RAMADHAN #3: MONOLOG SUMAYYAH BINTI KHAYYAT R.A.

20140630-171120-61880330.jpg
Namaku Sumaiyah binti Khayyat. Seorang ibu dari anakku: Ammar dan Ubaidullah. Seorang isteri dari suamiku: Yasir. Seorang budak dari tuanku: Abu Hudzaifah bin Mughirah.

Aku pernah mengalami apa-apa yang tidak pernah kalian alami selama kalian memeluk agama ini.

Aku mempercayai Muhammad ﷺ adalah utusan Allah, sebagaimana kalian telah mempercayainya juga. Aku beriman bahwa tidak ada ilah melainkan Allah, sebagaimana kalian berikrar juga. Tapi sungguh, kalian tidak pernah merasakan apa yang kami rasakan.

Bani Makhzum menangkapku beserta keluargaku.

Aku dibuang di sebuah tempat dengan terik padang pasir yang menyengat. Sebongkah batu amat berat menyesak dada dengan timbunan pasir amat panasnya.

Satu tujuan bani Makhzum dan orang-orang kafir Quraisy waktu itu. Agar kami keluar dari keyakinan kami bahwa Muhammad utusan Allah, dan tiada Ilah kecuali Allah.

Tapi aku tak merintih. Hanya ahad, ahad, ahad yang keluar dari mulut kering kami.

Inilah rasa lezat dan manisnya iman yang tak pernah kalian rasakan. Inilah perjuangan aqidah. Hati kami telah dipenuhi dengan kebesaran Rabbi. Menganggap kecil saja siksaan ini.

Hingga Abu Jahal tusukkan sangkur.

Jiwa telah terderma. Aku syahidah pertama dalam agama ini.

~

Monolog ini ditulis dengan improvisasi sudut pandang orang pertama, yang kisah utamanya sebagaimana kalian tahu, bahwa keluarga ini disiksa begitu hebatnya oleh bani Makhzum. Dan oleh Abu Jahal, Sumaiyah gugur.

Suatu ketika Rasulullah ﷺ menyaksikan keluarga ini disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan tangannya ke langit dan berseru:

صَتْرًاآلَ يَاسِرٍفَإِ نِّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”

Semoga kisah ini bermanfaat bagi kita semua.

30 Juni 2014 | menuju berbuka

*gambar dari scene serial film OMAR.

RAMADHAN #2: MONOLOG ASMA’ BINTI ABU BAKAR R.A.

20140629-053935-20375671.jpg
Namaku Asma’ binti Abu Bakar. Aku adalah seorang perempuan yang dilahirkan dari ayah bernama Abu Bakar, dan ibu bernama Qatilah. Ibuku telah diceraikan oleh ayahku tatkala jaman jahiliyah. Namun begitu, hal ini tidak menghalangiku untuk tetap bersilaturrahim dengan ibuku, karena Rasulullah ﷺ memperbolehkannya.

Di dalam Shahihain dari Asma’ binti Abu Bakar r.a., ia berkata: “Ibuku mendatangiku sedangkan beliau masih musyrik pada zaman Rasulullah ﷺ, maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ. Aku berkata: ‘Sesungguhnya ibuku mendatangi diriku dengan penuh harap, apakah aku boleh berhubungan dengannya?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ya… berhubunganlah dengan ibumu.'”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari III/142 dalam Al-Hibah pada bab Hadiah Bagi Orang-Orang Musyrik dan Firman Allah SWT QS. Al-Mumtahanah: 8. Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam bab Zakat no. 1003)

Aku memiliki seorang saudari, yang kalian kenal sebagai Ummul Mukminin. Namanya ‘Aisyah binti Abu Bakar. ‘Aisyah lebih muda belasan tahun daripada aku.

Sebagai seorang perempuan, aku juga merindukan menikah. Untuk meniti mahligai rumah tangga.

Kenalkan, dia adalah suamiku.

Dia adalah penolong Rasulullah ﷺ, dia adalah Zubair bin Awwam.

Zubair bukanlah pemuda yang banyak harta, sehingga aku jatuh cinta padanya.

