ALHAMDULILLAH, KECELAKAAN

Sore ini (16:35) saya mengalami kecelakaan di jalan. Terguling. Motor (dan teman saya) tersungkur di bawah mobil sedan.

‘Akhirnya. Kecelakaan juga.’ Gumam saya saat lutut dan tangan beradu dengan aspal.

Sedari siang, perasaan akan kecelakaan sudah ada. Bukan karena melihat kondisi motor maupun kesehatan saya, bukan. Tapi karena feeling saja. Tapi feeling saya agak sedikit meleset, ternyata kecelakaannya melibatkan orang lain. Kasihan.

Segerombolan kambing tak berpenggembala melintas di jalan tanpa melihat kanan kiri. Jumlahnya belasan.

Ibu-ibu yang mengendarai motor jatuh tersungkur menghindari kambing, dibelakang melaju sedan kemudian mengerem mendadak. Dibelakang lagi, ada saya dan teman saya.

Motor tak mampu berhenti.

Akhirnya kami berdua jatuh tersungkur, motor berhenti tepat di bawah sedan. Segerombolan kambing berlari berhamburan tak peduli.

Dari pintu belakang, seorang gadis berjilbab keluar dari mobil. Dengan sigap membantu teman saya berdiri. Bukan saya. Saya terguling ke depan, bangkit sendiri. Mengenaskan. Hha~

Tak lama keluarga si gadis keluar.

Ayah, Ibu, kakak, dan adiknya. Saya menerka seperti itu.

Ayahnya baik.

Meski bukan salah mereka, tetapi mereka mau membantu.

“Bawa ke rumah sakit ya,” Saran ibu si gadis.

“Pa, di mobil ada kotak P3K nggak?”  Si gadis mencoba ikut memberi bantuan.

Ayahnya menggeleng. Tidak ada kotak P3K di mobil. Kemudian ayahnya pergi ke warung mencari alkohol dan obat merah. Lalu meminjam motor warga untuk pergi ke apotek membeli kasa.

Saya duduk. Senyum. Seolah tidak terjadi apa-apa dan tidak kenapa-napa. Menahan perih sambil berharap keluarga yang baik hati ini segera meninggalkan kami. Dan kerumunan masyarakat yang membantu kami, segera kembali ke aktivitasnya masing-masing.

Tapi sampai akhir, keluarga dan masyarakat masih memberikan bantuan ke kami.

Fitrah manusia.

Menolong siapapun orang yang dipandangnya lemah, bahkan ketika orang yang dipandang tersebut, amat sungkan meminta bantuan.

Sebenarnya ada banyak pilihan bagi keluarga tadi untuk meninggalkam kami. Tetapi mereka lebih memilih untuk memastikan kami masih dalam kondisi baik. Masyarakat sekitar pun memiliki banyak pilihan ketika kami mengalami kecelakaan, tetapi mereka lebih memilih untuk berhenti dan ikut menolong kami. Meskipun hanya sekedar bertanya “Kalian tidak apa-apa?”


Salam,

30 Agustus 2015.

*sebaiknya di dalam mobil selalu dipastikan ada kotak P3Knya ya.

RASULULLAH ﷺ “TIDAK TAHU” TENTANG DIRI SESEORANG

Kerendah-hatian dan kesopanan Rasulullah ﷺ ditunjukkan saat berinteraksi dengan Allah terkait dengan umatnya. “Maadzaa ujibtum?” Apa yang dijawab oleh kaummu atas seruanmu? Begitu kira-kira Allah menanyai para Rasul-Nya—termasuk Muhammad ﷺ—atas seruan keimanan dan perintah dari Allah kepada para manusia.

“Laa’ilma lanaa, innaka anta ‘allaamul ghuyuub.” Tidak ada pengetahuan bagi kami terkait dengan itu ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara ghaib.

Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Allah saat di akhirat nanti [qs. 7:6].

Para Rasul mengaku bahwa mereka tidak memiliki ilmu sama sekali jika dibandingkan dengan ilmunya Allah yang meliputi segalanya. Meskipun para Rasul “tahu” sesiapa yang mengikuti mereka sewaktu di dunia. Namun para Rasul hanya mampu melihat lahiriahnya saja dan tidak mengetahui bathinnya. Sedangkan Allah mengetahui dan mengawai segalanya. Anta ‘allaamul ghuyuub, “Engkaulah yang mengetahui perkara ghaib.”

***

Mari kita renungi [qs. 5:109] betapa kita—dibanding Allah dan para Rasul Nya—tidak memiliki pengetahuan apa-apa terkait pribadi orang lain, bahkan kepada diri sendiri pun kita sering tidak mampu menghitung-hitung. Maka bagi saya, sangat mengherankan betapa mudahnya kita menilai-nilai orang dengan apa yang mereka kenakan, dengan apa yang mereka ucapkan, dengan apa yang mereka lakukan. Padahal kesemuanya itu baru lahiriahnya saja. Benar adanya, bahwa pemberi rapor sejati bukan manusia melainkan Allah SWT, yang mengetahui dan mengawasi siapa diri kita sebenarnya.

