SATU KENANGAN DALAM TIGA CERITA

Bagaimana perasaanmu jika ternyata kamu mengalaminya juga?



Minggu, 20 September 2015

Seperti biasa, bapak sudah menunggu satu jam yang lalu. Tidak ada yang beda sama bapak. Sejak kecil, bapak selalu menjemput kami satu jam lebih dulu. Padahal tidak ada kereta yang tiba lebih cepat dari jadwalnya. Tetapi bapak selalu memilih menunggu.

Sesampai di rumah, saya tidak banyak cerita. Entah mengenai pekerjaan, mengenai kehidupan, mengenai apapun. Kecuali kalau Bapak dan Ibu bertanya.

Hari-hari bapak lalui berdua bersama ibu. Memperbaiki rumah. Merawat kebun. Pergi ke pasar, pergi ke dokter, pergi ke hajatan orang, pergi kemana pun, bapak dan ibu selalu berdua. Bapak orangnya rajin dan ringan tangan. Musholla depan rumah bapak yang ngurus. Padahal bukan musholla pribadi dan tidak berdiri di tanah kami, tetapi bapak rajin merawatnya. Membelikan ini itu, mengecat. Dan terakhir terlihat karpet baru di musholla. Bapak suka sekali menyibukkan diri. Di rumah ada kolam lele, ribuan jumlahnya, hasil keterampilan bapak juga. Budhe yang sakit, bapak juga yang ngurus, padahal anak-anaknya budhe mampu mengurus budhe, tapi budhe lebih memilih bapak.

Kami bangga sama bapak.

Kami pulang sebulan, dua bulan atau satu tahun sekali. Lumayan lama. Alhamdulillah, setelah mas Dian pindah tugas di Jogja, mas Dian sering pulang menengok Bapak dan Ibu. Mba El yang mengaturnya. Kalau ada long weekend dipastikan mas Dian sekeluarga menginap di rumah. Ibu dan Bapak terhibur—saya juga.

Senin, 21 September 2015

Hari ini saya cuti, tidak masuk kerja. Itulah kenapa saya pulang. Mba El sidang promosi Doktor nanti sore. Mba El minta saya datang. Ibu dan Bapak juga datang.

Selain itu, ada agenda sosial di rumah sakit Semarang. Ada bayi yang mengidap Pneumonia dari keluarga tidak mampu. Bapak yang mengantar, namun bapak langsung ke rumah mba El, saya menyusul. Ini kali kedua bapak membantu saya. Sebelumnya, bapak juga membantu saya menyalurkan bantuan ke pasien penderita kanker.

Di rumah sakit, saya ditemani Danang yang baru tiba dari Pontianak. Sudah sangat lama saya tidak bertemu dengannya, semenjak tiga tahun yang lalu. Kami datang mewakili teman-teman. Sayang, kami berdua tidak bertemu si bayi, karena masih di ICU. 

Setelah agenda di rumah sakit selesai, jam tiga sore acara mba El dimulai.

Mas Dian tiba lebih dulu, disusul saya, lalu bapak dan ibu. Di dalam mobil, mas Dian merapikan penampilan Bapak. Hari ini bapak terlihat spesial. Bapak orang yang jarang membeli pakaian. Setahun dapat dihitung, satu atau dua kali. Itu pun dibelikan anak-anaknya. Namun untuk hari ini Bapak beli sendiri jas dan sepatunya tiga hari yang lalu di swalayan kecil di kota kami.

  

Acara pun dimulai. Saya duduk di belakang bapak.

Dua jam berlalu, Mba El sidang dengan lancar. Mba El lulus. Mba El Doktor. Suasana haru dan bahagia pecah menjadi satu.

Habis maghrib, suasana mulai sepi.

Mas Dian pulang ke Jogja, saya beranjak ke stasiun. Bapak dan Ibu pulang ke rumah. Dan ternyata menjadi pertemuan terakhir dengan bapak.

Jumat, 25 September 2015

Pukul sembilan pagi bapak mengirim sms ke saya, memberitahu sedang belajar mengoperasikan HP baru yang diberi mas Arif. HP lama kecil suaranya.

Waktu berlalu.

Menjelang pukul sebelas malam, bapak telephone. Saya menduga ada kabar buruk yang ingin disampaikan bapak, mungkin budhe meninggal.

Telephone saya angkat.

Tidak ada suara bapak.

Bukan bapak yang menelephone. Tetapi tetangga saya menelephone pakai HP bapak. Hati saya tak karuan. Ada kabar buruk apa?

“Tolong bapak saya ya pak. Bawa ke rumah sakit. Tolong. Terima kasih ya pak.” Saya meracau.

Bapak dikabarkan tidak sadarkan diri. Bapak pingsan. Dan bapak—selama saya kenal—tidak pernah pingsan!

Firasat saya melompat kemana-mana.

Lampu saya hidupkan kembali. Berkemas seadanya, pulang saat itu juga. Waktu berputar, hanya ada bapak.

Tiba di stasiun, telephone berdering kembali.

“Le bapakmu sudah meninggal. Kamu yang sabar ya. Kamu pulang. Mas-masmu belum ada yang ngangkat telephone. Sabar ya le.”

Waktu berjalan melambat. Memutar satu per satu memori tentang bapak. Tentang apapun terkait bapak. 

Mau tidak mau, suka tidak suka hal ini pasti tiba.