Zubair adalah seorang pemuda yang miskin, yang tidak memiliki pelayan, yang tidak memiliki harta benda untuk melapangkan kehidupan keluarga, ia hanya memiliki seekor kuda sebagai hartanya.

Sebagai isteri, aku rela mengurus segala keperluannya.

Aku rawat dan aku kembala kuda miliknya, aku yang mencari air, aku yang mengadon roti. Aku yang mengusung kurma hingga 2 km jauhnya. Pernah aku ditawari boncengan oleh Rasulullah ﷺ, ketika itu Rasulullah ﷺ melihatku letih memikul kurma. Namun aku malu sama Rasulullah, dan aku ingat bahwa suamiku adalah seorang yang pecemburu, maka aku enggan ikut bersama kendaraan Rasulullah. Ini semua aku lakukan untuk mengharap ridha Allah. Aku akan selalu berusaha untuk taat kepada suamiku dan menjaga keridhaan suamiku. Aku sabar dalam menghadapi kesulitan dan kekurangan ini.

Telah disebutkan di dalam hadits shahih, Asma’ binti Abu Bakar r.a., berkata: “Zubair menikahiku sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang mengurusnya dan memberinya makan, dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air dan mengadon roti. Aku juga mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah ﷺ dari tanahnya Zubair yang aku sunggi di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh (kira-kira 2 km). Pada suatu hari tatkala saya sedang mengusung kurma di atas kepala, saya bertemu dengan Rasulullah ﷺ bersama seseorang. Beliau bersabda: ‘Ikh… Ikh…’ (ucapan untuk menghentikan kendaraan) dengan maksud agar aku naik kendaraan di belakangnya namun saya merasa malu dan saya ingat Zubair dan rasa cemburunya, maka beliau berlalu.

Tatkala aku sampai di rumah, aku kabarkan hal itu kepada Zubair, lalu dia berkata: ‘Demi Allah, engkau mengusung kurma tersebut lebih berat bagiku daripada engkau mengendarai kendaraan bersama beliau.’

Kemudian Asma’ berkata: ‘Sampai akhirnya Abu Bakar mengirim pembantu setelah itu, sehingga aku merasa cukup untuk mengurusi kuda, seakan-akan dia telah membebaskanku.'”
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam an-Nikah pada bab ‘Cemburu’ juz VI, hal. 156; dan Muslim dalam as-Salam pada bab ‘Diperbolehkannya Memboncengkan Wanita yang Bukan Mahram Apabila Dia Kelelahan Di Jalan’ no. 2182

Aku dijuluki Dzatun Nithaqain oleh Rasulullah ﷺ. Yang berarti wanita pemilik dua ikat pinggang.

Pada waktu itu ayahku dan beliau hendak berhijrah ke Madinah. Aku persiapkan perbekalan makan dan minum untuk mereka. Namun aku tidak menemukan tali untuk mengikat perbekalan tersebut. Akhirnya, aku robek saja ikat pinggang yang aku kenakan menjadi dua bagian. Yang satu untuk mengikat makanan, yang satunya lagi untuk mengikat minuman. Lantas Rasulullah ﷺ berdoa untukku, semoga dua ikat pinggangku ini diganti oleh Allah dengan dua ikat pinggang di surga.

Aamiin.

Ayahku dan Rasulullah ﷺ hijrah lebih dulu ke Madinah. Kemudian aku menyusul ikut hijrah pula. Hal ini untuk menyelamatkan agamaku. Pada waktu itu setiap Muslim di Makkah diintimidasi dan diusir dari kediamannya.

Pada saat hijrah ke Madinah, aku dalam keadaan mengandung. Beban berat perjalanan dari Makkah ke Madinah tidak menghalangiku untuk berhijrah. Pada waktu di Quba aku melahirkan. Kaum Muslimin bertakbir bertahlil untuk mengagungkan Rabbnya atas kelahiran bayiku. Bayiku adalah bayi pertama dari kaum Muhajirin.

Aku bawa bayiku kepada Rasulullah ﷺ. Makanan pertama yang masuk ke dalam mulut bayiku adalah air liur Rasulullah. Setelah di tahnik, beliau lalu mendoakan bayiku.

Anakku bernama Abdullah. Abdullah bin Zubair.