Salam,

01 Agustus 2015

*diilmui dari Tafsir Ibnu Katsir juz 3 dalam qs. 5:109.

KE PASAR PAGI JAKARTA

Akhir pekan ini kemana?

Ke pasar pagi Jakarta.

Hari ini saya pergi ke pasar pagi Jakarta di kawasan Asemka, berdekatan dengan stasiun Jakarta Kota. Berderet-deret sepanjang kolong flyover di belakang museum bank mandiri letaknya.

Kawasan ini dikenal sebagai pusat mainan anak-anak dengan harga yang murah. Ada yang menjual lusinan sampai eceran. Lapak dan toko saling berhadap-hadapan sepanjang flyover. Sehingga kita mudah untuk membandingkan harga.

IMG_3520.JPG

IMG_3519.JPG

IMG_3521.JPG

IMG_3522.JPG

Tujuan saya ke pasar pagi adalah membeli RC (Remote Control) untuk keponakan. Sudah niatan membelikannya hadiah. Namun tipe yang saya cari tidak ada, yaitu replika mobil Hummer Bigfoot. Tapi karena sudah kepalang tanggung di sini, akhirnya saya membeli tipe Jeep berwarna merah lengkap dengan lampu sorot depan.

Harga yang ditawarkan beragam. Toko sebelah menawarkan Rp. 210 ribu, toko yang lain Rp. 190 ribu, sampai menemukan yang harganya Rp. 165 ribu. Jadi belanja di sini jangan terpaku oleh satu toko atau besar kecilnya toko, bahkan lapak yang kecil pun bisa memberikan harga yang jauh lebih murah dengan kwalitas yang sama.

Selain menyediakan mainan anak, di sini kita bisa membeli barang grosiran lainnya, seperti perlengkapan pesta, petasan, hingga souvenir pernikahan. Jika lapar di sini berjejer-jejer makanan. Komplit.

Jika hendak sholat, ada musholla di tengah flyover, dekat sungai yang saya tidak tahu namanya. Jika ingin sholat Jumat, ada sebuah masjid sederhana di belakang gedung Asemka.

IMG_3524.JPG

Ke tempat Fe.

Fe hari ini tidak libur, meski tanggal merah, meski sedang may day!

Setiap hari Fe bekerja. Senin-Minggu. Katanya dia bekerja tidak sekedar bekerja, baginya bekerja adalah ibadah, makanya dia ikhlas setiap hari bekerja. Salut deh.

Karena hari ini Fe bekerja, saya menunggu Fe balik kerja dulu tiga jam di bawah jembatan penyeberangan.

IMG_3523.JPG

‘Rezeki bekerja’ itu tidak hanya gaji semata. Bisa libur di tanggal merah, di hari sabtu, atau bisa berkumpul dengan keluarga pun adalah bentuk rezeki. Maka syukurilah.

Tapi bagi yang setiap hari bekerja, tetap bersyukur—karena masih bisa bekerja, atau masih ada hal-hal lain yang membuat kita bersyukur.

Karena tidak ada sabar selain bersyukur.

Salam,

01 Mei 2015

AS-SAWAD AL A’ZHAM (KELOMPOK BESAR); JAMA’AH; DAN DEMOKRASI

Di era demokrasi ini sudah barang tentu yang paling banyak dan paling besar adalah yang menang. Tidak hanya di dunia politik, bahkan hampir di seluruh sendi kehidupan.

Tiap-tiap mereka yang asing, menyendiri, kecil, tidak populer, dan berbeda dari yang kebanyakan, selalu ditafsirkan negatif, nyleneh, sesat, dan tidak mungkin akan menang.

Hal ini sangat besar kemungkinan disalah gunakan.

Senjata paling kekar saat ini adalah media. Siapapun yang dapat menggiring opini masyarakat, ummat, jama’ah, dialah yang akan menang—konsekuensi dari demokrasi yang tidak jelas.

Apa Yang Dimaksud Dengan Jama’ah

“Aku pernah menemani Mu’adz di Yaman.” demikian Amr bin Maimun Al-Audi berkata di dalam Bab Rahasia Hati Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. “Aku lalu berpisah dengannya ketika ia meninggal dunia dan dikubur di Syam. Sesudah Mu’adz meninggal, aku menemani manusia yang paling ahli fikih, yaitu Abdullah bin Mas’ud r.a. Aku mendengar ia berkata, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh kepada jama’ah, karena tangan Allah berada di atas jama’ah.’ Pada hari yang lain, aku mendengar Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, ‘Suatu saat nanti akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin yang menunda shalat dari waktunya, maka shalatlah tepat pada waktunya, karena shalat adalah kewajiban, kemudian shalatlah bersama mereka, karena ia ibadah sunnah bagi kalian.'”