Tetapi kenapa malam ini! Kenapa tiba-tiba!

Jam dua belas malam kereta kembali mengantarkan saya pulang.

Sabtu, 26 September 2015

Minggu yang lalu, bapak ada disini. Menjemput saya di stasiun ini. Tetapi sekarang…

Saya melangkah kosong, keluar dari pintu kereta. Mengambil wudhu menenangkan diri.

Pagi ini orang lain yang akan menjemput, bukan bapak lagi. Bapak tidak akan menunggu di sini lagi, selamanya.

Sepanjang perjalanan pulang, memori melintas bergantian, mengurai kenangan dengan cepat.

Saya berusaha tegar.

Tidak.

Saya tidak bisa tegar, saya belum siap ditinggal bapak.

   

Di halaman rumah masyarakat sudah banyak yang berkumpul. Mendirikan tenda, mempersiapkan kursi meja. Di ruang depan bapak disemayamkan. Ibu duduk di samping bapak. Saya peluk ibu, lalu isak tangis pecah lagi.

“Bapakmu sudah ndak ada le. Kamu yang tenang ya.” Ibu memeluk erat. Ibu pasti tergoncang. Ibu yang melihat bagaimana bapak meninggal tadi malam. Bapak meninggal dalam kondisi tidak sakit. Bapak baru saja medical check up, tidak ada gangguan kesehatan apa-apa. Habis isya’ bapak masih sempat menelephone cucu-cucunya. Bapak masih sempat kenduri di tetangga. Bapak masih sempat semuanya. Mengurus kebun. Pergi bersama ibu. Merawat musholla. Memberi makan lele-lelenya.

Mas Dian yang sudah datang lebih dulu, menghampiri, menenangkan.

Mas Arif belum datang. Pesawatnya delay karena bencana asap yang memburuk. Kemungkinan tiba sore hari.

  

Bapak bersemayam sejak tadi malam. Tidak mungkin menunggu lebih lama lagi menunggu mas Arif tiba. Kami meminta ijin kepada mas Arif, untuk segera menguburkan bapak. Mas Arif mengijinkan.
Haru kembali pecah saat bapak dimakamkan.

Ibu tidak ikut. Hanya saya dan mas Dian yang mengantarkan bapak.

Mas Arif tiba sore hari. Lalu saya antar ke kubur bapak. Makam bapak bersebelahan dengan saudara-saudara yang lain. Mas Arif sholat dan berdoa. Mas Arif menangis. Saya ikut menangis. Terisak tanpa suara.

Sementara mas Wafa baru tiba hari seninnya dari Singapura. Prosedur ijinnya tidak semudah kami.

Untuk kesekian kali saya menangis, memeluk erat kakak-kakak saya.

“Mas, bapak sudah meninggal. Bapak sudah meninggal mas.”

“Kamu yang tenang, bapak orang yang baik, kita bangga sama bapak. Bapak juara.”

~

  

Bapak orang yang paling baik yang saya kenal. Paling sabar. Suka sekali membantu ini itu. Bapak telah menyelesaikan semuanya.

Betapa mudah bapak pulang.

Saya sangat rindu bapak.

Allahummaghfirlahuu ya Allah.

23:15 WIB

NASIHAT MENUJU PERNIKAHAN: PROPOSAL

“Kamu tahu?” Pak Tua menyergap. “Gadis itu sedang dilindungi dengan apa yang telah menjadi keputusannya tersebut.”

~

Malam ini, angin di tepian pantai Tuban belum begitu menusuk. Saya dan pak Tua (seperti biasa) keluar untuk sekedar duduk-duduk. Di ujung horison sana terdapat sebuah pulau. Pulau Bawean namanya. Pulau kecil berjarak tiga jam dari pelabuhan Gresik. Dan dari sanalah perasaan-perasaan ini semakin tumbuh–sejak empat tahun yang lalu.

“Jadi, gadis itu telah menerima suratmu?”

Saya mengangguk.

Bulan November tahun lalu–atas nasihat pak Tua–saya mengirimkan surat itu, lebih tepatnya proposal, proposal perkenalan untuk seseorang di pulau Bawean.

Lin Lin.

Namanya Lin Lin. Penamaan yang khas dari dialek Hokkian. Orang Hokkian adalah perantau mayoritas di negeri ini. Dulu di zaman kolonial Belanda, pemerintah Batavia pernah membatasi kuota perantau dan mendata mereka berdasar daerah asal. Setidaknya ada empat kelompok besar, yaitu; Hokkian, Tiochiu, Konghu, dan Hakka. Mayoritas orang Hokkian berasal dari daerah pesisir, seperti Zhangzhou dan Quanzhou. Mereka adalah pekerja keras dan pandai berdagang.

Lin Lin adalah orang Hokkian, ia tinggal di belakang pasar Kembang Jepun Surabaya. Ia baru saja lulus sarjana dari sebuah Institut kota tersebut. Setahun terakhir ia menghabiskan waktunya untuk Indonesia Mengajar. Pulau Bawean menjadi tempatnya menaruh sejengkal kepeduliannya di dunia pendidikan.

Saya tidak tahu apa-apa tentang Lin Lin, sampai suatu hari pak Tua mengajak saya membeli perlengkapan melautnya. Di toko Akiong itulah saya jatuh hati kepada Lin Lin.