Sebagai seorang perempuan, seorang isteri, sekaligus seorang ibu, aku ingin berbuat baik sesuai kadar kemampuanku. Aku dermakan apa yang aku punya untuk masyarakat. Aku asah kecerdasanku setiap hari, karena aku tahu hal itu bermanfaat bagiku.

Abdullah bin Zubair r.a. menuturkan: “Aku tidak pernah melihat dua wanita yang lebih derma melebihi ‘Aisyah bibiku, dan Asma’ ibuku. Hanya saja sifat derma keduanya berbeda.

Kalau bibiku, ia mengumpulkan sedikit demi sedikit hingga terkumpul secukupnya, baru ia bagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan. Sementara ibuku, ia membagikan semuanya, tidak menyimpan sesuatu pun untuk esok hari.”

Aku dikaruniai umur yang panjang, hingga aku menyaksikan anakku dipercaya oleh masyarakat untuk mengemban amanah sebagai seorang khalifah.

Anakku, Abdullah bin Zubair, dibaiat sebagai khalifah sepeninggalnya Yazid bin Mu’awiyah. Anakku bertanggungjawab terhadap Hijaz, Mesir, Irak, Khurasan, hingga sebagian besar wilayah Syam.

Namun tidak lama setelah pembaitan ini, Bani Umaiyah mengirim pasukan besar untuk memerangi Abdullah bin Zubair. Pasukan besar tersebut dikomandoi oleh Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.

Perang pecah. Abdullah bin Zubair dengan keberanian luar biasa ikut berperang di dalamnya.

Namun, sangat disayangkan. Para pembela Abdullah bin Zubair sedikit demi sedikit berpencar, loncat ke politik lawan. Akhirnya Ibnu Zubair berlindung di Baitul Haram. Di tempat suci ini, bersama sejumlah pasukannya, ia berlindung di balik Ka’bah Agung.

Sebagai ibu, aku adalah motivator bagi anakku dalam hal kebenaran.

Ketika Hajjaj mengepung Makkah, Abdullah meminta saran kepadaku.

“Duhai ibu, orang-orang kini meninggalkanku dan menjauhiku karena takut kepada Hajjaj, atau berambisi untuk mendapatkan sesuatu yang ia miliki, bahkan anak-anakku dan keluargaku pun meninggalkanku, dan hanya segelintir prajuritku yang setia menyertaiku. Meski mereka ini sabar seperti apapun, pastinya hanya dapat bertahan sesaat saja. Duhai ibu, utusan Bani Umaiyah menawarkan untuk memberikan harta benda duniawi apapun yang aku mau, dengan syarat aku mau meletakkan senjata, dan membaiat Abdul Malik bin Marwan. Bagaimana menurut ibu?”

“Duhai anakku, engkau lebih mengetahui terhadap dirimu. Jika kamu mengetahui bahwa engkau di atas kebenaran, maka kerjakanlah. Sungguh telah terbunuh sahabat-sahabatmu karenanya, sedangkan tidak mungkin engkau dipermainkan oleh anak-anak Bani Umaiyah. Jika engkai hanya menginginkan dunia, maka seburuk-buruk hamba adalah engkau, dan berarti kamu telah membinasakan dirimu sendiri, dan telah membinasakan orang-orang yang berperang bersamamu.”

“Demi Allah, ini adalah pendapat yang bagus wahai ibuku, akan tetapi aku takut jika penduduk Syam membunuhku dan mencincang tubuhku lalu menyalibku.”

“Duhai anakku, sesungguhnya kambing tidak lagi merasakan sakit dipotong-potong tubuhnya untuk disembelih. Maka berangkatlah dengan bashirahmu dan mintalah pertolongan kepada Allah SWT.”

Abdullah bin Zubair berangkat berperang tanpa mengenakan baju besi. Ibnu Zubair pun terbunuh.

Aku telah mendengar bahwa anakku telah terbunuh oleh Hajjaj. Hajjaj dengan sombongnya menemuiku.

“Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah aku perbuat terhadap anakmu wahai Asma’?”