Amr bin Maimun Al-Audi melanjutkan, “Aku kemudian berkata, ‘Hai sahabat-sahabat Muhammad, aku tidak tahu apa yang kalian katakan kepada kami? Apa maksudnya? Engkau menyuruhku berpegang teguh kepada jama’ah dan menganjurkanku kepadanya, kemudian engkau mengatakan, ‘Shalatlah sendiri, karena shalat adalah kewajiban fardhu, kemudian shalatlah bersama jama’ah, karena ia adalah ibadah sunnah?'”

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Hai Amr bin Maimun, aku pikir engkau manusia yang paling ahli fikih di desa ini. Tahukah engkau yang dimaksud dengan jama’ah?”

Amr bin Maimun menjawab, “Tidak.”

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Sesungguhnya jama’ah adalah sesuatu yang sesuai dengan kebenaran, kendati engkau sendirian di dalamnya.”

Nu’aim bin Hammad berkata, “Maksudnya, jika jama’ah telah rusak, maka engkau hendaknya berpegang teguh kepada sesuatu yang ada pada jama’ah sebelum jama’ah itu rusak, kendati engkau sendirian di dalamnya, karena sesungguhnya ketika itu engkau adalah jama’ah.”

Abu Syamah dan Mubarak dan Hasan Basri berkata, “Sunnah, dan Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, berada di antara orang yang berlebih-lebihan dengan orang yang keras, maka bersabarlah terhadap Sunnah. Mudah-mudahan kalian dirahmati oleh Allah. Sesungguhnya pengikut Sunnah jumlahnya sedikit pada zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Mereka tidak ikut-ikutan dengan orang-orang mewah dalam kemewahan mereka dan orang-orang ahli bid’ah dalam bid’ah mereka. Mereka bersabar terhadap Sunnah mereka hingga mereka berjumpa dengan Allah. Kalian hendaknya seperti itu.”

Muhammad bin Aslam At-Tusi adalah seorang imam yang diakui keimamannya. Kedudukannya tinggi, dan merupakan manusia yang paling konsekuen dengan Sunnah pada zamannya. Ia berkata, “Tidaklah aku mendapatkan Sunnah Rasulullah ﷺ melainkan aku segera mengamalkannya. Sungguh, aku terbiasa thawaf di Baitullah di atas kendaraan. Ketika aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba salah seorang dan orang berilmu pada zamannya ditanya tentang maksud as-sawad al a’zham (kelompok besar) yang disebutkan di dalam hadits, ‘Jika manusia berbeda pendapat, maka kaliam berpegang teguh kepada as-sawad al a’zham (kelompok besar).’ Orang berilmu tersebut lalu menjawab, ‘Muhammad bin Aslam At-Tusi as-sawad al a’zham (kelompok besar).'”

~

Yang perlu saya garis bawahi di sini bahwa yang disebut jama’ah; ummat; bahkan demokrasi adalah segala sesuatu yang bersesuaian dengan kebenaran—yang tidak berdimensi kepada kebenaran orang banyak ataukah kebenaran beberapa orang.

Di sinilah tugas kita untuk menjaga mripat kita agar mampu melihat sejatinya kebenaran.

Salam,

08 Maret 2015

TAURIYAH: ANTARA DUA MAKNA

Suatu hari saya menulis pertanyaan kepada pak Menag melalui akun sosial media pak Menag. Adanya akun sosial—yang diadminkan oleh pribadi—membuat banyak keuntungan, salah satunya rakyat seperti saya ‘merasa’ dekat dengan pemimpinnya—meskipun kita tidak pernah tahu ditanggapi serius atau tidak.

Nah, ternyata tidak mudah untuk menggiring seseorang untuk dibawa ke makna yang tidak sebenarnya.

Di dalam ilmu seni mengungkapkan suatu gagasan dengan kalam (mutakallim) dikenal dengan istilah tauriyah, yaitu seseorang ingin mengungkapkan makna yang jauh, namun orang lain menafsirkannya dengan makna yang dekat.

Delapan tahun silam ketika pak Abdurrahman Wahid (Gusdur) masih hidup, beliau pernah mengungkapkan gagasan yang membuat banyak orang mengkritik beliau, bahkan sampai ada yang melaporkan beliau karena penistaan agama, beritanya ada di sini. Beliau mengungkapkan bahwa Al-Qur’an itu kitab suci yang paling porno.