Akiong adalah ayahnya. Pedagang besar di kota Surabaya. Tidak seperti orang Hokkian kebanyakan, keluarga Akiong telah lama memeluk Islam. Lin Lin di toko itu terlihat anggun dengan jilbab besarnya tertutup longgar. Semenjak itu, separuh hati saya tertinggal.

“Dia sudah membalas suratmu?” Tanya pak Tua pendek-pendek.

Saya kembali mengangguk.

“Lalu?”

Saya diam.

Empat tahun lamanya perasaan itu saya jaga. Dan hanya pak Tua yang tahu. Setelah lama terbenam, pak Tua menyarankan agar saya menanyainya–tentang perasaan ini.

“Saya sudah menerima surat itu. Kemarin.”

Angin berhembus. Malam beranjak larut. Pak Tua senyap mendengarkan.

“Dia belum siap menikah. Dia ingin melanjutkan pendidikannya. Adiknya juga masih kecil, dan butuh penjagaan kakaknya. Ayah dan Ibunya telah menyetujui keputusannya tersebut.”

Suara ombak terdengar di kejauhan, melenyapkan perasaan-perasaan yang saya keluarkan satu per satu.

“Apapun latar belakangnya, ia menolak proposal saya.”

Pak Tua mendekat. Ia hendak menasihati. Pak Tua adalah penasihat ulung!

“Dengar. Betapa banyak manusia setelah sekian lama terjadi baru menyadari bahwa Tuhan amat mengenali dan menyayangi ciptaan-Nya. Apakah kamu lupa dengan peristiwa di Bandara tempo lalu?” Tanya pak Tua.

Saya menggeleng.

Saya belum melupakan peristiwa itu, dan saya tahu kemana arah nasihat pak Tua ini.

Minggu yang lalu saya kesal bukan main kepada pelayanan Bandara Soekarno Hatta. Bus kecil berwarna kuning (Shuttle Bus) milik Angkasa Pura telat hampir setengah jam. Padahal di dalam tulisan, bus tersebut akan datang setiap sepuluh menit. Terminal satu ke terminal tiga lumayan jauh. Satu jam lagi penerbangan akan ditutup. Bus kuning itu belum terlihat keberadaannya. Setengah jam berlalu, bus datang. Di dalam bus, saya was-was. Pasti telat, gumam saya. Sampai di terminal tiga, pintu check in sepi. Tidak terlihat antrian seperti biasa. Penerbangan telah ditutup. Tiket saya hangus.

Namun dari peristiwa itu, Tuhan menyelamatkan saya, pesawat yang seharusnya saya tumpangi gagal take off, terperosok di ujung run way. Beberapa bagian pesawat terbakar.

~

“Kamu tahu? Gadis itu sedang dilindungi dengan apa yang telah menjadi keputusannya tersebut.” Pak Tua menasihati.

Iya. Saya berkeyakinan sama seperti pak Tua. Mungkin akan jauh lebih baik jika Lin Lin menolak proposal itu. Lin Lin gadis yang baik. Tuhan mencintainya. Orang yang baik pastilah dipertemukan dengan orang yang baik juga. Mana mungkin Tuhan tega?

Dan tentunya tidak akan timbul fitnah apa-apa jika Lin Lin menolak saya, karena saya bukan termasuk golongan di dalam hadits yang banyak orang bicarakan saat peristiwa pernikahan menjelang.

Empat tahun lamanya perasaan itu saya jaga, dan malam ini tibalah waktunya untuk dilepas.

Dari suratnya itu, saya baru tahu kalau Lin Lin bukan anak pertama Akiong, melainkan anak keduanya.

Surat itu tiga lembar banyaknya. Surat pertama dan terakhir Lin Lin kepada saya.

11 Januari 2015

BERKAH; SYUKUR; RIZQI; UMUR

IMG_0358.JPG

Teruntuk kakanda terkasih, pada telinga yang peka ini mendengar bahwa tiap-tiap insan yang tertitipkan (baik istri maupun putera-puteri) ada hak bagi mereka untuk mengutarakan wasiat yang amat berat: “Bawalah kami ke surga bersamamu.” (Qs. 66: 6)

Maka pantaslah sudah, bahwa pernikahan itu merupakan mitsaqan ghaliza.

Meski berat, saya yakin, kakanda telah banyak belajar dari bapak. Dan ini merupakan benih agar kakanda kedua belajar dari kakanda pertama dan bapak. Dan ini pelengkap agar kakanda ketiga belajar dari kakanda kedua, pertama, serta bapak. Maka nantinya (insyaAllah), menjadi setumpuk ilmu yang ananda kemas rapi, dan siap dibuka pada waktunya.

Namun bapak bukan apa-apa, kakanda juga bukan apa-apa, melainkan hanya ingin mengamali peran sebagai seorang ayah, dengan ilmu yang telah dijelaskan berderet-deret penuh hikmah di dalam Al-Quran surah Al-Luqman.

Namanya Luqman bin ‘Anqa’ bin Sadun. Kita kenal Luqman Al-Hakim. Begitulah ia digelari. Seorang ayah yang penuh hikmah.

