KE PASAR PAGI JAKARTA

Akhir pekan ini kemana?

Ke pasar pagi Jakarta.

Hari ini saya pergi ke pasar pagi Jakarta di kawasan Asemka, berdekatan dengan stasiun Jakarta Kota. Berderet-deret sepanjang kolong flyover di belakang museum bank mandiri letaknya.

Kawasan ini dikenal sebagai pusat mainan anak-anak dengan harga yang murah. Ada yang menjual lusinan sampai eceran. Lapak dan toko saling berhadap-hadapan sepanjang flyover. Sehingga kita mudah untuk membandingkan harga.

IMG_3520.JPG

IMG_3519.JPG

IMG_3521.JPG

IMG_3522.JPG

Tujuan saya ke pasar pagi adalah membeli RC (Remote Control) untuk keponakan. Sudah niatan membelikannya hadiah. Namun tipe yang saya cari tidak ada, yaitu replika mobil Hummer Bigfoot. Tapi karena sudah kepalang tanggung di sini, akhirnya saya membeli tipe Jeep berwarna merah lengkap dengan lampu sorot depan.

Harga yang ditawarkan beragam. Toko sebelah menawarkan Rp. 210 ribu, toko yang lain Rp. 190 ribu, sampai menemukan yang harganya Rp. 165 ribu. Jadi belanja di sini jangan terpaku oleh satu toko atau besar kecilnya toko, bahkan lapak yang kecil pun bisa memberikan harga yang jauh lebih murah dengan kwalitas yang sama.

Selain menyediakan mainan anak, di sini kita bisa membeli barang grosiran lainnya, seperti perlengkapan pesta, petasan, hingga souvenir pernikahan. Jika lapar di sini berjejer-jejer makanan. Komplit.

Jika hendak sholat, ada musholla di tengah flyover, dekat sungai yang saya tidak tahu namanya. Jika ingin sholat Jumat, ada sebuah masjid sederhana di belakang gedung Asemka.

IMG_3524.JPG

Ke tempat Fe.

Fe hari ini tidak libur, meski tanggal merah, meski sedang may day!

Setiap hari Fe bekerja. Senin-Minggu. Katanya dia bekerja tidak sekedar bekerja, baginya bekerja adalah ibadah, makanya dia ikhlas setiap hari bekerja. Salut deh.

Karena hari ini Fe bekerja, saya menunggu Fe balik kerja dulu tiga jam di bawah jembatan penyeberangan.

IMG_3523.JPG

‘Rezeki bekerja’ itu tidak hanya gaji semata. Bisa libur di tanggal merah, di hari sabtu, atau bisa berkumpul dengan keluarga pun adalah bentuk rezeki. Maka syukurilah.

Tapi bagi yang setiap hari bekerja, tetap bersyukur—karena masih bisa bekerja, atau masih ada hal-hal lain yang membuat kita bersyukur.

Karena tidak ada sabar selain bersyukur.

Salam,

01 Mei 2015

ADA SESUATU

Ada sesuatu yang lebih baik engkau tidak tahu.

Kemudian menjadi debu.

Lalu terhempas oleh angin, sejauh ribuan mil. Lantas hilang.

Tidak dipertanyakan, tidak mempertanyakan.

Karena ada sesuatu yang lebih baik engkau tidak tahu.

Tetapi mana bisa?

qs. 4:42.

09 Januari 2015

KEIMANAN

IMG_2378.JPG

Sebentuk apakah keimanan itu? Orang dulu bilang ia membawa kenikmatan. Andaikan saja para raja mendengarnya, pastilah mereka merampoknya. Andaikan saja ada di hati manusia, meski kecil, sangat kecil, keberadaannya menyelamatkan dari maha marabahaya.

Tapi, sebentuk apakah keimanan itu?

~

Ya Allah, saya belum pernah merasakannya.

09 Januari 2015

*gambar dijepret satu setengah jam yang lalu.

KEMATIAN ITU

Kematian itu tidak ada hubungannya dengan sehat atau sakit. Tidak ada hubungannya dengan malam atau siang. Tidak ada hubungannya dengan tua, muda, atau anak-anak. Tidak ada hubungannya dengan siap atau tidak siap, juga tidak ada hubungannya dengan perilaku kehidupan kita. “Kematian tidak ada rumusnya.” Demikian kata Muhammad Ainun Nadjib.

