RASULULLAH ﷺ “TIDAK TAHU” TENTANG DIRI SESEORANG

Kerendah-hatian dan kesopanan Rasulullah ﷺ ditunjukkan saat berinteraksi dengan Allah terkait dengan umatnya. “Maadzaa ujibtum?” Apa yang dijawab oleh kaummu atas seruanmu? Begitu kira-kira Allah menanyai para Rasul-Nya—termasuk Muhammad ﷺ—atas seruan keimanan dan perintah dari Allah kepada para manusia.

“Laa’ilma lanaa, innaka anta ‘allaamul ghuyuub.” Tidak ada pengetahuan bagi kami terkait dengan itu ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara ghaib.

Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Allah saat di akhirat nanti [qs. 7:6].

Para Rasul mengaku bahwa mereka tidak memiliki ilmu sama sekali jika dibandingkan dengan ilmunya Allah yang meliputi segalanya. Meskipun para Rasul “tahu” sesiapa yang mengikuti mereka sewaktu di dunia. Namun para Rasul hanya mampu melihat lahiriahnya saja dan tidak mengetahui bathinnya. Sedangkan Allah mengetahui dan mengawai segalanya. Anta ‘allaamul ghuyuub, “Engkaulah yang mengetahui perkara ghaib.”

***

Mari kita renungi [qs. 5:109] betapa kita—dibanding Allah dan para Rasul Nya—tidak memiliki pengetahuan apa-apa terkait pribadi orang lain, bahkan kepada diri sendiri pun kita sering tidak mampu menghitung-hitung. Maka bagi saya, sangat mengherankan betapa mudahnya kita menilai-nilai orang dengan apa yang mereka kenakan, dengan apa yang mereka ucapkan, dengan apa yang mereka lakukan. Padahal kesemuanya itu baru lahiriahnya saja. Benar adanya, bahwa pemberi rapor sejati bukan manusia melainkan Allah SWT, yang mengetahui dan mengawasi siapa diri kita sebenarnya.

Salam,

01 Agustus 2015

*diilmui dari Tafsir Ibnu Katsir juz 3 dalam qs. 5:109.

SUKA CITA KEMATIAN

IMG_2597.JPG

Tulisan dibawah ini (termasuk tulisan-tulisan lainnya yang saya tulis: baik yang berserakan di whatsapp, dll sampai yang saya usahakan susun rapi di blog) tidak bermaksud untuk mempengaruhi cara pandang anda terhadap segala hal yang saya tulis, terlebih-lebih untuk menyinggung anda. Semua tulisan saya, fokus negatifnya adalah diri saya sendiri, sementara fokus positifnya adalah orang-orang yang saya kagumi—termasuk anda.

Suka Cita Kematian

Di ‘Hari Kematian’ sebagian masyarakat Meksiko merayakannya dengan jamuan dan festival di pekuburan. Di Tana Toraja kematian seseorang lebih meriah dibandingkan pesta kelahiran atau pesta pernikahan. Pemudanya sibuk menyembelih babi kemudian menampung darahnya di batang bambu, sementara para ibu memasak daging di wajan-wajan besar. Sebagian besar sisanya duduk-duduk di bawah tongkonan—rumah adat mereka— lalu asyik melihat sorak-sorai penduduk lainnya mengadu kerbau milik keluarga yang meninggal.

Di Batak ketika status kematiannya adalah saur matua, maka diadakanlah pesta. Ada organ yang berdenting, ada nyanyian yang menggenapi, ada tuak yang melengkapi. Keperluan teknis upacara, dan hal-hal di dalamnya diatur sedemikian rupa, menjadilah atmosfer kematian meriah adanya—kesedihan tergantikan kesibukan pesta.

Tentu yang saya maksud bukanlah suka cita demikian—dan tentu saya tidak bermaksud mengejek saudara saya di Tana Toraja atau di Batak atau di wilayah lain yang mengadakan upacara yang serupa.

~

“Mengapa aku harus tidak suka dibawa menghadap Dzat yang semua kebaikan terlihat berasal darinya?”

Pertanyaan retoris itu disampaikan oleh seorang badui yang sedang sakit, ia diberitakan akan meninggal lantaran sakitnya. Sebelum mengatakan hal tersebut ia bertanya, “Aku akan dibawa kemana?” “Menemui Allah.”

Amboi, siapakah yang tidak bersuka cita menemui Dzat yang menciptakannya?