Luqman bukan saudagar, ia adalah seorang laki-laki pengembala kambing dari tuannya. Kurus tubuhnya, hitam kulitnya, pesek hidungnya, amat kecil kedua kakinya. Andai ada orang yang berperawakan demikian di zaman sekarang, sungguh akan timbul ragu: perempuan mana yang sudi menerima pinangannya; keluarga mana yang bergegas meneladaninya sebagai seorang ayah sekaligus pakar pendidikan anak.

Abu ad-Darda’ r.a. berujar mengenai diri seorang Luqman: “Dia tidak diberikan anugerah berupa nasab, kehormatan, harta, pun jabatan. Namun dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tidak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta penyebutan kembali oleh orang lain.”

Seseorang pernah bertanya kepada Luqman: “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan seperti ini?”

Luqman menjawab: “Aku tahan pandanganku; aku jaga lisanku; aku perhatikan makananku; aku pelihara kemaluanku; aku berkata jujur; aku menunaikan janji; aku hormati tamu; aku pedulikan tetanggaku; dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”

Demikianlah Luqman. Ia bergelar Al-Hakim dan menjadi teladan di dalam Al-Qur’an bukan karena sekonyong-konyong, melainkan ada ikhtiar penuh istiqamah yang ia perjuangkan terus menerus.

Dan bagi kita meneladaninya dalam peran seorang ayah.

Sebelum para psikolog, pakar keluarga, dan berjejal motivator-motivator televisi mendengungkan pendidikan anak dengan kelembutan. Sungguh Luqman di lebih 14 abad yang lalu telah mengajari kita (sebagai seorang ayah) untuk berlembut-lembut dengan anak-anak kita.

“Ya bunayya…” di dalam qs. Al-Lukman ayat 13. Luqman meneladani sedini mungkin (meski untuk panggilan anak) harus dengan ramah lembut.

Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, “Duhai anakku tersayang (ya bunayya), janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang amat besar.” (qs. Al-Luqman: 13)

Berderet teladan Luqman sebagai seorang ayah, dapat dilihat lengkap di dalam surah tersebut dari ayat 12 hingga 19.

Semoga tulisan sekelumit ini dapat menjadi semangat dan syukur diri dalam berperan sebagai seorang ayah.

Dan tulisan ini dibagikan sebagai ucapan selamat atas kelahiran keponakan saya yang baru. Terlahir pada 20 Agustus 2014 jam 09:00 WITA.

~

Di dalam Al-Qur’an ada banyak nasihat untuk kita, agar memberikan ucapkan selamat dan turut bergembira atas anugerah kelahiran suatu keluarga.

“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira. Mereka mengucapkan ‘Selamat.’…” (Lihat QS. Huud: 69-71) | Lihat juga di qs. 3:39 dan di qs. 19:7.

Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah di dalam bukunya Tuhfatul Mauduud bi Ahkaamil Mauluud, dari Abu Bakar Al-Mundziri.

“Telah diriwayatkan kepada kami dari al-Hasan al-Bashri bahwa seorang lelaki telah datang kepadanya, dan di sampingnya ada seorang laki-laki baru saja dianugerahi seorang anak kecil.

Laki-laki itu berkata kepada orang yang mempunyai anak itu, ‘Selamat bagimu atas kelahiran seorang anak penunggang kuda.’

al-Hasan al-Bashri berkata kepada laki-laki tersebut, ‘Apa pedulimu apakah dia seorang penunggang kuda atau seorang penunggang keledai?’

Laki-laki itu lantas bertanya, ‘Jadi bagaimana kami harus mengucapkannya?’

al-Hasan al-Bashri menjawab, ‘Katakanlah:

بورك لك في الموهوب، وشكرت الواهب، ورزقت برّه، وبلغ أشدّه.

Semoga kamu diberkahi dalam apa yang telah diberikan kepadamu; semoga kamu bersyukur kepada yang memberi; semoga kamu diberi rizqi dengan kebaikannya; dan semoga ia mencapai masa balignya.'”

Berkah; Syukur; Rizqi; Umur. Doa yang amat lengkap untuk yang baru terlahir.

Salam.

20 Agustus 2014.

*diilmui dari buku Lapis-Lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah; buku Tarbiyatul Aulad fil Islam karya DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan; dan buku Tafsir Ibnu Katsir.

KEPADA MERTUA, SEBUAH TULISAN UNTUK KAMU (CALON) MENANTU

Saya menulis ini sebagai ucapan terimakasih saya kepada mba El. Mba ipar saya. Tentu kalian tidak mengenalnya. Akan tetapi tak mengapa, karena itulah saya menuliskanya di sini, bukan di bbm atau pun sms yang saya tujukan langsung kepada mba El. Agar teladan dari mba El dapat kita ambil.

Mba El (27 th).

Ia adalah seorang isteri dari kakak saya. Seorang ibu dari puterinya, seorang dosen dari mahasiswa-mahasiswinya, dan seorang murid dari para guru besarnya. Mba El saat ini sedang menyelesaikan program doktor nya.

Saya perlu memberitahukan latar belakang mba El terlebih dahulu, karena dari sini, saya akan menggambarkan dan menjadikannya sebagai ukuran penilaian.

Mba El terlahir dari keluarga berada dan masih dekat dengan keluarga keraton, ayahnya seorang profesor dari universitas negeri di Jawa Tengah, pun seorang komisaris dari bank milik pemerintah. Dibandingkan dengan latar belakang keluarga saya, sungguh amat timpang keadaannya.