Asma’ menjawab dengan tenang, “Engkau telah merusak dunianya, namun dia (Abdullah bin Zubair) telah merusak akhiratmu.”
(Dalam Ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/254, dalam Al-Mustadrak IV/64, dalam Siyaru A’lam An-Nubala’ Adz-Dzahabi II/293, dan dalam Tarikh Islam oleh Imam Adz-Dzahabi III/136)

~

Tak lama setelah Abdullah bin Zubair r.a. terbunuh, Asma’ binti Abu Bakar r.a. meninggal. Usia Asma’ r.a. adalah 100 tahun. Giginya tidak ada yang tanggal satu pun, dan kecerdasannya tak berkurang. Adapun terbunuhnya Abdullah bin Zubair pada tanggal 17 Jumadil ‘ula tahun 73 Hijriyah.

~

Demikian apa yang dapat saya bagikan mengenai pemilik dua ikat pinggang di Surga.

Asma’ binti Abu Bakar r.a. Isi cerita saya ambil dari buku Para Shahabiyah dengan penulisan ulang, dengan sudut pandang orang pertama.

Semoga kisah ini dapat terambil teladan dan inspirasi, tidak hanya bagi para Muslimah saja, namun bagi kita semua.

29 Juni 2014 | menuju berbuka

*gambar dari sini.

CADEL TAPI AHLI SURGA

20140605-173032-63032625.jpg

TAHUKAH KAMU?

Siapakah wanita muslimah yang cadel suaranya, namun ahli surga?

Dialah Ummu Aiman r.a.. Dia lah ‘ibu’ setelah ibunya Rasulullah ﷺ. Karena beliau lah yang mengasuh Rasulullah ﷺ hingga dewasa.

Ummu Aiman r.a. adalah seorang wanita yang cadel suaranya. Suatu ketika pada perang Hunain, Ummu Aiman ingin menyeru kepada kaum muslimin dengan berkata, “Tsabatallahu aqdamakum.” (Semoga Allah mengistirahatkan kaki kalian). Padahal yang ingin beliau maksud adalah Tsabbatallahu aqdamakum (Semoga Allah mengokohkan kaki kalian). (1)

Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Diamlah yaa Ummu Aiman, fa innaki ‘usaraa-ul-litsaani. Karena engkau adalah seorang yang cadel suaranya.” (2)

Pada waktu lain, Ummu Aiman r.a. masuk ke dalam rumah Nabi ﷺ dan mengucapkan salam, “Salamun laa ‘alaikum.” (Keselamatan bukan atas kalian), padahal yang dimaksud Ummu Aiman adalah Assalamu’alaikum (Keselamatan atas kalian). Namun demikian Rasulullah ﷺ memberikan rukhshah atau keringanan kepada Ummu Aiman untuk mengucapkan salam dengan Salamun laa ‘alikum atau Salamun laa ‘alaikum.

Nabi ﷺ memuliakan Ummu Aiman, beliau sering mengunjungi Ummu Aiman dan memanggilnya dengan kalimat “Wahai ibu…”.

Nabi ﷺ bersabda: “Beliau (Ummu Aiman) adalah termasuk ahli baitku.” beliau juga bersabda: “Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku.” (3)

Aiman adalah nama dari putera Ummu Aiman ketika dinikahi oleh Ubaidullah bin Haris al-Khazraji. Nama asli Ummu Aiman adalah Barakah binti Tsa’labah bin Amru bin Hishan bin Malik bin Salmah bin Amru bin Nu’man al-Habsyiyah.

Ketika Rasulullah ﷺ mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah, Ummu Aiman r.a. termasuk diantara wanita yang ikut hijrah pada angkatan pertama. Puteranya Aiman juga ikut hijrah. Hingga ia syahid pada saat perang Hunain.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barangsiapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah menikahi Ummu Aiman.” (4)

Akhirnya Zaid bin Haritsah menikahi Ummu Aiman pada malam ketika Zaid diutus oleh Nabi ﷺ. Dengan Zaid, Ummu Aiman melahirkan Usamah bin Zaid, buah hati Rasulullah ﷺ.

Rasulullah ﷺ sangat bersikap lemah lembut kepada Ummu Aiman dan terkadang mengajak Ummu Aiman bercanda, karena Ummu Aiman seperti ibunya sendiri.