Tentu tidak serta merta setiap manusia jika dipertemukan kepada Allah hatinya akan riang. Ada juga sebagian darinya yang ketakutan.

Lawakan Kematian

Anda pasti tahu Sule, Andre, atau setidaknya Srimulat. Beberapa scene lawakan mereka adalah lawakan kematian.

Pada saat adegan mati—karena lawakan—matinya tidak langsung jatuh bruk, mereka sapu dulu itu panggung, membersihkannya, lalu merebahkan diri pelan-pelan. Rileks dan tenang. Kematiannya dipersiapkan dengan baik—agar gelegak tawa memenuhi studio panggung mereka.

Tafakkur (perenungan) bagi saya tidak berdimensi, tidak tersekat oleh hal baik atau hal buruk, hal serius ataukah sekedar lawakan. Tafakkur bagi saya adalah tentang cara berpikir mengenai sesuatu hal yang kemudian diformulakan untuk kebaikan—diri sendiri maupun orang lain.

Hanya orang yang telah mempersiapkan kematiannya dengan baik yang akan bersuka cita menyambut kematiannya, sebagaimana riwayat badui di atas.

Persiapan akan kematian tidak sesaat saja, namun ia berproses selama hidupnya. ‘Ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku sebuah perkara yang dapat aku pegang.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Katakanlah, ‘Rabb-ku adalah Allah’, kemudian istiqamahlah.’

Di dalam Qs. Fushshilat [41]: 30-32, ketika datang kematian, demikian yang tertulis di dalam Tafsir Ibnu Katsir, para Malaikat mengatakan: allaa takhaafuu, janganlah kamu merasa takut—yaitu dari perkara akhirat yang akan dihadapi, wa laa tahzanuu, dan janganlah kamu merasa sedih—atas perkara dunia yang ditinggalkan, berupa anak, keluarga, ataukah harta. Wa absyiruu bil jannatil kuntum tuu’aduun, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kemudian mereka diberikan kabar gembira dengan hilangnya keburukan; dan tercapainya kebaikan.

Tidak ada satu pun peristiwa besar yang ditakuti manusia pada hari Kiamat, kecuali hal itu bagi seorang Mukmin merupakan penyejuk jiwa—karena hidayah yang telah diberikan Allah kepadanya dan karena perbuatan baik yang dilakukannya di dunia.

Di dalam hadits Ibnu Abi Hatim, Zaid bin Aslam berkata: “Mereka (para Malaikat) memberi kabar gembira ketika kematiannya; di dalam kuburnya; dan ketika dibangkitkan.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, niscaya Allah cinta menjumpainya. Dan barangsiapa yang membenci perjumpaan dengan Allah, niscaya Allah akan membencinya.”

Di dalam terusan hadits tersebut Rasulullah ﷺ bersabda, “… Jika seorang Mukmin berada dalam detik kematiannya, maka datanglah kabar gembira dari Allah Ta’ala tentang tempat kembali yang ditujunya. Maka tidak ada sesuatu (pun) yang lebih dicintainya daripada menjumpai Allah Ta’ala, maka Allah pun cinta menjumpainya. Dan sesungguhnya orang yang jahat atau kafir jika berada dalam detik kematiannya, maka datanglah berita tentang tempat kembali yang dituju berupa keburukan atau apa yang akan dijumpainya berupa keburukan, lalu dia benci bertemu dengan Allah, maka Allah pun benci menemuinya.” (Hadits ini shahih dan tercantum dalam kitab Shahih dari jalan yang lain).

Dalam hadits lain, Haiwah bin Syuraih mengabarkan kepada kami dari Abu Shakhr dari Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi, dia berkata, “Jika nafas terakhir seorang hamba sudah terkumpul di mulutnya hendak keluar, maka malaikat mendatanginya dan berucap, ‘Semoga keselamatan senantiasa tercurah untukmu, wahai kekasih Allah. Allah mengucapkan salam untukmu.’ Setelah itu malaikat tersebut mencabut nyawanya, sesuai dengan ayat ini, ‘(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), “Salaamunalaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”‘ (Qs. An-Nahl [16]: 32)”

Dikabarkan pula suka cita orang-orang yang telah meninggal, dalam pembahasan Qs. Ibrahim [14]: 27, di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan dimana para hamba yang memiliki jiwa yang baik, ruhnya keluar dengan wewangian kemudian diantar sampai langit ketujuh kemudian ditetapkannya sebagai penghuni ‘Illiyyin, lalu setelah itu dikembalikan lagi ke bumi kedalam jasadnya, lalu datanglah malaikat bertanya, setelah itu dilapangkan alam kuburnya, bergembira di dalamnya, kemudian hamba tersebut menginginkan segeranya Kiamat, “Ya Rabb, jadikanlah Kiamat, jadikanlah Kiamat (hari ini juga), supaya aku dapat kembali bertemu dengan keluarga dan harta bendaku.”