Sikap mba El kepada mertua (yang merupakan ibu saya) sangat baik. Meski mba El berkehidupan di lingkungan yang berada, mba El tidak canggung, jijik, jaim, atau jaga jarak dengan ibu saya yang berasal dari desa.

Lebaran kemarin merupakan lebaran ketiga mba El bersama keluarga saya (mba El dan kakak saya menikah bulan November 2011), seperti biasa, mba El ikut membantu ibu saya di dapur. Menyiapkan ini itu, mencuci perabotan, dan memasak dengan alat penggorengan penuh timbal. Padahal setiap kali ke rumah, mba El selalu membawa salah seorang asisten rumah tangganya. Akan tetapi untuk urusan dapur mba El lakoni sendiri.

Saat makan bersama, mba El tak sungkan menggunakan piring bekas ibu saya, padahal masih belepotan sisa makanan beliau. Agar piring kotor tak banyak, adalah alasan mba El untuk merendah hati.

Air muka ibu saat itu amat senang, hatinya lega, bagai terguyur hujan penuh keberkahan. Ini mungkin yang disebut dengan qurrata a’yun.

Hari-hari diluar momen lebaran, mba El juga tak kalah baik. Komunikasi dengan kedua orang tua saya berjalan dengan lancar. Meski mba El amat sibuk mengajar dan belajar, mba El masih sempat menanyakan kabar.

Tidak hanya kepada orang tua saya, mba El juga ramah kepada saudara dan tetangga-tetangga saya.

Itulah mba El.

Mba El tidak ingin dihormati.
Mba El hanya ingin menghormati.

~

Di dalam tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk belajar kepada mba El. Bahwa menantu dan mertua tidak seperti yang diracunkan oleh sinetron-sinetron Indonesia, yaitu bagai air dan minyak yang tak pernah menyatu.

“Kalau bisalah, tidak usah ada mertua di dalam urusan rumah tangga kita.” Demikian sinetron Indonesia meracuni.

Padahal dengan perkawinan, masing-masing pasangan lahir bersamaan dari dua orang bapak dan dua orang ibu. Demikian tulis Quraish Shihab di dalam buku Pengantin Al-Qur’an. Ketika itu terciptalah keluarga besar, yang mencakup sanak saudara keluarga pasangan.

Ada sebagian anak yang telah berstatus suami melupakan ibu kandungnya setelah kawin dan menumpahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya hanya kepada istri. Demikian juga dengan anak yang berstatus istri, melupakan keluarganya karena suaminya.

Perhatian seorang suami kepada istri, yang melebihi perhatiannya kepada ibunya, tidaklah sejalan dengan budaya bangsa kita, pun dengan ajaran agama kita.

Salah satu hak orangtua atas anak-anaknya adalah mendapat perlakuan yang baik dari anak-anaknya. Kewajiban ini untuk semua anak, tidak hanya yang berstatus remaja saja, melainkan selama anak tersebut masih memiliki orangtua yang masih hidup, ia berkewajiban memenuhi hak-hak orangtuanya.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Israa’:23)

Saya ingin bagikan beberapa hadits sebagai gambaran betapa besarnya hak orangtua untuk diperlakukan dengan baik oleh anak-anaknya.

Seseorang datang kepada Nabi ﷺ memohon ijin untuk pergi berperang. Maka beliau bersabda:

“Ahayyu waa lidika?~apakah kedua orangtuamu masih hidup?”

Orang itu menjawab, “Ya.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

“Fafiihikaa fajaahid~maka berjihadlah kamu dengan (berbakti) kepada keduanya.”

– HR. Muslim

Berbuat baik kepada orangtua harus lebih didahulukan daripada kepada istri dan anak-anak, seperti halnya dikisahkan di dalam hadits riwayat Al-Bukhari berikut ini, dimana ada salah seorang umat terdahulu terjebak di dalam goa dan berdoa seperti ini:

Ya Allah, aku mempunyai kedua orangtua yang sudah berusia lanjut. Aku tidak minum (susu) di sore hari sebelum keduanya minum. Aku pun tidak ingin memberi minum keluargaku dan hartaku (hamba sahayanya) sebelum keduanya. Suatu hari aku pergi jauh mencari sesuatu, sehingga aku tidak pulang kepada kedua orangtuaku kecuali keduanya telah tidur. Aku pun memerah susu untuk minum keduanya, namun keduanya telah tidur, dan aku tidak mau minum sebelum keduanya. Aku pun tidak ingin memberi minum keluargaku dan hartaku (hamba sahaya) sebelum keduanya. Aku pun terdiam sambil memegang wadah minuman, menunggu kedua orangtuaku bangun. Barulah ketika fajar menyingsing keduanya bangun dan meminum minuman tersebut…

Bahkan harta yang dimiliki seorang anak pada hakikatnya adalah milik orangtuanya.

Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa seseorang telah datang kepada Nabi ﷺ seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku memiliki harta dan anak, dan orangtuaku mengingini hartaku.” Maka Nabi ﷺ bersabda:

“Anta wa maaluka liabiika~kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.”

– Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 838).

Dan ibu lebih didahulukan karena haknya yang lebih besar. Seperti halnya yang diriwayat oleh Abu Hurairah r.a., ada salah seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai siapakah yang lebih berhak diperlakukannya dengan baik.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Ummuka~ibumu.” sebanyak tiga kali.