Banyak macam sebab kematian.

Kita rangkum menjadi tiga jenis.

Pertama, kematian yang ditakdirkan oleh Allah. Ini hak mutlak Allah. Setiap detiknya telah terinci dengan pasti oleh Allah. Kematian jenis ini banyak macamnya. Bisa karena kecelakaan, makan, berjalan, tidur, atau duduk.

Kedua, kematian yang diizinkan oleh Allah. Kematian jenis ini bukan atas kepastian Allah, namun diizinkan oleh Allah.

Ketiga, kematian yang dibiarkan oleh Allah. Untuk jenis ini, anda bisa menawar sendiri hari, jam, detik, tempat maupun cara bagaimana anda mati. Orang yang mati dalam keadaan seperti ini dibiarkan oleh Allah.“Sak karep-karepmu.” kalau Allah bilang.

Kematian yang diharapkan adalah kematian dengan jiwa yang tenang, hati yang puas, dan Allah ridha. Selama hal tersebut kita dapatkan, kita tidak peduli lagi dengan cara, hari, tempat, dan kondisi bagaimana kita mati.

Ingat, karena kematian tidak ada rumusnya, berusahalah setiap detik (secara kontinue) menjalani kehidupan ini dalam keadaan jiwa yang tenang dan hati yang puas. Keduanya kita gunakan untuk meraih perhatian Allah lalu mengharap Allah ridha, ridha atas kehidupan yang telah kita lakukan.

Semoga anda dan saya mampu melakukannya dan meraihnya.

Demikian, semoga postingan ini bermanfaat.

04 Januari 2014 (sembari menunggu kereta)

*silakan baca buku ‘Spiritual Journey-Pikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib’ karya Prayogi R. Saputra. Postingan ini diilmui dari buku tersebut.

MANUSIA SELALU SEPERTI ITU

Banyak diantara kita yang kurang peduli terhadap pentingnya faktor keamanan hingga kita mendapatkan musibah | jauh lebih penting dari itu, kita amat tidak pedulian terhadap akhirat hingga kematian datang pada waktunya yang tepat | manusia selalu seperti itu | lemah.

29 Desember 2014

KEREDHAAN ALLAH

Atas secuil ujian yang tak berbanding lurus dengan apa yang telah aku usahakan.

Buru-buru kupersalahkan kehendak Tuhan.

Menyangka terhadap-Nya dengan bermacam prasangka. Menyangka yang tidak benar kepada-Nya.

“Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepadaku melainkan tipu-tipu!” (qs. 33:12).

Padahal yang ada adalah kecemasan yang datang dari dalam diri sendiri saja (qs. 3:154).

~

Betapa aku ini amat kerdil taqwanya; amat culas ibadahnya: amat munafik bathinnya.

Mengukur rizqi linier saja; hanya berupa harta dan kemudahan hidup saja.

~

“Bertaqwalah kepada Allah, Allah akan adakan jalan keluar; Allah akan ulurkan rizqi-Nya dari arah yang tidak kamu sangka-sangka.” (qs. 65: 2-3).

Mahasuci Allah yang tidak pernah menyalahi janji-janji-Nya.

Sebab Sa’d ibn Mu’adz yang bergelar ‘terkasih’; yang ibadahnya amat total; yang taqwanya tidak diragukan, hartanya itu-itu saja. Meski keras ia bekerja; berkapal muka tangannya; pecah guratan genggamannya, ia redha pada apa-apa yang diperolehnya.

Kalau saja redha Allah itu terletak pada mudahnya hidup dan gemilangnya harta, tentu Rasulullah tak sampai berdarah pelipisnya, tak sampai rompal gigi serinya, tak sampai melilit perutnya, tak sampai termiskin kehidupan dunianya.

Kalau saja redha Allah terletak pada mudahnya hidup dan gemilangnya harta, tentu makhluq yang mendurhakai-Nya telah punah keberadaannya.

Di dalam Islam mudah sukar, miskin gemilang tidak jadi ukuran atas keredhaan Allah.

Abdurrahman bin ‘Auf berkemudahan dan bergemilang kehidupan dunianya. Terkaya pada masanya. Namun terjamin sebagai makhluq surga.

‘Ali bin Abi Thalib maharnya hanya dari jualan baju besi pemberian; perabotan rumah tangganya tak bermacam; Alas tidurnya hanya satu lembar saja. Namun baginya juga terjamin surga.