Telah diriwayatkan bahwa suatu ketika Ummu Aiman berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah bawalah (ajaklah) aku.” Maka Nabi ﷺ berkata: “Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ummu Aiman berkata: “Anak unta tidak akan mampu membawaku, lagi pula aku tidak menyukainya.” Nabi ﷺ bersabda: “Aku tidak akan membawu kecuali dengan anak unta.” Rasulullah ﷺ tersenyum kepada Ummu Aiman. Beginilah candaan Rasulullah ﷺ, meski bercanda tak pernah sekalipun Rasulullah ﷺ menggunakan kalimat bohong. Kita tahu bahwa setiap unta, seluruhnya adalah anak unta. (5)

Ummu Aiman r.a. dikaruniai umur yang panjang.

Ketika Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar r.a. berkata kepada ‘Umar r.a., “Pergilah bersama kami untuk menemui Ummu Aiman, kita akan mengunjunginya sebagaimana Rasulullah ﷺ telah mengunjunginya.” Tatkala mereka sampai di rumah Ummu Aiman, ternyata Ummu Aiman sedang menangis, keduanya berkata, “Apa yang membuat anda menangis? Bukankah apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?”

Ummu Aiman menjawab, “Bukankah aku menangis karena tidak tahu bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya, hanya saja aku menangis karena telah terputusnya wahyu dari langit.” hal itu membuat Abu Bakar dan ‘Umar menangis, sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman. (6)

Ummu Aiman menjadi saksi perkembangan Islam dari sejak Rasulullah ﷺ hingga kekhalifahan Utsman bin Affan r.a.

Pada saat terbunuhnya ‘Umar bin al-Khaththab r.a., Ummu Aiman menangis sambil berkata: “Pada hari ini Islam menjadi lemah.” (7)

Ummu Aiman wafat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Tepatnya dua puluh hari setelah terbunuhnya ‘Umar bin al-Khaththab r.a.

Semoga Allah SWT merahmati Ummu Aiman. Pengasuh Rasulullah ﷺ, yang memiliki kekhasan dalam bersuara. Meski cadel saat berbicara, keinginan beliau amat kuat untuk menyeru kebaikan.

Bagaimana dengan kita saat ini? Terlebih yang memiliki kemampuan dalam berbicara. Sudahkah mensyukurinya?

Ketika orang-orang dengan kemampuan berbicaranya ramai memprovokasi, melakukan kesia-siaan, serta pandai menghasut kepada keburukan dan pertikaian. Generasi Qur’ani lebih memilih untuk menggunakan lisannya menyeru kepada kebaikan dan kebenaran, mengingatkan saudaranya yang salah tanpa perlu menghakimi dan menggurui. Lisannya adalah laksana oase di padang pasir yang penuh ghibah dan fitnah. Bicaranya adalah inspirasi bagi siapapun yang mendengarnya.

Berusahalah untuk mengurangi kesia-siaan dalam berbicara, lebih baik diam. Dan pilihlah untuk berbicara, kalau itu lebih mendekatkan kepada ridha Allah SWT.

Demikian apa yang dapat saya bagikan. Semoga bermanfaat.

Salam,

Yang Mengutip Ilmu.

~
(1) QS. Al-Baqarah: 250, …mereka pun berkata, “Rabbana afrigh’alainaa sabran, wa tsabbat aqdaamanaa, wan(g)tsurnaa ‘alal qaumil kafirin. (Ya Rabb, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir).”,

(2) Lihat Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibnu Sa’ad VIII/224-225,

(3) Diriwayatkan oleh Al-Hakim IV/63 dan Al-Asqalani dalam Al-Ishabah VIII/213 serta Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqatul Kubra VIII/223,

(4) Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad VIII/224 dari jalan Abdullah bin Musa dari Fadhl bin Marzuq, rijalnya tsiqah akan tetapi munqathi’. Lihat Al-Ishabah VIII/213,

(5) Lihat Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibnu Sa’ad VIII/224,

(6) Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Fadha’ilush Shahabah, no. 2454 dan Ibnu Majah dalam Al-Jana’iz, no. 1635, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah II/8, Ath-Thabaqat VIII/22, semuanya dari jalan Sulaiman bin Mughirah bin Tsabit dari Anas berkata …. Al-Hadits,

(7) Lihat Ath-Thabaqat VIII/226, sanadnya shahih dan oleh Al-Hafidh dalam Al-Ishabah VIII/214.