Adapun hamba yang tidak baik, berkebalikan, bau busuk memenuhinya, dan ia tidak diijinkan hingga langit ketujuh (lihat qs. Al-A’raaf: 40) kemudian ia dicampakkan dengan keras ke dasar bumi paling bawah yang bernama Sijjin (lihat qs. Al-Hajj: 31) lalu ruhnya dikembalikan ke jasadnya, kemudian ditanyai para Malaikat, setelah itu sempitlah alam kuburnya, dan ia berkata, “Ya Rabb, jangan engkau jadikan hari Kiamat.”

Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat ketika orang mengalami sakaratul maut, hingga ke alam kuburnya.

Sudah semestinya kita sambut kematian dengan suka cita, dan berbaik sangka, karena ini sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian meninggal dunia melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim 17/209, dan Abu Dawud 2097)

Sebagaimana para pelawak mempersiapkan kematiannya—di atas panggung lawakan: dengan baik, rileks, dan tenang.

Hidup ini memang sendau-gurau, namun ingat, seorang pelawak melakukan pekerjaan sendau-guraunya dengan keseriusan yang optimal.

~

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya.” (qs. 89: 27-28). Ia ridha kepada Allah, dan Allah ridha kepadanya serta menjadikannya selalu ridha.

“Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam Jannah-Ku.” (qs. 89: 29-30) yang demikian itu dikatakan kepada hamba-Nya saat sakaratul maut dan pada hari Kiamat kelak, sebagaimana para Malaikat menyampaikan berita gembira kepada orang Mukmin saat sakaratul maut dan ketika bangkit dari kuburnya.

ShadaqalLahul adzim.

Salam,

06 Maret 2015

BERKAH; SYUKUR; RIZQI; UMUR

IMG_0358.JPG

Teruntuk kakanda terkasih, pada telinga yang peka ini mendengar bahwa tiap-tiap insan yang tertitipkan (baik istri maupun putera-puteri) ada hak bagi mereka untuk mengutarakan wasiat yang amat berat: “Bawalah kami ke surga bersamamu.” (Qs. 66: 6)

Maka pantaslah sudah, bahwa pernikahan itu merupakan mitsaqan ghaliza.

Meski berat, saya yakin, kakanda telah banyak belajar dari bapak. Dan ini merupakan benih agar kakanda kedua belajar dari kakanda pertama dan bapak. Dan ini pelengkap agar kakanda ketiga belajar dari kakanda kedua, pertama, serta bapak. Maka nantinya (insyaAllah), menjadi setumpuk ilmu yang ananda kemas rapi, dan siap dibuka pada waktunya.

Namun bapak bukan apa-apa, kakanda juga bukan apa-apa, melainkan hanya ingin mengamali peran sebagai seorang ayah, dengan ilmu yang telah dijelaskan berderet-deret penuh hikmah di dalam Al-Quran surah Al-Luqman.

Namanya Luqman bin ‘Anqa’ bin Sadun. Kita kenal Luqman Al-Hakim. Begitulah ia digelari. Seorang ayah yang penuh hikmah.

Luqman bukan saudagar, ia adalah seorang laki-laki pengembala kambing dari tuannya. Kurus tubuhnya, hitam kulitnya, pesek hidungnya, amat kecil kedua kakinya. Andai ada orang yang berperawakan demikian di zaman sekarang, sungguh akan timbul ragu: perempuan mana yang sudi menerima pinangannya; keluarga mana yang bergegas meneladaninya sebagai seorang ayah sekaligus pakar pendidikan anak.

Abu ad-Darda’ r.a. berujar mengenai diri seorang Luqman: “Dia tidak diberikan anugerah berupa nasab, kehormatan, harta, pun jabatan. Namun dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tidak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta penyebutan kembali oleh orang lain.”

Seseorang pernah bertanya kepada Luqman: “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan seperti ini?”