“Tsumma abuuka~lalu ayahmu.”

Tentu apa yang telah saya sebutkan di atas adalah dasar bahwa betapa pentingnya kita menghormati, melayani, dan memperlakukan kedua orangtua kita dengan layak dan baik, tanpa sedikit pun menyisihkan perih dan luka di hati keduanya. Hal ini dapat terwujud ketika suami dan istri sama-sama mengerti. Maka di dalam Islam, agama adalah hal terawal penilaian dalam memilih pasangan. Jika agamanya baik, baiklah semua perilakunya. Siapa yang tidak ingin, orangtua kita dikasihi oleh isteri atau suami kita? Maka usahakanlah masing-masing istri dan suami memberikan perhatian maupun pemberian yang baik kepada keluarga besar pasangannya.

Cobalah kita sejenak, begitu Salim A. Fillah menasihatkan di dalam buku Barrakallahu Laka… Bahagianya Merayakan Cinta, memandang dengan sudut pandang istri atau suami yang kita cintai tentang mertua kita. Pinjamlah mata hatinya sejenak untuk suatu empati. Merasalah menjadi dirinya untuk memdengarkan wasiat Allah tentang orangtua. Inilah wasiat abadi, tentang ayah dan bunda. Inilah cara kita memandang mertua, sebagaimana kita berharap beginilah istri kita akan memandang orang tua kita.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan persahabatilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman: 14-15)

Memandang mertua kita, sebagaimana kita ingin istri kita memandang ayah dan ibu kita adalah sebuah keindahan. Memandang mereka untuk diperlakukan seperti orangtua kita sendiri adalah sebuah kemuliaan. Mungkin ada geliat sangkal di dalam hati, “Bukankah ia bukan orangtua kita yang sesungguhnya? Ibu mertua kita tidak melahirkan kita, tidak menyusui, tidak merawat, dan tidak nggulawentah kita sedari kecil? Mereka hanyalah orang yang dipertemukan dengan kita oleh takdir.”

Adakah yang terpikir, siapa yang menjadi wasilah hadirnya keindahan pernikahan kita? Adakah terpikir, siapa yang mengandung dan melahirkan sosok gagah di pelukan kita? Adakah terpikir, siapa yang mendidik dan membesarkan calon ibu anak-anak kita hingga menjadi seperti sekarang? Mertua kita. Dialah mertua kita. Calon kakek dan nenek dari anak-anak yang menjadi penghias mata kita. Merekalah mertua kita.

Maka alangkah indahnya bersahabat dengan mertua, sebagaimana kita telah merasakan agungnya bersahabat dengan orangtua. Ada pengenalan yang lebih dalam terhadap kekasih hati sumber yang telah mengalirkan ruh dan akhlaknya pada sang putra. Ada ilmu, ada pemahaman, ada pengalaman, ada cerita-cerita yang penuh makna, dan ada kebanggaan-kebanggaan yang dipenuhi kebijaksanaan. Ada tempat kita untuk berkaca, tentang kesungguhan, tentang perjuangan, tentang pengorbanan, tentang cita-cita, dan cinta. Ada pewarisan nilai, ada pewarisan amanah, ada kepercayaan.

Sejak dahulu, pembicaraan tentang relasi antara menangu dan mertua adalah pembicaraan yang hangat. Banyak yang sudah terjebak pada pemahaman luput. Seolah-olah hubungan mertua dan menantu adalah hubungan konflik. Seolah dasar pijakan relasi itu adalah persaingan. Seolah akan terus ada ketidakcocokan, makan hati, sakit hati, patah hati, gelap hati, dan lain hati.

Benar, memang segala hal bisa berpotensi menjadi masalah. Benar, bahwa segala sesuatu adalah tantangan. Tetapi bagi orang beriman, dengan itulah Allah mendewasakan. Tetapi bagi orang beriman, aneka masalah adalah keberkahan dan kebaikan. Tantangan akan menambah ilmu, mengasah keuletan, memperpanjang galah kesabaran, dan mengukirkan prestasi hidup.

Benar memang segala hal adalah potensi masalah. Tetapi di sanalah Allah menguji hamba-hamba-Nya, manakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Benar segala hal adalah potensi masalah. Maka Allah mengaruniakan kepada kita akal untuk berpikir, hati untuk memahami, dan akhlakul karimah untuk bersikap. Benar bahwa segala hal adalah potensi masalah. Seperti jika kita sedikit memiringkan kepala untuk memandang hadits berikut ini.

Yang paling berhak atas wanita adalah suaminya. Yang paling berhak atas seorang lelaki adalah ibunya. (HR. Tirmidzi)

Sebagai penutup, saya bonuskan sebuah foto dari putri mba El. Keponakan saya yang cantik. Namanya? Kasih tahu nggak ya. Hhe.

20140803-122747-44867380.jpg

Terimakasih mba El, sikap hormat dan sopan santun mba El telah membuat hati ibu saya senang.

Salam.

03 Agustus 2014

*ditulis tadi malam di dalam gerbong kereta dan ilmunya dikutip dari buku Pengantin Al-Qur’an karya Quraish Shihab; buku Ibumu, Ibumu, Ibumu karya Sulaiman bin Shaqir ash-Shaqir; dan buku Barrakallahu laka… Bahagianya Merayakan Cinta karya Salim A. Fillah.