Tauriyah dalam ilmu badie’ bermakna ganda. Dalam mutakallim yang dimaksud justru makna yang jauh, tapi kebanyakan yang ditafsirkan adalah makna yang dekat. Menurut Muhammad Ainun Nadjib, al-Qur’an memang kitab suci yang porno. Lho kok bisa? banyak orang yang menafsirkan makna yang dekat. Porno itu sendiri dimaknai rendahan hanya seputar orang yang telanjang atau hal-hal yang berhubungan dengan kelamin. Padahal porno dalam makna yang luas adalah tidak tertutupnya aurat diri seseorang. Aurat manusia memang wajib ditutupi, namun al-Qur’an tidak bersifat menutupi, malah terbuka secara blak-blak-an, tidak ada yang disembunyikan di al-Qur’an. Apapun yang Allah firmankan, tidak pernah satu kata pun Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ menyembunyikan dan menutupinya dari kita. Nah, dalam konteks tauriyah, al-Qur’an kitab suci yang paling porno bukan kok porno yang telanjang, namun porno karena tidak ada satu pun yang disembunyikan atau ditutup-tutupi di dalam al-Qur’an, beda halnya dengan kitab suci yang lain seperti injil misalnya—banyak hal yang telah disembunyikan dan ditutup-tutupi.

Selain itu, tauriyah seringkali digunakan oleh gerakan Samin di awal abad ke-19. Hal tersebut disinyalir untuk menghindari interogasi dari pihak penjajah Belanda. Apapun yang dikatakan oleh Samin Surosentiko di tahun 1907 memiliki makna ganda. Mereka menjawab namun sebenarnya ‘tidak menjawab’. Apa yang dikatakan bukan makna yang dekat melainkan makna yang jauh yang memerlukan tafsiran diluar kalimat itu sendiri.

Hal tersebut berkembang hingga saat ini, ketika kita bertemu dengan orang Samin, lalu bertanya mengenai tempat tinggal misalnya, mereka tidak akan menjawab sebagaimana kita menjawab. ‘Dimana anda tinggal?’ mereka tidak akan menjawab Blora, sebagaimana kalau kita ditanyai tempat tinggal. ‘Badan inilah rumah saya dimana saya tinggal.’ kalau kita membaca jawaban ini, maknanya amat jauh dari sekedar tempat tinggal. Ketika ditanya tempat tinggal, sebenarnya ruhnya lah yang menjawab, ‘Saya tinggal di badan ini. Kalau pondoknya (tempat tinggal atau rumah dalam makna kita) ada di dusun Plosowetan.’

Bayi udo nangis nger, niku suksma ketemu rogo. Dadi mulane wong niku mboten mati. Nek ninggal sandangan niku nggih kedah sabar lan trokal sing diarah turun-temurun. Dadi ora mati nanging kumpil sing urip. Apik wong selawase, sepisan dadi wong selawase dadi wong—Bayi lahir telanjang dengan menangis, dikarenakan saat itu ruh bertemu dengan raga. Oleh sebab itu, seseorang tidak mati. Ia hanya berganti pakaian. Harus sabar dan tawakal yang telah dituju turun-temurun. Jadi tidak mati, hanyasaja kembali bersatu dengan yang hidup. Kebaikan orang itu selamanya, sekali menjadi orang selamanya akan menjadi orang.

Dalam tatanan tauriyah orang sikep, kata wong inilah yang kemudian melahirkan kata aku atau saya yang menjadi subyek keberadaan. Wong tidak menunjukkan gender, karena wong bukan lelaki maupun perempuan. Dalam perwujudannya, wong diberi jeneng (nama) lanang (lelaki) dan wedok (perempuan). Di sisi lain kata jeneng merujuk pengertian fisik, terkadang merujuk ke makna sifat atau fungsi. Jeneng dan aran di dalam makna kita (secara denotatif) sama, namun ketika dipakai secara konotatif bisa berbeda makna. Sebagai ilustrasi, di jawa ada istilah ‘Kabotan jeneng’ (tidak kuat menyandang nama, namanya terlalu tinggi atau terlalu priyayi, doanya ketinggian), atau ada istilah lagi ‘Milih jenang opo jeneng?’ (memilih kekayaan atau nama baik?). Oleh karena itu jika orang Sikep ditanya jeneng mereka akan menjawab laki-laki atau perempuan. Ketika ditanya pangaran atau aran barulah mereka menjawab nama (seperti makna kita pada umumnya). ‘Pangaran kulo Budi Gunawan’ atau ‘Aran kulo Badrudin Haiti.’

Seru kan ya seni tauriyah ini?

Nah, di dalam pertanyaan saya kepada pak Menag mengenai dana talangan pembelian mahar, banyak orang yang memaknai dengan artian dekat yaitu mahar itu sendiri, padahal saya hendak menyindir mengenai dana talangan (bailout) yang diberikan Angkasa Pura sebagai perusahaan milik rakyat kepada Lion Air. Kalau Angkasa Pura bisa, kenapa KUA tidak?

Beruntung, pak Menag tahu maksud saya, sehingga menjawab, ‘Duuuh..*speechless*’. Tapi banyak yang mengomentari miring mengenai mahar itu sendiri. Padahal tidak diterangkan pun, sebaik-baik wanita adalah maharnya yang murah. Sekedar membaca al-Qur’an misalnya.