Luqman menjawab: “Aku tahan pandanganku; aku jaga lisanku; aku perhatikan makananku; aku pelihara kemaluanku; aku berkata jujur; aku menunaikan janji; aku hormati tamu; aku pedulikan tetanggaku; dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”

Demikianlah Luqman. Ia bergelar Al-Hakim dan menjadi teladan di dalam Al-Qur’an bukan karena sekonyong-konyong, melainkan ada ikhtiar penuh istiqamah yang ia perjuangkan terus menerus.

Dan bagi kita meneladaninya dalam peran seorang ayah.

Sebelum para psikolog, pakar keluarga, dan berjejal motivator-motivator televisi mendengungkan pendidikan anak dengan kelembutan. Sungguh Luqman di lebih 14 abad yang lalu telah mengajari kita (sebagai seorang ayah) untuk berlembut-lembut dengan anak-anak kita.

“Ya bunayya…” di dalam qs. Al-Lukman ayat 13. Luqman meneladani sedini mungkin (meski untuk panggilan anak) harus dengan ramah lembut.

Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, “Duhai anakku tersayang (ya bunayya), janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang amat besar.” (qs. Al-Luqman: 13)

Berderet teladan Luqman sebagai seorang ayah, dapat dilihat lengkap di dalam surah tersebut dari ayat 12 hingga 19.

Semoga tulisan sekelumit ini dapat menjadi semangat dan syukur diri dalam berperan sebagai seorang ayah.

Dan tulisan ini dibagikan sebagai ucapan selamat atas kelahiran keponakan saya yang baru. Terlahir pada 20 Agustus 2014 jam 09:00 WITA.

~

Di dalam Al-Qur’an ada banyak nasihat untuk kita, agar memberikan ucapkan selamat dan turut bergembira atas anugerah kelahiran suatu keluarga.

“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira. Mereka mengucapkan ‘Selamat.’…” (Lihat QS. Huud: 69-71) | Lihat juga di qs. 3:39 dan di qs. 19:7.

Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah di dalam bukunya Tuhfatul Mauduud bi Ahkaamil Mauluud, dari Abu Bakar Al-Mundziri.

“Telah diriwayatkan kepada kami dari al-Hasan al-Bashri bahwa seorang lelaki telah datang kepadanya, dan di sampingnya ada seorang laki-laki baru saja dianugerahi seorang anak kecil.

Laki-laki itu berkata kepada orang yang mempunyai anak itu, ‘Selamat bagimu atas kelahiran seorang anak penunggang kuda.’

al-Hasan al-Bashri berkata kepada laki-laki tersebut, ‘Apa pedulimu apakah dia seorang penunggang kuda atau seorang penunggang keledai?’

Laki-laki itu lantas bertanya, ‘Jadi bagaimana kami harus mengucapkannya?’

al-Hasan al-Bashri menjawab, ‘Katakanlah:

بورك لك في الموهوب، وشكرت الواهب، ورزقت برّه، وبلغ أشدّه.

Semoga kamu diberkahi dalam apa yang telah diberikan kepadamu; semoga kamu bersyukur kepada yang memberi; semoga kamu diberi rizqi dengan kebaikannya; dan semoga ia mencapai masa balignya.'”

Berkah; Syukur; Rizqi; Umur. Doa yang amat lengkap untuk yang baru terlahir.

Salam.

20 Agustus 2014.

*diilmui dari buku Lapis-Lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah; buku Tarbiyatul Aulad fil Islam karya DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan; dan buku Tafsir Ibnu Katsir.

SEBAIK PRASANGKA: BELAJAR KEPADA NUH ‘ALAYHISSALAM

Kita belajar kepada Nuh ‘alayhissalam.

Ketika doa (menurut sangka kita) tak pernah terkabulkan.

~

Pada saat itu Nuh memohonkan, agar sang putera diselamatkan.

“Ya Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau hakim yang seadil-adilnya.”

Nuh mengadu, membalikkan janji Rabbnya untuk menyelamatkan keluarganya. Karena Nuh dan kita sama; meyakini, bahwa Allah tak pernah ingkar janji. Bagaimana bisa, puteranya tenggelam sementara Allah adalah Dzat yang Mahabijaksana adanya.

~

Mari sejenak, kita ilmui firman Allah sebagai jawaban atas permohonan Nuh ‘alayhissalam.

“Hai Nuh, sesungguhnya dia adalah bukan termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatannya adalah) perbuatan yang tidak baik.”

“Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”

~

Allahu Akbar.

