Namaku Asma’ binti Abu Bakar. Aku adalah seorang perempuan yang dilahirkan dari ayah bernama Abu Bakar, dan ibu bernama Qatilah. Ibuku telah diceraikan oleh ayahku tatkala jaman jahiliyah. Namun begitu, hal ini tidak menghalangiku untuk tetap bersilaturrahim dengan ibuku, karena Rasulullah ﷺ memperbolehkannya.
Di dalam Shahihain dari Asma’ binti Abu Bakar r.a., ia berkata: “Ibuku mendatangiku sedangkan beliau masih musyrik pada zaman Rasulullah ﷺ, maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ. Aku berkata: ‘Sesungguhnya ibuku mendatangi diriku dengan penuh harap, apakah aku boleh berhubungan dengannya?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ya… berhubunganlah dengan ibumu.'”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari III/142 dalam Al-Hibah pada bab Hadiah Bagi Orang-Orang Musyrik dan Firman Allah SWT QS. Al-Mumtahanah: 8. Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam bab Zakat no. 1003)
Aku memiliki seorang saudari, yang kalian kenal sebagai Ummul Mukminin. Namanya ‘Aisyah binti Abu Bakar. ‘Aisyah lebih muda belasan tahun daripada aku.
Sebagai seorang perempuan, aku juga merindukan menikah. Untuk meniti mahligai rumah tangga.
Kenalkan, dia adalah suamiku.
Dia adalah penolong Rasulullah ﷺ, dia adalah Zubair bin Awwam.
Zubair bukanlah pemuda yang banyak harta, sehingga aku jatuh cinta padanya.
Zubair adalah seorang pemuda yang miskin, yang tidak memiliki pelayan, yang tidak memiliki harta benda untuk melapangkan kehidupan keluarga, ia hanya memiliki seekor kuda sebagai hartanya.
Sebagai isteri, aku rela mengurus segala keperluannya.
Aku rawat dan aku kembala kuda miliknya, aku yang mencari air, aku yang mengadon roti. Aku yang mengusung kurma hingga 2 km jauhnya. Pernah aku ditawari boncengan oleh Rasulullah ﷺ, ketika itu Rasulullah ﷺ melihatku letih memikul kurma. Namun aku malu sama Rasulullah, dan aku ingat bahwa suamiku adalah seorang yang pecemburu, maka aku enggan ikut bersama kendaraan Rasulullah. Ini semua aku lakukan untuk mengharap ridha Allah. Aku akan selalu berusaha untuk taat kepada suamiku dan menjaga keridhaan suamiku. Aku sabar dalam menghadapi kesulitan dan kekurangan ini.
Telah disebutkan di dalam hadits shahih, Asma’ binti Abu Bakar r.a., berkata: “Zubair menikahiku sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang mengurusnya dan memberinya makan, dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air dan mengadon roti. Aku juga mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah ﷺ dari tanahnya Zubair yang aku sunggi di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh (kira-kira 2 km). Pada suatu hari tatkala saya sedang mengusung kurma di atas kepala, saya bertemu dengan Rasulullah ﷺ bersama seseorang. Beliau bersabda: ‘Ikh… Ikh…’ (ucapan untuk menghentikan kendaraan) dengan maksud agar aku naik kendaraan di belakangnya namun saya merasa malu dan saya ingat Zubair dan rasa cemburunya, maka beliau berlalu.
Tatkala aku sampai di rumah, aku kabarkan hal itu kepada Zubair, lalu dia berkata: ‘Demi Allah, engkau mengusung kurma tersebut lebih berat bagiku daripada engkau mengendarai kendaraan bersama beliau.’
Kemudian Asma’ berkata: ‘Sampai akhirnya Abu Bakar mengirim pembantu setelah itu, sehingga aku merasa cukup untuk mengurusi kuda, seakan-akan dia telah membebaskanku.'”
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam an-Nikah pada bab ‘Cemburu’ juz VI, hal. 156; dan Muslim dalam as-Salam pada bab ‘Diperbolehkannya Memboncengkan Wanita yang Bukan Mahram Apabila Dia Kelelahan Di Jalan’ no. 2182
Aku dijuluki Dzatun Nithaqain oleh Rasulullah ﷺ. Yang berarti wanita pemilik dua ikat pinggang.
Pada waktu itu ayahku dan beliau hendak berhijrah ke Madinah. Aku persiapkan perbekalan makan dan minum untuk mereka. Namun aku tidak menemukan tali untuk mengikat perbekalan tersebut. Akhirnya, aku robek saja ikat pinggang yang aku kenakan menjadi dua bagian. Yang satu untuk mengikat makanan, yang satunya lagi untuk mengikat minuman. Lantas Rasulullah ﷺ berdoa untukku, semoga dua ikat pinggangku ini diganti oleh Allah dengan dua ikat pinggang di surga.
Aamiin.
Ayahku dan Rasulullah ﷺ hijrah lebih dulu ke Madinah. Kemudian aku menyusul ikut hijrah pula. Hal ini untuk menyelamatkan agamaku. Pada waktu itu setiap Muslim di Makkah diintimidasi dan diusir dari kediamannya.
Pada saat hijrah ke Madinah, aku dalam keadaan mengandung. Beban berat perjalanan dari Makkah ke Madinah tidak menghalangiku untuk berhijrah. Pada waktu di Quba aku melahirkan. Kaum Muslimin bertakbir bertahlil untuk mengagungkan Rabbnya atas kelahiran bayiku. Bayiku adalah bayi pertama dari kaum Muhajirin.