Semoga tulisan ini dapat menjadikan kita arif menanggapi sesuatu. Ingat tauriyah dalam dunia pesantren, di ilmu badie’ adalah lafal bermakna ganda, di ilmu mutakallim bermakna jauh, namun seringkali dimaknai orang lain dekat.

“Ajarkanlah anak-anakmu dengan sastra.” kata seorang khalifah.

IMG_2822.JPG

Tauriyah ala Nabi Ibrahim a.s. adalah ketika ditanyai oleh penguasa lalim mengenai isterinya, “Dia isterimu?” ‘Dia saudaraku.’ yang dimaksud saudara seanak Adam.

Salam,

25 Februari 2015

LION AIR, ANTARA NALAR DAN KEPENTINGAN

IMG_2788.JPG

Tulisan di bawah ini hanya sekedar komentar atau pandangan saya yang bersifat subjektif sebagai bacaan ringan yang saya sediakan di blog ini —yang tidak akan berpengaruh bagi siapapun, terlebih-lebih bagi pemerintah.

Angkasa Pura, BUMN atau Apa?

Hal ini bermula dari kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno ke Amerika Serikat untuk bertemu dengan Presiden John F. Kennedy. Setibanya di tanah air, Presiden Soekarno menegaskan keinginannya kepada Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum agar lapangan terbang di Indonesia dapat setara dengan lapangan terbang di negara maju. Pada tanggal 15 November 1962 terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1962 tentang pendirian Perusahaan Negara (PN) Angkasa Pura Kemayoran. Seiring berjalannya waktu—untuk memudahkan pembagian wilayah—Perum Angkasa Pura diubah menjadi Perum Angkasa Pura Satu dan Perum Angkasa Pura Dua, kemudian berubah lagi menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang mana seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.

Angkasa Pura merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang usaha pelayanan jasa kebandarudaraan—silakan lihat di portal Angkasa Pura siapa tahu sudah diganti menjadi perusahaan milik pribadi.

Saya ingin bertanya, kenapa pemerintah repot-repot membentuk BUMN? Atau begini, kenapa kok ada Pemerintah? Ada tidak kaitannya dengan kepentingan warga atau rakyat di dalamnya? Atau jangan-jangan setiap orang yang masuk ke dalam atmosfer kepemerintahan menganggap segala sesuatu yang dititipkan dari rakyat kepada mereka sebagai suatu kepemilikan yang bersifat pribadi? Sehingga dapat diatur-atur atau bahkan dijual. Okelah, silakan diatur-atur atau dijual asal hal tersebut didasarkan untuk kepentingan warga, bukan kepentingan di luar itu.

“Lho? keputusan AP 2 bukannya untuk kepentingan rakyat juga?” Sebentar, kita samakan pandangan dulu, yang bikin delay itu Angkasa Pura atau Lion Air?

“Lion air tidak punya uang untuk refund. Jika dibiarkan berlarut, warga akan merusak fasilitas Angkasa Pura.”

Seperti yang dilansir di portal angkasa pura dua, refund diberikan oleh mereka berdasarkan peraturan dan kebijakan—meskipun tidak jelas peraturan yang mana, benar atau tidak, seperti Lapindo, tapi jelasan Lapindo sih, dana talangan disahkan di APBN. Terdengar heroik memang—tapi ngawur, seperti kepahlawanan bapak Ignatius Jonan yang ‘mendamprat’ Air Asia atau ketika mengusir pedagang-pedagang kecil yang disalah simbolkan sebagai ketidakteraturan.

Begini, Angkasa Pura itu BUMN, BUMN itu milik pemerintah, pemerintah milik rakyat. Angkasa Pura memberikan pinjaman refund, padahal keuntungan Angkasa Pura adalah duitnya rakyat, yang di’tolong’ adalah rakyat, mbulet dari rakyat untuk rakyat. Lalu kemana duitnya Lion Air? Kemana ‘dampratan’ heroik pak menteri? Pada saat pak menteri memberikan sanksi kepada Air Asia, saya salah seorang yang mengangguk-angguk setuju, karena transportasi udara adalah transportasi yang berteknologi tinggi dengan safety zero accident. Kecelakan suatu penerbangan tidak terjadi karena satu hal, pasti karena banyak rentetan. Salah satunya adalah ketegasan dan kedisiplinan dalam penegakan regulasi. Semakin tinggi resiko semakin ketat pula aturan—hukum alam. Namun ketika harga murah digunakan sebagai kambing hitam atas penegakan regulasi, saya geleng-geleng tidak setuju. Sama halnya ketika pak menteri mengijinkan Angkasa Pura menalangi refund Lion Air.