Mahasuci Allah yang tidak pernah mendzalimi makhluq-Nya.

Sebab kita yang lemah ini, seringkali menuduh Allah dengan berbagai macam prasangka.

A’uudzu billaahis samii’il ‘aliimi minas syaithaanir rajiim, min hamzihii, wa nafkhihii, wa naftsih.

~

Nuh ‘alayhissalam.

Melaluinya di dalam Al-Qur’an, kita petik berbagai pelajaran.

Karena kita yang berjiwa kotor ini menyadari, tak layak bercakap dengan Allah Yang Mahasuci.

Maka di lembar-lembar Al-Qur’an kita terisak, bahwa Allah sebenarnya tak hanya bicara kepada Nabi-Nya melainkan kepada kita juga.

~

Nuh ‘alayhissalam.

Berdoa mengiba memohon ampunan, mengemis dihadapan Rabbnya meminta belas kasihan.

“Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari sesuatu yang tidak aku ketahui (hakikat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas-kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang merugi.”

~

Fashbir; innal ‘aaqibata lil muttaqiin.

Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.

Salam.

16 Agustus 2014

*ilmu didapat dari Al-Quran surah Huud [11]: 45-49 dengan bantuan Tafsir Ibnu Katsir.

NASIHAT MENUJU PERNIKAHAN: MUNAKAHAT SEORANG MUKMIN

IMG_0227.JPG

Kalimat pertama adalah perintah untuk laki-laki.
Kalimat kedua adalah perintah untuk wanita.
Kalimat ketiga adalah alasan dibalik perintah tersebut.
Kalimat keempat adalah seruan untuk mengilmui seayat ini.

~

Tidak didapati kata muslim melainkan mukmin.

Karena sungguh, yang muslim di negeri ini amat banyak jumlahnya, amat rerupa tingkahnya.

Sementara yang mukmin bagai permata, tidak diketahui jumlahnya melainkan amat sedikit.

~

Pernikahan tidaklah buatan manusia.
Ia adalah sebentuk ibadah yang Allah perintahkan melalui teladan Nabi-Nya.

Maka melalui ayat-ayat-Nya, Allah ajarkan kepada kita agar kita dapat mempelajarinya.

Karena pernikahan ujungnya mau diarahkan kemana? ila an-naar atau ila al-jannah?

~

Memang benar, Allah turunkan ayat ini berkenaan dengan sahabat Nabi yang berkisah tentang kejadian yang membuat ia menyesal.

“Wahai Abu ‘Abdullah, wanita itu adalah mukminah.” Sabda Rasulullah.

“Demi Allah yang mengutusmu dengan haq. Aku akan memerdekakannya dan menikahinya.” Balas ‘Abdullah bin Rawahah menyesali tingkahnya menampar budak wanitanya.

Maka cela dari beberapa kaum muslimin mendarat kepadanya.

“Apa? ‘Abdullah bin Rawahah menikahi budaknya? Hha.”

Kebiasaan dulu dan kini sama saja.

Cantik rupa, bertumpuk harta, bergelar keturunannya adalah hal-hal yang membuat tertarik hati.

Wa law a’jabatkum, wa law a’jabakum. Meskipun dia menarik hatimu, meskipun dia menarik hatimu.

Maka seayat tersebut membawa pelajaran bahwa hal-hal yang menarik hati (paras, harta, dan keturunan) bukan utama. Yang utama adalah agamanya.

~

Sungguh beruntung, tiap-tiap jiwa yang berpasangan dengan yang mukmin.

Karena bersama mereka kita mengiyakan ajakan Allah SWT menuju surga-Nya. Menggapai maghfirah-Nya.

Karena bersama mereka kita saling menyemangati dalam titian taqwa, dalam sumringahnya sabar, dalam bahagianya syukur.

Karena bersama mereka kita diajak bermesra.

“Mereka mencintai Allah, dan Allah pun mencintainya. Mereka mencintai apa-apa yang dicintai Allah, dan membenci apa-apa yang dibenci-Nya. Mereka rela terhadap apapun yang diridhai-Nya, dan marah terhadap apapun yang mengundang murka-Nya. Mereka memerintahkan apapun yang diperintahkan Allah, dan melarang apapun yang dilarang-Nya. Mereka menghalalkan apapun yang dihalalkan Allah, dan mengharamkan apapun yang diharamkan-Nya.” (Salim A. Fillah tentang mereka, Mukminin)

Salam,

13 Agustus 2014

*gambar asli dari sini. Dan ilmu didapati dari Tafsir Ibnu Katsir.