Istri Kepala Rumahtangga

Oleh: Muhammad Ainun Nadjib

Maka selalu terasa lucu kalau orang bertanya: “Kalau sampeyan sibuk acara terus kesana kemari hampir tak ada sela hari, bagaimana membagi perhatian kepada keluarga?”

Semua yang terpaparkan sebelum ini sudah sangat menjelaskan jawaban untuk itu. Masyarakat, istri-istri kami itu tidak cepat menyadari bahwa kami berdua bukan suami istri. Kami sudah menjadi satu. Kami satu pihak. Satu pribadi. Meskipun di dalam ‘satu’ itu terdapat fenomena dan perbedaan yang berjuta-juta kemungkinannya.

Mereka tidak selalu sempat memahami bahwa bagi kita suami dan istri itu satuan managemen dalam menjalankan aplikasi nilai Tuhan dalam kehidupan. Kalau orang memperhatikan isi rumah kita, mereka mungkin akan mulai sedikit mengerti bahwa engkau adalah kepala rumah tangga, bukan aku. Begitu banyak pekerjaan di rumah maupun di luar yang engkau sangat menguasai dan terampil mengerjakannya jauh melebihi aku. Maka kita berbagi tugas, meskipun tetap dalam posisi hukum dan moral bahwa akulah yang paling bertanggungjawab atas apapun yang menyangkut penyelenggaraan keluarga sakinah di rumah kita.

Kalau anak kurang makan, kalau bolam mati, kalau kamar mandi tak ada airnya, akulah yang bertanggungjawab, meskipun engkaulah yang lebih trampil mengurusinya. Engkau tidak wajib menyediakan uangmu untuk apapun dalam rumah tangga kita, tapi setiap peser dan rupiah dari uangku adalah milik seluruh keluarga. Maka kalau uangku habis, aku pinjam kepadamu. Sebab kalau kuminta paksa, atas nama moral kesatuan keluarga atau apapun, itu namanya penganiayaan. Aku hutang kepadamu, dan bahwa akhirnya engkau akan memerdekakanku dari hutang: itu karena inisiatif cintamu dan karena engkau dimuliakan Allah di duniamu dan di akhiratmu. Engkau merelakan uangmu bukan karena engkau berkewajiban, melainkan karena engkau bermurah hati. Tetapi sampai kapanpun, kalau aku tak punya, aku akan hutang lagi dan lagi kepadamu. Dan engkau merdeka untuk memerdekakanku atau menagihku. Itulah bebas konteks antara hak dan kewajiban dengan kemurahan moral di dalam berumahtangga.

Di rumah kita, juga dalam kehidupan institusi atau komunitas yang terkait dengan kita–Al Muhammady, Yayasan Alhamdulillah, Sekolah Alhamdulillah, Pabrik Alhamdulillah, ritel Alhamdulillah, Progress, KiaiKanjeng, dan semuanya, tak ada Boss, tak ada majikan, tak ada juragan. Yang ada adalah sistem nilai. Rumusan aturan yang dibangun bersama. Setiap orang bekerja atas dasar sistem itu dan digaji oleh sistem itu.[]

*diambil dari buku ‘istriku seribu’.

Menyambut Kelahiran Anak

20140216-133417.jpg

Berikut saya share catatan yang dapat digunakan sebagai dasar ibadah dalam menyambut kelahiran putera-puteri tercinta.

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rizqi kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. [QS. Al- Israa’: 31]

Hal-hal yang perlu dilakukan:

1. Memberi nama yang baik

Dari Abu Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari qiyamat dengan namamu dan nama ayahmu, maka baguskanlah nama kalian”. [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 287, munqathi’, karena ‘Abdullah bin Abu Zakariya tidak bertemu dengan Abu Darda’]

2. Mencukur atau menggundul rambut dan beraqiqah pada hari ke-7 bila ada kemampuan

Dari Salman bin ‘Amir Adl-Dlabiy, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang ‘aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya)”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 217]

Dari Samurah bin Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak tergadai (tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama”. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106, no. 2838]

Dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165]

Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)”. [HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588]

Dari Yusuf bin Mahak bahwasanya orang-orang datang kepada Hafshah binti ‘Abdur Rahman, mereka menanyakan kepadanya tentang ‘aqiqah. Maka Hafshah memberitahukan kepada mereka bahwasanya ‘Aisyah memberitahu kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih ‘aqiqah) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35, no. 1549]

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berkehendak untuk meng’aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan satu ekor kambing”. [HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725]

3. Menyusukannya dan memeliharanya dengan baik

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [QS. Al- Baqarah : 233]

Hal-hal yang tidak perlu dilakukan:

1. Adzan dan iqamah di telinga bayi

Dari Abu Rafi’ ia berkata, “Saya pernah melihat Rasulullah SAW membaca adzan (sebagaimana adzan) shalat, pada kedua telinga Hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah”. [HR. Ahmad juz 9, hal. 230, no. 23930, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin ‘Ubaidillah]

Dari Abu Rafi’ bahwasanya Nabi SAW membaca adzan pada telinga Hasan dan Husain RA ketika keduanya dilahirkan. Dan beliau menyuruh yang demikian itu. [HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir juz 1, hal. 313 no. 926]

Hadits-hadits tersebut keseluruhannya diriwayatkan melalui jalan ‘Ashim bin ‘Ubaidillah.