Secara umum, pembeda antara BUMN dengan perusahaan swasta adalah ideologinya, ia adalah ayah yang bekerja untuk keluarganya. Asal keluarganya bahagia, tidak kelaparan, tercukupi keperluannya, tidak menjadi soal sang ayah banting tulang, mandi keringat, luka-luka tubuhnya. Begitulah BUMN, keberadaannya harus membuat rakyat untung dan bahagia, bukan sebaliknya. BUMN tidak harus mendapatkan laba, karena bukan tujuan utamanya. BUMN jangan disalahkan jika memberikan subsidi ke rakyat (apalagi dicabut) karena tujuan utamanya adalah membahagiakan rakyat. Keberadaan BUMN adalah mutlak wajib ada, agar perusahaan swasta tidak memonopoli perekonomian negerinya, karena jika ini terjadi, akan menyakiti rakyat yang dicintainya. BUMN pasti tidak tega rakyatnya meronta-ronta.

Pilih ‘Singa’ atau Merpati?

Seperti halnya Garuda Indonesia, perusahaan penerbangan nasional Merpati Nusantara Airlines lahir dari rahim ibu pertiwi, anak kandung rakyat Indonesia. Ia lahir berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 1962. Enam pesawat hasil hibahan TNI-AU mengawali misi untuk melayani rute penerbangan perintis di seluruh pelosok tanah air. Misinya sangat mulia, yaitu menjadi moda transportasi rakyat dan menjadi agen pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada mulanya (di tahun 1962) rute transportasi domestik tidak banyak dilirik oleh swasta. Kebutuhan akan moda transportasi udara masih sedikit, tidak seperti sekarang, dan itu akan terus berkembang hingga tahun-tahun ke depan. Buktinya bandar udara yang dimiliki oleh Angkasa Pura saat ini hampir keseluruhan tidak siap menampung perkembangan yang begitu melejit tersebut.

Keberadaan Merpati Nusantara Airlines dengan industri pesawat terbang PTDI bak seekor kerbau yang bersahabat dengan burung jalak di sawah milik pak tani. Keberadaannya saling menguntungkan satu sama lain. Pesawat NC-212; CN-235; CN-295 rakitan PTDI digunakan oleh Merpati Airlines untuk digunakan rakyat Indonesia. Ini yang dinamakan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang diregulatori pemerintah.

Melihat ini ibu pertiwi tersenyum simpul, rakyat hatinya senang bukan main. Naik pesawat bersubsidi dengan harga terjangkau bonus snack di dalam pesawat. Rakyat itu salah satunya bernama saya. Saya pernah merasai nikmatnya terbang bersama Merpati, namun hal itu tidak berlangsung lama.

Tuhan benar-benar Maha Asyik, diujilah pemerintah dengan didatangkannya ‘Singa’. Tidak hanya satu atau dua, tetapi seratus. Seratus ‘Singa’ menyalahi kodratnya, terbang membanting sang Merpati. Ibu pertiwi menitikkan air mata. Pemerintah—sang suami—yang dulu dipercayai dalam ikatan suci kini menyelingkuhi, menelantarkan keluarganya. Sang ‘Singa’ berhasil mencuri hati.

Tahun 2014, tepatnya sejak Februari, Merpati Airlines sudah tidak terbang lagi, bahkan para pilot dan pegawainya tidak menerima gaji. Pemerintah benar-benar menelantarkan anak kandungnya sendiri.

Pinjaman refund? Bah! Alih-alih anda berpikir nalar, malah mengingatkan “Garuda Indonesia juga memiliki hutang kepada Angkasa Pura, apa salahnya Lion Air dipinjami?”

Sesumbar dengan itu, Lion Air meng-klaim bahwa mereka mampu mengalahkan Garuda Indonesia di dalam industri penerbangan nasional. Inilah kali pertama dalam sejarah berdirinya republik ini maskapai Garuda ‘dikalahkan’ oleh maskapai penerbangan swasta, baik dalam kepemilikan jumlah pesawat terbang maupun jumlah rute penerbangan. Garuda Indonesia yang meraih berbagai penghargaan internasional dengan usia beda tipis dengan usia pemerintahan RI, dikalahkan oleh maskapai yang baru lahir kemarin sore.

Dan sekarang kita jumpai, Lion Air benar-benar mampu mengatur pemerintah sebagai regulator. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan tersebut kita tidak akan pernah tahu. Sama seperti ketidaktahuan saya kepada pak menteri kenapa bersikap seperti itu, sama seperti ketidaktahuan saya kepada teman-teman saya yang lebih menyukai belanja premium di shell bukan di pertamina, sama seperti ketidaktahuan saya kepada orang-orang yang menganggap wajar Angkasa Pura meminjami si ‘Singa’.

Apakah karena Tuhan Maha Asyik?