KU TEMUKAN CINTA DENGAN RASA MALU

20140805-200808-72488048.jpg

Rasa malu adalah akhlak seorang wanita.
~

Kisahnya berawal dari sumber mata air sebuah negeri bernama Madyan. Di sana ada seorang laki-laki yang gagah nan perkasa sedang duduk berlelah di bawah pohon berdaun kecil.

Musa.

Nama laki-laki itu adalah Musa.

Lelahnya belum hilang. Keringatnya masih basah mengalir. Nafasnya memburu. Perutnya melilit oleh rasa lapar yang amat sangat.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Musa berjalan dari negeri Mesir ke negeri Madyan tanpa bekal makanan, kecuali sayur dan daun-daun pepohonan. Musa berjalan tanpa alas kaki. Karena ketika sampai negeri Madyan, rusak sudah sepasang sandalnya. Musa duduk di tempat yang teduh dan ia adalah makhluk pilihan Allah. Perutnya melekat ke punggungnya karena lapar. Dan hijau sayuran tak berguna bagi perutnya, Musa membutuhkan makanan.”

Ketika berteduh di bawah pohon, Musa melihat sekelompok manusia yang sedang meminumkan ternaknya. “Ketika mereka telah selesai,” demikian papar Abu Bakar Ibnu Syaibah dari ‘Umar bin al-Khaththab r.a di dalam Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Qashash: 23-24 “mereka hendak mengembalikan batu besar (sebagai penutup sumur) itu ke sumur tersebut dan tidak ada yang mampu mengangkatnya kecuali oleh 10 orang laki-laki.”

Kemudian Musa melihat dua wanita yang sedang menahan binatang ternaknya.

Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat seperti itu)?”
Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” (QS. 28: 23)

Musa.

Dalam lelah payahnya di negeri yang tak dikenali. Dalam lapar hausnya yang menguras energi. Musa masih sanggup menawari. Musa bantu kedua gadis Madyan itu.

Dari sinilah Musa disifati oleh salah seorang gadis itu sebagai orang yang kuat. (QS. 28: 26)

Musa kemudian mendatangi batu tersebut dan mengangkatnya seorang diri. Padahal bagi penduduk setempat, batu tersebut hanya dapat diangkat oleh 10 lelaki kuat.

Setelah Musa memberikan minum seember air yang mengenyangkan bagi kambing-kambing kedua wanita tersebut. Musa kembali meneju teduhannya.

Kemudian dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berdo’a: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. 28: 24)

“Lagi-lagi Musa membuktikan kekuatannya,” demikian tulis Salim A. Fillah di dalam buku Lapis-Lapis Keberkahan, “bahwa pria perkasa tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran dari manusia.”

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, dari ‘Atha bin as-Saib, ia berkata: “Ketika Musa berdo’a: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku,’ wanita itu lantas mendengarnya.”

Dalam kebaikan, ada alur yang Allah kehendakkan. Dia selalu membersamai orang-orang yang berbuat kebaikan.

Sampai di sini, kita telah belajar banyak hal dari Nabi Musa ‘alayhissalam.

Musa tidak tergoda untuk melampui batas niatnya untuk menolong gadis Madyan.

Musa dalam keterasingan memasrahkan kebaikan kepada Allah semata.

Musa mengajarkan adab dalam berdo’a.

Musa mengajarkan segalanya.

~

Sekarang, kita akan belajar cinta dalam rasa malu kepada gadis Madyan dalam surah Al-Qashash ini.

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, (QS. 28: 25)

Inilah jalan wanita terhomat. Tak centil, tak merayu, tak menggoda.

Sebagaimana diriwayatkan dari Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab r.a., ia berkata: “Dia datang dengan menutupkan pakaiannya ke wajahnya.”

Ibnu Abi Hatim berkata bahwa ‘Amr bin Maimun berkata, ‘Umar bin al-Khaththab r.a., ia berkata: “Dia datang berjalan dengan malu-malu dengan menutup pakaian ke wajahnya, dia bukanlah tipe wanita yang amat berani bukan pula wanita yang sering keluar rumah.”

Sanad shahih.