Aku bawa bayiku kepada Rasulullah ﷺ. Makanan pertama yang masuk ke dalam mulut bayiku adalah air liur Rasulullah. Setelah di tahnik, beliau lalu mendoakan bayiku.
Anakku bernama Abdullah. Abdullah bin Zubair.
Sebagai seorang perempuan, seorang isteri, sekaligus seorang ibu, aku ingin berbuat baik sesuai kadar kemampuanku. Aku dermakan apa yang aku punya untuk masyarakat. Aku asah kecerdasanku setiap hari, karena aku tahu hal itu bermanfaat bagiku.
Abdullah bin Zubair r.a. menuturkan: “Aku tidak pernah melihat dua wanita yang lebih derma melebihi ‘Aisyah bibiku, dan Asma’ ibuku. Hanya saja sifat derma keduanya berbeda.
Kalau bibiku, ia mengumpulkan sedikit demi sedikit hingga terkumpul secukupnya, baru ia bagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan. Sementara ibuku, ia membagikan semuanya, tidak menyimpan sesuatu pun untuk esok hari.”
Aku dikaruniai umur yang panjang, hingga aku menyaksikan anakku dipercaya oleh masyarakat untuk mengemban amanah sebagai seorang khalifah.
Anakku, Abdullah bin Zubair, dibaiat sebagai khalifah sepeninggalnya Yazid bin Mu’awiyah. Anakku bertanggungjawab terhadap Hijaz, Mesir, Irak, Khurasan, hingga sebagian besar wilayah Syam.
Namun tidak lama setelah pembaitan ini, Bani Umaiyah mengirim pasukan besar untuk memerangi Abdullah bin Zubair. Pasukan besar tersebut dikomandoi oleh Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Perang pecah. Abdullah bin Zubair dengan keberanian luar biasa ikut berperang di dalamnya.
Namun, sangat disayangkan. Para pembela Abdullah bin Zubair sedikit demi sedikit berpencar, loncat ke politik lawan. Akhirnya Ibnu Zubair berlindung di Baitul Haram. Di tempat suci ini, bersama sejumlah pasukannya, ia berlindung di balik Ka’bah Agung.
Sebagai ibu, aku adalah motivator bagi anakku dalam hal kebenaran.
Ketika Hajjaj mengepung Makkah, Abdullah meminta saran kepadaku.
“Duhai ibu, orang-orang kini meninggalkanku dan menjauhiku karena takut kepada Hajjaj, atau berambisi untuk mendapatkan sesuatu yang ia miliki, bahkan anak-anakku dan keluargaku pun meninggalkanku, dan hanya segelintir prajuritku yang setia menyertaiku. Meski mereka ini sabar seperti apapun, pastinya hanya dapat bertahan sesaat saja. Duhai ibu, utusan Bani Umaiyah menawarkan untuk memberikan harta benda duniawi apapun yang aku mau, dengan syarat aku mau meletakkan senjata, dan membaiat Abdul Malik bin Marwan. Bagaimana menurut ibu?”
“Duhai anakku, engkau lebih mengetahui terhadap dirimu. Jika kamu mengetahui bahwa engkau di atas kebenaran, maka kerjakanlah. Sungguh telah terbunuh sahabat-sahabatmu karenanya, sedangkan tidak mungkin engkau dipermainkan oleh anak-anak Bani Umaiyah. Jika engkai hanya menginginkan dunia, maka seburuk-buruk hamba adalah engkau, dan berarti kamu telah membinasakan dirimu sendiri, dan telah membinasakan orang-orang yang berperang bersamamu.”
“Demi Allah, ini adalah pendapat yang bagus wahai ibuku, akan tetapi aku takut jika penduduk Syam membunuhku dan mencincang tubuhku lalu menyalibku.”
“Duhai anakku, sesungguhnya kambing tidak lagi merasakan sakit dipotong-potong tubuhnya untuk disembelih. Maka berangkatlah dengan bashirahmu dan mintalah pertolongan kepada Allah SWT.”
Abdullah bin Zubair berangkat berperang tanpa mengenakan baju besi. Ibnu Zubair pun terbunuh.
Aku telah mendengar bahwa anakku telah terbunuh oleh Hajjaj. Hajjaj dengan sombongnya menemuiku.
“Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah aku perbuat terhadap anakmu wahai Asma’?”
Asma’ menjawab dengan tenang, “Engkau telah merusak dunianya, namun dia (Abdullah bin Zubair) telah merusak akhiratmu.”
(Dalam Ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/254, dalam Al-Mustadrak IV/64, dalam Siyaru A’lam An-Nubala’ Adz-Dzahabi II/293, dan dalam Tarikh Islam oleh Imam Adz-Dzahabi III/136)
~
Tak lama setelah Abdullah bin Zubair r.a. terbunuh, Asma’ binti Abu Bakar r.a. meninggal. Usia Asma’ r.a. adalah 100 tahun. Giginya tidak ada yang tanggal satu pun, dan kecerdasannya tak berkurang. Adapun terbunuhnya Abdullah bin Zubair pada tanggal 17 Jumadil ‘ula tahun 73 Hijriyah.
~
Demikian apa yang dapat saya bagikan mengenai pemilik dua ikat pinggang di Surga.
Asma’ binti Abu Bakar r.a. Isi cerita saya ambil dari buku Para Shahabiyah dengan penulisan ulang, dengan sudut pandang orang pertama.
Semoga kisah ini dapat terambil teladan dan inspirasi, tidak hanya bagi para Muslimah saja, namun bagi kita semua.
29 Juni 2014 | menuju berbuka
*gambar dari sini.