Tentang ‘Aashim bin ‘Ubaidillah ini, Bukhari berkata: Ia mungkarul hadits. Abu Zur’ah berkata: Ia mungkarul hadits. Abu Hatim berkata: Ia mungkarul hadits. Daruquthni berkata: ia matruukul hadits. Nasa’iy berkata: Ia dla’if. [Lihat Mizaanul I’tidal juz 2 hal. 353 no. 4056; Tahdziibut Tahdziib juz 5, hal. 42, no. 79].

Dari Husain bin Ali RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mempunyai anak yang baru dilahirkan, kemudian ia mensuarakan adzan di telinga yang kanan, dan iqamah pada telinga yang kiri, maka anak itu tidak diganggu oleh Ummush Shibyan (sejenis syaithan)”. [HR. Ibnus Sunni hal. 220, no. 623, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Jabbaarah bin Al- Mughlis, Yahya bin ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim]

Hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Jabbaarah bin Al-Mughlis, Yahya bin ‘Alaa’, dan Marwan bin Saalim, ketiganya dla’if.

a) Tentang Jabbaarah bin Al-Mughlis, Al-Bazzaar berkata: ia banyak keliru. Daruquthni berkata: ia matruuk. Bukhari berkata: haditsnya mudltharib. [Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 2, hal. 50, no. 87].

b) Tentang Yahya bin Al-’Alaa’, Imam Ahmad bin Hanbal berkata: ia pendusta. ‘Amr bin ‘Ali, Nasaiy dan Daruquthni berkata: ia matruukul hadits. Abu Zur’ah berkata: haditsnya dla’if. As-Sajiy berkata: ia mungkarul hadits. Ad- Daulabiy berkata: ia matruukul hadits. [Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 11, hal. 229, no. 427].

c) Tentang Marwan bin Salim, Bukhari dan Muslim berkata: ia munkarul hadits. Daruquthni berkata: ia matruukul hadits. Abu Hatim berkata: ia munkarul hadits jiddan. Al-Baghawiy berkata: ia munkarul hadits, riwayatnya tidak boleh dijadikan hujjah. [Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 10, hal. 84, no. 172].

2. Aqiqah pada hari selain hari ke-7, yakni ke-14, ke-21

Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21nya. [HR. Baihaqi juz 9, hal. 303, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin Muslim]

Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, ” ‘Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21 nya”. [HR. Thabrani dalam Al-Ausath juz 5, hal. 457, no. 4879, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin Muslim]

Tentang Isma’il bin Muslim Al-Makkiy, Al-Jauzajaaniy berkata: ia waahin jiddan. Abu Zur’ah berkata: ia dla’iful hadits. Abu Hatim berkata: ia dla’iful hadits, kacau pikirannya. Nasaiy berkata: ia matruukul hadits. [Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 1, hal. 289, no. 598].

Dari Anas RA bahwasanya Nabi SAW ber’aqiqah untuk dirinya sesudah beliau menjadi Nabi. [HR. Baihaqi juz 9, hal. 300, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abdullah bin Muharrar]

Tentang ‘Abdullah bin Muharrar, Ibnu Ma’in berkata: ia dla’if. ‘Amr bin ‘Ali, Abu Hatim, ‘Ali bin Junaid dan Daruquthni berkata: ia matruukul hadits. Abu Zur’ah berkata: ia dla’iful hadits. Bukhari berkata: ia munkarul hadits. [Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 5, hal. 340, no. 661].

3. Bersedeqah seberat rambut yang dicukur dari kepala si bayi.

Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata: Rasulullah SAW telah ber’aqiqah bagi Hasan seekor kambing dan bersabda, “Ya Fathimah, cukurlah rambutnya dan bersedeqahlah seberat rambut kepalanya dengan perak”. Maka adalah beratnya satu dirham atau setengah dirham”. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 37, no. 1556, dan ia mengatakan : Ini hadits hasan gharib, sanadnya tidak sambung]

Hadits ini dla’if, sanadnya munqathi’ (terputus), karena Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali tidak sezaman dengan ‘Ali bin Abu Thalib. ‘Ali bin Abu Thalib wafat tahun 40 H, sedangkan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin Husain lahir tahun 56 H. [Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 9, hal. 331, no. 582]

Catatan:
Ada sebagian dari kita yang bersikap masih menggunakan hadist dla’if sebagai dasar melakukan amalan, ada juga yang bersikap tengah-tengah dilihat dulu dla’ifnya seperti apa , tapi ada juga yang bersikap hati-hati untuk tidak menggunakan hadist dla’if sebagai dasar melakukan amalan. Dan saya lebih mengikuti pendapat yang ketiga. Bersikap hati-hati saja. Karena hadist yang dla’if bersifat lemah akan kebenarannya. Untuk mengetahui ilmu hadist, bisa dibaca buku karya A. Qadir Hassan yang berjudul Ilmu Mushthalah Hadist, atau karya Prof. Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqiey “Sejarah dan pengantar ilmu hadist”

Demikian, semoga catatan ini bermanfaat bagi kita baik yang akan menyambut kelahiran anaknya maupun yang belum.

Salam,

Yang Perlu Dinasihati
(Tidaklah menjadi pertanda bagi saya yang menulis ini, amalnya lebih baik dari pembaca, namun catatan ini saya bagikan untuk menunjukkan kebenaran yang seharusnya kita lakukan)

*gambar dari sini