Gadis tersebut berjalan malu-malu. Menyingkapkan sebahagian pakaiannya tuj menutup muka. Sementara Musa dengan sigap menundukkan pandangannya. Lalu gadis tersebut berkata:

“Sesungguhnya ayahku memanggilmu, agar beliau dapat memberi balasan terhadap kebaikanmu yang telah memberi minum ternak kami.” (QS. 28: 25)

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa hal ini merupakan sikap beradab dalam bertutur kata, dimana gadis tersebut tidak memintanya secara mutlak, yang tidak menimbulkan rasa curiga.

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai siapa ayah gadis tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, salah satunya berpendapat bahwa ayahnya itu adalah Syu’aib ‘alayhissalam, seorang Nabi yang diutus kepada penduduk Madyan. Inilah pendapat yang mahsyur di kalangan banyak ulama. Juga dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri dan selainnya.

Musa kemudian memenuhi permintaan ayah gadis tersebut. Menujulah mereka ke rumah Nabi Syu’aib.

Ketika si gadis berjalan di depan. Musa mencegah. Maka dari sinilah, gadis tersebut mensifati Musa sebagai orang yang terpercaya. (QS. 28: 26)

“Berjalanlah di belakangku,” sahut Musa, “dan berilah isyarat terhadap arah yang mau kita tuju.” tulis Salim A. Fillah di dalam bukunya Lapis-Lapis Keberkahan. “Sungguh memang, betapa terpercaya lelaki muda yang tetap menjaga pandangannya, pada gadis asing jelita, yang mendatanginya untuk kemudian berjalan hanya berdua.”

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin Ishaq, dan yang selainnya berkata bahwasanya ketika wanita itu berkata: “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk pekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya,” maka ayahnya berkata kepadanya, “Apa yang kamu ketahui tentang hal itu?” Wanita itu berkata: “Dia telah mengangkat sebuah batu besar yang tidak mampu diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki. Dan saat aku datang bersamanya, aku berjalan di depannya, lalu ia berkata kepadaku: ‘Berjalanlah di belakangku.’ Jika ia berbeda jalan denganku, ia memberikan sebuah tanda dengan batu kerikil agar aku mengetahui kemana ia berjalan.”

“Yaa Abati, wahai ayah, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. 28: 26)

Sufyan ats-Tsauri berkata dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a., ia berkata: “Manusia paling cerdik adalah tiga orang; Abu Bakar ketika mengangkat ‘Umar (sebagai penggantinya), majikan Yusuf ketika ia berkata: ‘Berikanlah kepadanya tempat yang baik,’ dan wanita yang mendatangi Musa ketika berkata: ‘…(QS. 28: 26)…'”

Sedari itu, berubahlah hidup Musa. Sang pelarian dari negeri Mesir menemukan tambatan hidup di rumah seorang bapak tua dari negeri Madyan.

Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.” (QS. 28: 27)

Satu pendapat mengatakan, wanita itu adalah yang berjalan di belakang Musa.

~

Semoga secuil kisah dan ilmu ini dapat kita ambil pelajaran. Bahwa rasa malu adalah keniscayaan, bukan penghalang.

Rasa malu ada agar kita selalu pada jalur yang Allah kehendaki dan Allah ridhai.

Tak terasa, kita telah belajar banyak hal dari Quran Surah Al-Qashash ayat 21 hingga ayat 28.

Banyak cara untuk mempelajari Al-Qur’an.

Salam.

5 Agustus 2014

*sumber ilmu dari Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan buku Lapis-Lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah. Gambar asli dari sini.

MENYIKAPI RAMADHAN DALAM PERJALANAN

20140621-062414-23054329.jpg

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu. (QS. Al-Baqarah: 185)

Beribadah sepenuh kemampuan bukan sepenuh paksaan. Ingat idiom Manjadda wa jadda–sesiapa yang bersungguh-sungguh, (insyaAllah) akan berhasil jua? Ya, usahakan segala sesuatunya dengan sungguh-sungguh. Tetapi ingat, Jadduka laa kadduka–bersungguh-sungguh bukan berarti memaksakan diri.

Begitupun halnya kita menyikapi puasa Ramadhan di saat kita dalam perjalanan.

Karena puasa adalah ibadah, maka sifatnya adalah ittiba’ (mengikut), maka argumen-argumennya harus berdasar pada Al-Qur’an maupun Hadits. Hadits dapat berasal dari ucapan Rasulullah ﷺ sendiri, maupun dari para sahabat Nabi ﷺ.