22 Februari 2015

*untuk menambah wawasan pengetahuan tentang penerbangan di Indonesia silakan baca buku ‘Believe It Or Not’ karya Marsekal (Purn) Chappy Hakim, salah seorang mantan KSAU dan Gubernur Akademi Angkatan Udara. Bagi teman-teman yang bekerja di Angkasa Pura saya sarankan ke pemimpinnya untuk memborong buku ini untuk dijadikan bingkisan di hari ulang tahun Korporasi anda—daripada duitnya dipinjamkan ke Lion Air, emangnya saya dan warga boleh pinjam uang ke Angkasa Pura?

*gambar dari sini.

TUHAN MAHA ASYIK

Kalimat tersebut dipopulerkan oleh Sujiwo Tedjo.

Bagi saya pribadi Tuhan memang Maha Asyik. Asyiknya tidak ada yang menandingi—oleh makhluk yang paling asyik sekalipun.

Apakah ini menghina sifat Tuhan? ‘Hey! Sifat Tuhan hanya ada sembilan puluh sembilan! Tidak lebih tidak kurang!! Jangan ditambah-tambahi, jangan dikurang-kurangi.’

Menghina atau tidak, letaknya bukan kepada siapa, tetapi terletak kepada tafsir masing-masing diri, yang tahu ya diri kita sendiri.

Ketika saya masuk pura, atau sekedar ikut membakar dupa, bukan berarti saya sedang menduakan Tuhan saya sendiri. Kok anda tahu saya sedang menduakan Tuhan? Padahal bagi saya, masuk ke pura itu hanya sedang mengagumi seni arsitekturnya saja, atau sedang menyenangi wewanginya dupa. Jangan terlalu terburu-buru menafsirkan orang.

Tuhan Maha Asyik

Tuhan Maha Asyik saya dapatkan di banyak tempat. Tentunya, karena Tuhan melingkupi alam semesta itu sendiri—saking Maha Besarnya.

Ketika membaca kisah Ummi Maktum yang buta pandangannya misalnya, ia memiliki semangat jihad yang luar biasa namun kesempatan jihad tersebut tidak teraih olehnya sesaat pun, ya karena Ummi Maktum buta.

“Ya Rasulullah! Demi Allah, seandainya aku mampu berjihad, tentu aku akan berjihad!” Ummi Maktum menggelegak semangatnya.

Membaca kisah ini, saya menemukan bahwa Tuhan Maha Asyik. Lihatlah, bagaimana Tuhan tidak Maha Asyik? Ummi Maktum yang buta pandangannya memekikkan semangat yang luar biasa! Tapi apa mau dikata, Rasulullah tidak memberikan ijin berjihad bagi sang tunanetra. Namun di sinilah diperlihatkan bagi kita Tuhan memang Maha Asyik.

Dimana Maha Asyiknya?

Bukalah surah An-Nisaa’ ayat 95, di sanalah saya melihat Tuhan Maha Asyik kepada makhluk-makhluknya.

Ghairu uuli(dz) dzurar—yang tidak mempunyai udzur.

Setelah mendengar firman Allah secara langsung (fresh from the oven) hati Ummi Maktum menjadi lega, senyumnya tersimpul di wajahnya yang teduh.

Ya Tuhan, Engkau benar-benar Maha Asyik! Ketika makhlukmu dengan keterbatasan yang tak dapat disangkal inginkan berjuang, Engkau tak sia-siakan semangatnya tersebut. Engkau benar-benar Maha Asyik! Penuh perhatian!

‘Sesungguhnya di Madinah terdapat kaum yang kalian tidak menempuh perjalanan, dan tidak melintasi suatu lembah. Melainkan mereka bersama kalian.’ Rasulullah menyapu setiap wajah yang kala itu sedang berjihad, bergumul di padang pasir yang sangat memapas kulit. Rasulullah sedang menceritakan orang-orang yang tidak ikut berjihad—menetap di Madinah. Namun secara ruh membersamai mereka yang ikut berjihad.

Karena Tuhan Maha Asyik, diberikannya pahala kepada Ummi Maktum juga, padahal Ummi Maktum tidak ikut berjihad, namun derajat yang diberikannya sama dengan mereka yang ikut berjihad. Merekalah orang-orang yang terhalang udzur. Tuhan di sini bagi saya Maha Asyik, tidak kaku—apalagi tidak asyik.

Rasulullah (meski sebagai Rasul) pernah ditegur oleh Tuhan karena mengabaikan keinginan Ummi Maktum yang ingin belajar. Kisah ini bisa dicari sendiri. Tuhan benar-benar Maha Asyik!

Mentah Atau Matang?

Pun bagi saya al-Qur’an tidak harus melulu dimatangkan, ada beberapa yang (memang) harus ditelan mentah-mentah. Kalau dimatangkan malah menyimpang.

Masih di dalam ayat tersebut misalnya, Laa yastawil qaa’iduuna minal mukminin, Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk, ini ayat bersifat mutlak, mentah, tidak terikat satu kriteria apapun karena menjadi pembeda. Namun ketika sampai ayat selanjutnya ghairu uuli(dz) dzarari,yang tidak mempunyai udzur,menjadilah ayat tersebut kudu dimatangkan. Siapapun yang memiliki udzur; entah buta (seperti Ummi Maktum), pincang, sakit, menjaga isteri (seperti Utsman), disamakan dengan Mujahidin (padahal secara fisik tidak ikut berjihad). Namun begitu mereka sama seperti orang-orang yang sedang ikut berjihad di jalan Allah dengan harta maupun jiwanya. Adakalanya Al-Qur’an harus diterima mentah-mentah; ada kalanya juga harus dimatangkan terlebih dahulu.

Begitulah pemaknaan saya bagaimana Tuhan kok memiliki sifat Maha Asyik—padahal Tuhan memang Maha Asyik. Heuheu.

20 Februari 2015

ZAMAN KALATHIDA DAN ZAMAN KALABENDU (ZAMAN KERAGUAN DAN ZAMAN KERUSAKAN)

Derajat negara makin merosot saja
tatanan dan aturan rusak
karena tiada teladan
etika ditinggalkan
bijak cendikia gagap tergulung arus zaman keraguan
kenyataan hidup mencekam
karena dunia penuh gangguan.

Rajanya raja utama
patihnya patih hebat
para pegawai selalu lurus
pemukanya baik-baik
tapi tak mampu
mengubah daya zaman kerusakan
yang justru makin menjadi
gangguan yang mengacaukan
lain-lain pikiran dan maksud orang senegara.

[Oleh: Ronggowarsito tahun 1860]

*dikutip dari buku Samin ‘Mistisme Petani Di Tengah Pergolakan’ karya Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin.

11 Februari 2015

MUNAFIK

“Lho, saya kan tidak pernah meminta anda untuk menafsirkan diri saya seperti apa. Kalau anda kecele, itu bukan urusan saya. Lha wong saya ini sebenarnya munafik kok, lha kok anda menteorikan saya ini orang baik. Piye tho? Hhe.”

Anda akan menjumpai orang yang lebih banyak lagi seperti saya, entah itu di masjid-masjid, di tempat umum, di sekolah, di kantor, di gedung pemerintahan, di tv, dimana pun anda berada. Tapi tidak termasuk anda. Anda kan orangnya hebat, jujur dan konsisten antara wajah; ucapan; tindakan; hati; dan tujuan. Beda dengan saya.

Tujuan dan cara harus saya bolak-balik sesuai dengan apa yang pada momentum tertentu memberi saya laba. Mana tujuan mana cara, harus patuh pada kepentingan saya. Saya hampir tidak pernah melakukan suatu perbuatan apa pun yang saya maksudkan benar-benar untuk perbuatan itu sendiri. Hati saya penuh pamrih tersembunyi, pikiran saya sarat strategi penipuan, tak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri saya sendiri.

Kalau saya shalat, bukan saya benar-benar shalat. Itu saya ngakali Tuhan. Shalat saya hanya alat untuk mencari kemungkinan tambahan agar tercapai kepentingan tertentu yang saya simpan diam-diam dan anda tak boleh tahu. Misalnya, shalat saya bertujuan agar cita-cita saya tercapai, di bidang kekuasaan, kenaikan pangkat, atau pembengkakan deposito bank saya. Tetapi, apa aslinya pamrih saya anda tak akan tahu, sebab anda terlalu meremehkan atau under estimate tingkat kejahatan dan keserakahan hidup saya.

Kalau saya pergi umroh, anda harus cerdas dan waspada karena sebenarnya Tuhan dan rumah-Nya bukan fokus dari kepergian saya. Anda sebaiknya jangan terlalu lugu. Hidup ini sangatlah luas dan canggih, jumlah kemungkinan tak terhingga, dan semesta nafsu kehidupan serta karier saya jauh melebihi luasnya cakrawala kemungkinan.

Kalau saya berbuat baik kepada masyarakat, jangan dipikir tujuan utama saya adalah deretan kebaikan-kebaikan itu. Ada yang lebih fokus di kandungan hati saya.

Itu sekedar contoh saja. Intinya jangan percaya kepada saya dan apapun yang saya lakukan. Belajarlah meningkatkan dan merangkapkan kewaspadaan intelektual maupun spiritual. Saya seorang yang fasih, mampu memesonakan orang banyak dengan ayat-ayat Tuhan yang saya bacakan, sanggup memukau publik dengan uraian-uraian ilmu sosial aplikatif empiris. Tetapi kalau indikatornya atau parameternya yang anda pakai untuk menilai saya adalah ucapan-ucapan saya, maka anda orang yang dungu.

Quote dalam tulisan tersebut dapat dibaca di buku ‘Jejak Tinju Pak Kyai’ karya Muhammad Ainun Nadjib.

14 Januari 2015