Apapun yang ditimpakan dan dikaruniakan Allah kepada mereka, mereka redha pada Allah, dan Allah redha pada mereka.

~

Hanya orang tak bersabar yang menghalalkan yang haram.

Haram-haram yaa Qolu (haram-haram ya tertelan).

Dunia adalah ladang penghambaan.

Berkarya dan berketekunan adalah cara meraih cinta-Nya.

Karena yang paling penting bukan pendakuan kita cinta kepada Allah, namun cintakah Allah kepada kita.

09 Agustus 2014

*dipost ulang di 28 November 2014.

HUKUM BISNIS BAGI SAYA

Fase bisnis bagi saya (untuk saat ini) itu hukumnya masih sunnah, atau jangan-jangan sudah wajib?

~

Setiap kali melihat barang atau jasa yang dilakukan oleh orang lain untuk dijual, seringkali saya berpikir, “Ah, cuma kayak gitu. Saya sih bisa bikin begituan.”

Atau setiap kali balik ke rumah, saya seringkali iba kepada remaja-remaja dan masyarakat desa yang tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan, banyak sekali yang berjuang hingga ke luar negeri.

Tidak hanya iba kepada mereka, saya pun murka kepada diri saya sendiri yang notabene memiliki sedikit pengetahuan, dan seharusnya saya mampu menggunakannya untuk kemaslahatan hidup masyarakat.

Dengan cara berpikir seperti itu, saya kayaknya sudah wajib untuk berbisnis. Sehingga ketika waktu semakin menuakan saya, sementara saya tidak berbisnis apa-apa, sejauh itu pula saya akan menuai dosa-dosa atas kewajiban saya yang saya tinggalkan dengan sengaja.

Atau karena kepongahan saya berpikir seperti itu, yaitu menganggap bahwa berbisnis bagi saya hukumnya sudah wajib, dan ternyata tidak. Sebenarnya saya jatuh pada hukum makruh. Dimana meninggalkannya justeru lebih baik daripada mengerjakannya. Tentu saya akan menuai ke-mudharat-an selamanya.

Jadi, berbisnis bagi saya (untuk saat ini) itu hukumnya masih sunnah, atau sudah wajib?

atau bahkan malah makruh.

08 Agustus 2014

*tulisan ini abaikan saja. Karena tidak ada manfaatnya. Hhe

SHOLAT AUTOPILOT

Takbirmu, ruku’mu, i’tidalmu, sujudmu, hingga salammu engkau gerakkan secara otomatis.

Engkau tak perlu takut ruku’mu akan nyasar menjadi sujud, bacaan i’tidalmu akan nyasar menjadi bacaan takhiyat, engkau tak perlu takut.

Karena tubuhmu akan selalu bergerak dengan bacaannya lengkap, meski jiwamu tak pernah bergerak takbir; meski jiwamu tak pernah membaca salam.

Di dalam sholat autopilot, engkau perbolehkan jiwamu berlarian. Kadang engkau membawanya di area kerja, area cinta, area hobi, area keluarga, hingga ranah remeh temeh seperti kunci mobil yang terselip entah dimana.

Duh, mungkin engkau bukan satu-satunya yang menghidupkan mode autopilot di dalam sholat.

Tapi saranku: jangan terlaru sering untuk menghidupkan mode ini.

Apakah engkau tidak ingin jiwamu sesekali sholat, menghadap sebenar-benarnya kepada Rabbmu? Aku yakin engkau akan mengangguk mengiyakan.

Aku merasakan bahwa jiwamu sangat rindu untuk bertemu Rabbmu.

Marilah pelan-pelan hentikan sholat autopilot mu.

Hadirkan jiwamu, hadapkan kepada Rabbmu.

Aku yakin dalam penerbangan spiritualmu, engkau akan takjub melihat kekuasaan Rabbmu.

Bukankah engkau mendengar dan membaca kisah-kisah orang dahulu? bahwa mereka sholat sampai menangis lega, sampai kedua telapak kakinya pecah, ruku’-sujudnya lama begitu luar biasa.

Bukankah memang demikian adanya, jika kita bertemu dengan Kekasih? Berwajah bahagia dengan jiwa yang tenang.

Bukan kantuk dan malas.