*gambar dari sini. | ilmunya dari buku ‘Mereka adalah para shahabiyah’ hal. 209.

Ummu Kultsum binti Ali Bin Abi Thalib: Seorang Ibu Negara dan Bidan Rakyatnya

20140325-204522.jpg

Saya tidak akan melanjutkan anekdot dari foto di atas. Saya hanya ingin membagikan sebuah kisah teladan yang dilakukan oleh isteri dari seorang pemimpin di masa silam.

Perkenalkan, beliau adalah isteri dari Amirul Mukminin dan seorang ibu negara di zaman itu. Beliau adalah Ummu Kultsum binti Ali Bin Abi Thalib.

Yang mengesankan pada diri Ummu Kultsum adalah suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab keluar pada malam hari seperti biasanya untuk mengawasi dan memperhatikan rakyatnya, beliau melewati sebuah desa di Madinah, tiba-tiba beliau mendengar suara rintihan seorang wanita yang bersumber dari dalam sebuah gubug, di depan pintu gubug tersebut duduklah seorang laki-laki. Lalu Umar mengucapkan salam kepadanya dan bertanya tentang apa yang terjadi. Laki-laki tersebut berkata bahwa dia adalah seorang badui yang ingin mendapatkan kemurahan dari Amirul Mukminin. Umar bertanya tentang wanita di dalam gubug yang beliau dengar suara rintihannya. Laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah Amirul Mukminin, maka dia menjawab, “Pergilah! Semoga Allah merahmati Anda sehingga mendapat apa yang Anda cari, dan janganlah Anda bertanya tentang sesuatu yang tidak ada gunanya bagi Anda.”

Umar kembali mengulang-ulang pertanyaanya agar dia dapat membantu kesulitan laki-laki tersebut jika mungkin. Laki-laki tersebut menjawab, “Dia adalah isteriku yang hendak melahirkan dan tidak ada seorang pun yang dapat membantunya.” Umar lalu bertolak meninggalkan laki-laki tersebut dan kembali ke rumah dengan segera. Beliau masuk menemui isterinya yakni Ummu Kultsum dan berkata, “Apakah kamu ingin mendapatkan pahala yang akan Allah limpahkan kepadamu?” Beliau menjawab dengan penuh antusias dan berbahagia dengan kabar gembira tersebut yang mana beliau merasa mendapatkan kehormatan karenanya, “Apa wujud kebaikan dan pahala tersebut wahai Umar?” Maka Umar memberitahukan kejadian yang beliau temui, kemudian Ummu Kultsum segera bangkit dan mengambil peralatan untuk membantu melahirkan dan kebutuhan bagi si bayi, sedangkan Amirul Mukminin membawa kuali yang di dalamnya ada mentega dan makanan. Beliau berangkat bersama isterinya hingga ke gubuk tersebut.

Ummu Kultsum masuk ke dalam gubug dan membantu ibu yang hendak melahirkan dan beliau bekerja dengan semangat seorang bidan. Sementara itu Amirul Mukminin duduk-duduk bersama laki-laki tersebut di luar sambil memasak yang beliau bawa. Tatkala isteri laki-laki tadi melahirkan anaknya, Ummu Kultsum secara sepontan berteriak dari dalam rumah, “Beritakan kabar gembira kepada teman-temanmu wahai Amirul Mukminin, bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya seorang anak laki-laki.” Hal itu membuat laki-laki Badui tersebut terperanjat karena orang di sampingnya yang sedang memasak dan meniup api adalah Amirul Mukminin.

Begitu pula wanita yang melahirkan tersebut terperanjat karena yang menjadi bidan baginya di gubug tersebut ternyata adalah isteri dari Amirul Mukminin.

Demikianlah karakter pemimpin yang berada dalam naungan Islam, yang mana seorang kepala negara dan ibu negara saling bantu-membantu untuk rakyatnya.

*Kisah saya ambil dari buku Mereka Adalah Para Shahabiyah-Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib.