian dari perintah / aturan / syariat yang ada di dalam agama Islam.
Terdapat di dalam Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi serta Al-Muwatha’ Imam Malik bahwa Nabi ﷺ memerintahkan kepada wanita yang sedang berihram dalam haji untuk tidak menutup wajah dan kedua telapak tangannya. Dan di dalam riwayat Abu Dawud bahwa Nabi ﷺ melarang wanita-wanita yang sedang berihram untuk menutup kedua telapak tangannya dan wajahnya.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa wanita-wanita pada zaman Nabi ﷺ sudah terbiasa memakai cadar (niqab) dan memakai kaos tangan. Kemudian mereka dilarang untuk memakainya ketika sedang berihram. Namun larangan tersebut tidak bersifat mutlak, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits berikut ini.
Disebutkan di dalam Sunan Abu Dawud, ‘Aisyah r.a., berkata, “Pernah ada orang-orang yang menaiki kendaraan lewat di hadapan kami, sedangkan kami bersama Rasulullah ﷺ dalam keadaan ihram. Ketika mereka berpapasan dengan kami maka salah seorang di antara kami segera menutupkan jilbabnya dari kepala sampai wajahnya. Dan ketika mereka telah kami maka kami membukanya kembali.”
Disebutkan juga di dalam Al-Muwatha’ Imam Malik, Fatimah binti Al-Mundzir berkata, “Kami menutupi wajah kami sedangkan kami dalam keadaan ihram, dan kami bersama Asma’ binti Abu Bakar, dan ia tidak mengingkari yang kami lakukan.”
Disebutkan di dalam Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani, dari hadits ‘Aisyah r.a., “Hendaklah wanita itu menjulurkan jilbabnya dari atas kepala sampai (menutup) wajahnya.”
Disebutkan di dalam Ash-Shihaah bahwa seorang wanita muslimah sedang menunaikan keperluannya di pasar Bani Qainuqa’ dan wanita muslimah tersebut mengenakan jilbab. Kemudian seorang Yahudi menghadang sembari menghina jilbab yang ia kenakan. Orang Yahudi tersebut juga hendak menyingkap penutup wajahnya, akan tetapi ia menolaknya dan meminta tolong. Kemudian ada seorang laki-laki muslim yang menyerang dan membunuh orang Yahudi tersebut sebagai balasan dari perbuatannya yang berdosa itu.
Dari keterangan-keterangan hadits yang shahih tersebut, maka jelaslah bahwa istri-istri Rasulullah ﷺ dan para shahabiyah memakai penutup wajah jika hendak keluar menunaikan keperluannya. Bahkan di saat mereka sedang berihram. Mereka berkeyakinan bahwa mengenakan penutup wajah atau cadar atau niqab adalah diwajibkan oleh syariat.
Setelah kita simak landasan melalui Al-Qur’an dan Hadits para shahabiyah, selanjutkan kita akan simak pendapat dari para ulama mujtahid yang dipercaya tentang masalah cadar bagi para wanita.
Para Ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat dan menutupnya merupakan suatu kewajiban, sementara membukanya diharamkan. Argumentasi mereka berdasar pada dalil yang tetap dari para sahabat dan ulama salaf tentang QS. Al-Ahzab [33]: 59. Bahwasanya ayat itu memerintahkan untuk menutup wajah dan hal ini dikuatkan lagi oleh perbuatan para shahabiyah.
Sedangkan para fuqaha’ Hanafiyah dan yang sependapat dengan mereka mengatakn bahwa wajah bukanlah aurat, dan membuka wajah jika tidak mengundang fitnah adalah diperbolehkan. Adapun jika dengan menyingkapnya mengundang fitnah maka diharamkan, hal ini sebagai tindakan prefentif dan menghindari kerusakan.
Adapun dalil-dalil yang dipakai mereka adalah sebagai berikut.
Hadits Al-Fadhl bin ‘Abbas r.a., yaitu ketika dia sedang membonceng Nabi ﷺ pada waktu haji Wada’, kemudian lewatlah di sampingnya wanita-wania yang berihram. Al-Fadhl lalu melihat mereka, kemudian Rasulullah ﷺ meletakkan telapak tangannya pada wajah Al-Fadhl. Maka Al-Fadhl berusaha untuk memalingkan wajahnya pada arah yang lain (menghindar).
Hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Hadits tersebut tidak menjadikan hujjah atas pembolehan membuka wajah bagi seorang wanita di hadapan laki-laki asing. Sebab, wanita-wanita yang dilihat Al-Fadhl adalah mereka yang sedang berihram dalam ibadah haji. Dan wanita yang berihram diperbolehkan untuk membuka wajahnya. Hal ini berdasar hadits: “Janganlah wanita itu menutupi wajahnya dan memakai tutup kedua telapak tangannya.”
Kita akan menyimak hadits selanjutnya.
Hadits Asma’ binti Abu Bakar r.a. Telah menceritakan kepadaku Al-Walid dari Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Darik dari Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a., bahwa Asma’ binti Abu Bakar memasuki rumah Nabi ﷺ dengan mengenakan pakaian yang tipis. Kemudian beliau ﷺ melihatnya, lalu bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita jika sudah baligh maka tidak boleh terlihat darinya ini dan ini.” Nabi menunjuk kepada wajah dan kedua telapak tangannya.
Hadits Asma’ yang dipakai sebagai hujjah pembolehan membuka wajah adalah hadits mursal atau sanadnya terputus. Hadits mursal oleh para ahli ilmu digolongkan ke dalam hadits dha’if atau lemah, maka tidak boleh digunakan sebagai dalil.
Dengan demikian jelas dari para imam mujtahid (Imam Asy-Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad) menyimpulkan bahwa wajah wanita adalah aurat. Menutupnya adalah wajib dan membukanya adalah haram. Adapun dari para fuqaha’ Hanafiyah, memakai cadar adalah wajib ketika tidak mengenakannya menjadikan fitnah atau kerusakan.
Seorang muslim hendaknya selalu berusaha untuk memelihara agama dan kehormatannya dan lebih memilih sisi yang mendekatkan kepada ketaqwaan dan rasa hati-hati. Tentunya jika ingin kelak di akhirat bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah SWT, yaitu dari para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada’, dan orang-orang shalih. Merekalah sebaik-baik kawan. Dan mereka lah yang ditunjuki jalan yang lurus.
~
“Begitulah dik, saya selaku ayah dan pemimpin keluarga ini, memerintahkan kepada keluarga saya dan anak-anak perempuan saya untuk lebih memilih memakai cadar, karena kami ingin berusaha mewujudkan perintah Allah dan Rasulullah ﷺ, dan sebagai bentuk meneladani nasihat dari para kalangan shahabiyah, dan mengikuti ketetapan para imam mujtahid yang terpercaya, salah satunya bagi kami yaitu Imam Asy-Syafi’i.”
Saya mengangguk, antara paham dan takjub. Keluarga ini (menurut saya) adalah keluarga yang luar biasa. Mereka terbuka dan menjelaskan secara rinci latar belakang anak gadisnya dan isterinya untuk lebih memilih memakai cadar. Di samping itu, keluarga ini jauh dari penilaian orang selama ini, seperti kolot, konvensional, dan tidak kenal modernisasi teknologi. Padahal anak gadisnya mahir berbahasa asing. Arab, Inggris, dan Nihongo. Suka menulis dan mencintai buku selayaknya manusia lainnya. Dan anak gadisnya tersebut saat ini sedang menyelesaikan studinya di Institut Teknologi Bandung. MasyaAllah. Cepat lulus ya. :p
“Dik…”
“Eh, iya pak?”
“Sekarang, giliran bapak,”
“Bapak ingin bertanya kepada adik, boleh?”
“Si…si..lakan pak, mau tanya apa?”
“Ngomong-ngomong, adik ini sudah punya calon apa belum?”
*tarakdungces*
28 Agustus 2014
*diilmui dari Tafsir Ibnu Katsir dan buku Tarbiyatul Aulad Fil Islam. Prolog dan Epilog hanya fiksi belaka (abaikan). Gambar dari sini.