Tulisan di bawah ini hanya sekedar komentar atau pandangan saya yang bersifat subjektif sebagai bacaan ringan yang saya sediakan di blog ini —yang tidak akan berpengaruh bagi siapapun, terlebih-lebih bagi pemerintah.
Angkasa Pura, BUMN atau Apa?
Hal ini bermula dari kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno ke Amerika Serikat untuk bertemu dengan Presiden John F. Kennedy. Setibanya di tanah air, Presiden Soekarno menegaskan keinginannya kepada Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum agar lapangan terbang di Indonesia dapat setara dengan lapangan terbang di negara maju. Pada tanggal 15 November 1962 terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1962 tentang pendirian Perusahaan Negara (PN) Angkasa Pura Kemayoran. Seiring berjalannya waktu—untuk memudahkan pembagian wilayah—Perum Angkasa Pura diubah menjadi Perum Angkasa Pura Satu dan Perum Angkasa Pura Dua, kemudian berubah lagi menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang mana seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.
Angkasa Pura merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang usaha pelayanan jasa kebandarudaraan—silakan lihat di portal Angkasa Pura siapa tahu sudah diganti menjadi perusahaan milik pribadi.
Saya ingin bertanya, kenapa pemerintah repot-repot membentuk BUMN? Atau begini, kenapa kok ada Pemerintah? Ada tidak kaitannya dengan kepentingan warga atau rakyat di dalamnya? Atau jangan-jangan setiap orang yang masuk ke dalam atmosfer kepemerintahan menganggap segala sesuatu yang dititipkan dari rakyat kepada mereka sebagai suatu kepemilikan yang bersifat pribadi? Sehingga dapat diatur-atur atau bahkan dijual. Okelah, silakan diatur-atur atau dijual asal hal tersebut didasarkan untuk kepentingan warga, bukan kepentingan di luar itu.
“Lho? keputusan AP 2 bukannya untuk kepentingan rakyat juga?” Sebentar, kita samakan pandangan dulu, yang bikin delay itu Angkasa Pura atau Lion Air?
“Lion air tidak punya uang untuk refund. Jika dibiarkan berlarut, warga akan merusak fasilitas Angkasa Pura.”
Seperti yang dilansir di portal angkasa pura dua, refund diberikan oleh mereka berdasarkan peraturan dan kebijakan—meskipun tidak jelas peraturan yang mana, benar atau tidak, seperti Lapindo, tapi jelasan Lapindo sih, dana talangan disahkan di APBN. Terdengar heroik memang—tapi ngawur, seperti kepahlawanan bapak Ignatius Jonan yang ‘mendamprat’ Air Asia atau ketika mengusir pedagang-pedagang kecil yang disalah simbolkan sebagai ketidakteraturan.
Begini, Angkasa Pura itu BUMN, BUMN itu milik pemerintah, pemerintah milik rakyat. Angkasa Pura memberikan pinjaman refund, padahal keuntungan Angkasa Pura adalah duitnya rakyat, yang di’tolong’ adalah rakyat, mbulet dari rakyat untuk rakyat. Lalu kemana duitnya Lion Air? Kemana ‘dampratan’ heroik pak menteri? Pada saat pak menteri memberikan sanksi kepada Air Asia, saya salah seorang yang mengangguk-angguk setuju, karena transportasi udara adalah transportasi yang berteknologi tinggi dengan safety zero accident. Kecelakan suatu penerbangan tidak terjadi karena satu hal, pasti karena banyak rentetan. Salah satunya adalah ketegasan dan kedisiplinan dalam penegakan regulasi. Semakin tinggi resiko semakin ketat pula aturan—hukum alam. Namun ketika harga murah digunakan sebagai kambing hitam atas penegakan regulasi, saya geleng-geleng tidak setuju. Sama halnya ketika pak menteri mengijinkan Angkasa Pura menalangi refund Lion Air.
Secara umum, pembeda antara BUMN dengan perusahaan swasta adalah ideologinya, ia adalah ayah yang bekerja untuk keluarganya. Asal keluarganya bahagia, tidak kelaparan, tercukupi keperluannya, tidak menjadi soal sang ayah banting tulang, mandi keringat, luka-luka tubuhnya. Begitulah BUMN, keberadaannya harus membuat rakyat untung dan bahagia, bukan sebaliknya. BUMN tidak harus mendapatkan laba, karena bukan tujuan utamanya. BUMN jangan disalahkan jika memberikan subsidi ke rakyat (apalagi dicabut) karena tujuan utamanya adalah membahagiakan rakyat. Keberadaan BUMN adalah mutlak wajib ada, agar perusahaan swasta tidak memonopoli perekonomian negerinya, karena jika ini terjadi, akan menyakiti rakyat yang dicintainya. BUMN pasti tidak tega rakyatnya meronta-ronta.
Pilih ‘Singa’ atau Merpati?
Seperti halnya Garuda Indonesia, perusahaan penerbangan nasional Merpati Nusantara Airlines lahir dari rahim ibu pertiwi, anak kandung rakyat Indonesia. Ia lahir berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 1962. Enam pesawat hasil hibahan TNI-AU mengawali misi untuk melayani rute penerbangan perintis di seluruh pelosok tanah air. Misinya sangat mulia, yaitu menjadi moda transportasi rakyat dan menjadi agen pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada mulanya (di tahun 1962) rute transportasi domestik tidak banyak dilirik oleh swasta. Kebutuhan akan moda transportasi udara masih sedikit, tidak seperti sekarang, dan itu akan terus berkembang hingga tahun-tahun ke depan. Buktinya bandar udara yang dimiliki oleh Angkasa Pura saat ini hampir keseluruhan tidak siap menampung perkembangan yang begitu melejit tersebut.
Keberadaan Merpati Nusantara Airlines dengan industri pesawat terbang PTDI bak seekor kerbau yang bersahabat dengan burung jalak di sawah milik pak tani. Keberadaannya saling menguntungkan satu sama lain. Pesawat NC-212; CN-235; CN-295 rakitan PTDI digunakan oleh Merpati Airlines untuk digunakan rakyat Indonesia. Ini yang dinamakan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang diregulatori pemerintah.
Melihat ini ibu pertiwi tersenyum simpul, rakyat hatinya senang bukan main. Naik pesawat bersubsidi dengan harga terjangkau bonus snack di dalam pesawat. Rakyat itu salah satunya bernama saya. Saya pernah merasai nikmatnya terbang bersama Merpati, namun hal itu tidak berlangsung lama.
Tuhan benar-benar Maha Asyik, diujilah pemerintah dengan didatangkannya ‘Singa’. Tidak hanya satu atau dua, tetapi seratus. Seratus ‘Singa’ menyalahi kodratnya, terbang membanting sang Merpati. Ibu pertiwi menitikkan air mata. Pemerintah—sang suami—yang dulu dipercayai dalam ikatan suci kini menyelingkuhi, menelantarkan keluarganya. Sang ‘Singa’ berhasil mencuri hati.
Tahun 2014, tepatnya sejak Februari, Merpati Airlines sudah tidak terbang lagi, bahkan para pilot dan pegawainya tidak menerima gaji. Pemerintah benar-benar menelantarkan anak kandungnya sendiri.
Pinjaman refund? Bah! Alih-alih anda berpikir nalar, malah mengingatkan “Garuda Indonesia juga memiliki hutang kepada Angkasa Pura, apa salahnya Lion Air dipinjami?”
Sesumbar dengan itu, Lion Air meng-klaim bahwa mereka mampu mengalahkan Garuda Indonesia di dalam industri penerbangan nasional. Inilah kali pertama dalam sejarah berdirinya republik ini maskapai Garuda ‘dikalahkan’ oleh maskapai penerbangan swasta, baik dalam kepemilikan jumlah pesawat terbang maupun jumlah rute penerbangan. Garuda Indonesia yang meraih berbagai penghargaan internasional dengan usia beda tipis dengan usia pemerintahan RI, dikalahkan oleh maskapai yang baru lahir kemarin sore.
Dan sekarang kita jumpai, Lion Air benar-benar mampu mengatur pemerintah sebagai regulator. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan tersebut kita tidak akan pernah tahu. Sama seperti ketidaktahuan saya kepada pak menteri kenapa bersikap seperti itu, sama seperti ketidaktahuan saya kepada teman-teman saya yang lebih menyukai belanja premium di shell bukan di pertamina, sama seperti ketidaktahuan saya kepada orang-orang yang menganggap wajar Angkasa Pura meminjami si ‘Singa’.
Apakah karena Tuhan Maha Asyik?
22 Februari 2015
*untuk menambah wawasan pengetahuan tentang penerbangan di Indonesia silakan baca buku ‘Believe It Or Not’ karya Marsekal (Purn) Chappy Hakim, salah seorang mantan KSAU dan Gubernur Akademi Angkatan Udara. Bagi teman-teman yang bekerja di Angkasa Pura saya sarankan ke pemimpinnya untuk memborong buku ini untuk dijadikan bingkisan di hari ulang tahun Korporasi anda—daripada duitnya dipinjamkan ke Lion Air, emangnya saya dan warga boleh pinjam uang ke Angkasa Pura?
*gambar dari sini.