~

Adh-Darimi (Sunan Adh-Darimi, 1/87-88) meriwayatkan dari Abu Ad-Darda’, dia berkata: Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ. Kemudian beliau ﷺ mengarahkan pandangannya ke langit, lalu berkata: “Ini adalah waktu ilmu dicabut dari umat manusia, hingga tidak ada yang bisa dimiliki sedikitpun darinya.” Mendengar itu Ziyad bin Lubaid Al-Anshari berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa ilmu dicabut dari kami, padahal kami telah membaca Al-Qur’an. Demi Allah, pasti kami membacakan Al-Qur’an kepada istri-istri kami dan anak-anak kami.” Beliau ﷺ lalu bersabda: “Ibumu adalah tebusanmu, wahai Ziyad, aku menganggapmu termasuk ahli fikih Madinah. Taurat dan Injil ini pun dibaca oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, tapi apa yang bisa dilakukan dengannya oleh mereka.”

Setelah itu Jubair berkata: Aku kemudian bertemu Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata: Aku berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikemukakan oleh saudaramu Abu Ad-Darda’?” Kemudian aku mengatakan apa yang ia katakan. Setelah itu dia berkata: “Abu Ad-Darda’ memang benar, kalau kamu mau, aku akan menceritakan kepadamu ilmu yang pertama kali diangkat dari umat manusia, yaitu kekhusyukan. Hampir setiap kali memasuki masjid jamaah, engkau tidak melihat ada seorang pun yang khusyuk di dalamnya.” (Saya ambil dari penjelasan hadist bersanad dha’if yang berbunyi: Dia–Abu Bakar–juga mengabarkan kepada kami dari Dhamrah bin Hubaib, bahwa Rasulullah ﷺ berkata, “Sesungguhnya yang pertama diangkat dari umatku adalah sifat amanah dan khusyu’ hingga hampir tidak ditemui lagi orang yang khusyu’.”)

Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Lubaid, dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari Abdullaj bin Dhamrah As-Saluli, dari Ka’b, dia berkata, “Apabila seorang hamba shalat, maka Allah akan menyambutnya. Namun apabila dia menoleh, maka Allah pun memalingkan diri darinya.” (Atsar ini mauquf pada Ka’b bin Al-Ahbar, salah seorang sahabat Nabi ﷺ dengan sanad shahih)

*ilmu diambil dari buku Zuhud karya Ibnu Al Mubarak, jilid 1, hal. 364 dan hal. 295

RIUH

20140603-220649-79609182.jpg

RASULULLAH ﷺ jelas manusia biasa, ia tidak seperti ‘Isa putera Maryam, yang sewaktu lahir sudah tahu bahwa dirinya adalah Nabi. Tapi Muhammad ﷺ tidak.

Bahkan diawal-awal risalah, beliau gemetar hebat, tidak yakin bahwa dirinya adalah Nabi.

Disekian banyak teladan, saya ingin mengambil sebuah fase dalam kehidupan beliau. Yaitu pada saat beliau belum menjadi Nabi.

Ketika malam datang, beliau sering menyendiri. Bersemedi di dalam gua, yaitu gua Hira’. Membungkus keriuhan hidup dan meninggalkannya dalam kesunyian seorang diri.

Lalu saya melihat diri saya.

Saya tidak merasakan apa yang disebut kesunyian. Ketenangan amat jauh dalam jiwa saya. Jiwa saya tidak tenang. Hati berlarian, menginjak mati kekhusyukan.

Jiwa saya riuh. Sangat riuh. Tak mampu menahan berisik dunia.

Maka saya selalu terheran-heran dan takjub dengan seseorang. Ia mampu menahan agar hidupnya sunyi dan tenang. Ia tidak mempedulikan keriuhan masa di luar hidupnya. Ia tidak satu pun memperlihatkan hidupnya ke dunia luar.

Bagaimana dia bisa? Sementara saya tidak.

Bahkan satu tetes air mata pun tak kunjung datang. Hati saya keras, hati saya linglung, hati saya berlarian, hati saya kelelahan, hati saya tidak khusyuk.

Saya ingin dada saya dibelah oleh Mahapenyembuh. Untuk mengeluarkan segala penyakit yang ada di dalamnya.

Agar riuh hidup ini tak mampu pengaruhi (lagi).

~

Allaahumma innii as-aluka ridhaaka, ya Allah ridha-Mu ya Allah…ridha-Mu…