Pertama, boleh-boleh saja kita berbuka (tidak puasa) pada saat dalam perjalanan. Dalam sunnah telah ditegaskan bahwa Rasulullah ﷺ, pernah keluar pada bulan Ramadhan untuk perang pembebasan kota Makkah. Beliau berjalan hingga sampai di al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang-orang untuk berbuka. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih.

Kedua, ada sebagian dari kalangan Sahabat dan Tabi’in yang mewajibkan berbuka ketika dalam perjalanan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT: “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. 2: 185)

Ketiga, berpuasa atau tidak merupakan pilihan masing-masing individu. Dari Abu Sa’id al-Khudri, rombongan pernah pergi bersama Rasulullah ﷺ pada bulan Ramadhan, ia menceritakan: “Di antara kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.” Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan hal yang wajib, niscaya Rasulullah ﷺ mengecam puasa sebagian dari mereka. Bahkan ditegaskan bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah berpuasa dalam keadaan seperti itu, berdasarkan hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Abu Darda’:

“Kami pernah berpergian bersama Rasulullah ﷺ pada bulan Ramadhan ketika musim panas sekali, sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah ﷺ dan ‘Abdullah bin Rawahah.”

Keempat, segolongan ulama di antaranya Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa puasa ketika dalam perjalanan itu lebih afdhal daripada berbuka. Hal itu didasarkan pada apa yang pernah dikerjakan Rasulullah ﷺ, sebagaimana disebutkan pada hadits di atas. Dan sekelompok ulama lainnya berpendapat, berbuka puasa ketika dalam perjalanan itu afdhal, sebagai realisasi rukhsah (keringanan), dan berdasarkan hadits bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan, maka beliau menjawab:

“Barang siapa yang berbuka, telah berbuat baik. Dan barang siapa tetap berpuasa, maka tidak dosa baginya.” (HR. Muslim)

Kelompok ulama yang lain berpendapat, keduanya sama saja. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Hamzah bin ‘Amr al-Aslami pernah bertanya: “Ya Rasulullah, aku sungguh sering berpuasa, apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan?” Maka Rasulullah ﷺ pun menjawab: “Jika engkau mau berpuasalah, dan jika mau berbukalah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Demikian ilmu yang dapat saya bagikan. Semoga menjadikan bertambahnya pengetahuan kita. Karena semakin berpengetahuan seseorang, semakin bijaklah dia menyikapi sesuatu. Sikapnya berdasar, argumennya kuat. Karena ia membaca. Maka jika kita menghadapi suatu perbedaan, lari lah ke Al-Qur’an dan Hadits. Dua hal ini telah dijamin bersih dari kesesatan.

Salam,

Yang Mengutip Ilmu.

*ilmu dari tafsir ibnu katsir QS. al-Baqarah: 185 | gambar dari screenshoot video ‘how beautiful it’s to travel’

DISETIAP COBAAN, ALLAH SELIPKAN KEBAIKAN

20140531-063857-23937750.jpg

Dalam hidup ini Allah SWT tidak hentinya memberikan ujian bagi kita tiap detik, tiap waktu. Baik berupa kebahagiaan maupun kesusahan, seperti halnya rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, hingga paceklik. Agar kita tahu seberapa besar keimanan yang kita punyai.

Namun dibalik itu semua, Allah SWT telah menyelipkan suatu kebaikan. Tinggal bagaimana penerimaan kita terhadap ujian tersebut, fokos pada ujiannya lalu merutukinya bahkan takabur terhadapnya, atau menelaah kebaikan-kebaikan seperti apa yang ada di dalamnya sehingga keluarlah rasa syukur dan menjelmalah rasa sabar.

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (QS. 2:155) (yaitu) orang-orang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” (QS. 2:156) Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 2:157)

Dan dalam surah yang lain:

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan mengujimu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantaramu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalnya. (QS. Muhammad: 31)

Ketika kita mendapatkan musibah, hendaknya kita membaca kalimat istirja’ yaitu “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un.” Bukankah kita mahfum bahwa diri ini adalah milik Allah SWT. Tentu Dia akan memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, Dia tidak akan menyia-nyiakan amalan hamba-Nya meski hanya sebesar biji sawi. Kecil tapi diperhatikan, diperhitungkan.

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Mahamensyukuri kebaikan, lagi Mahamengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 158)

Kita tahu bahwa diri ini hanyalah hamba di hadapan-Nya, dan kita akan kembali kepada-Nya kelak di akhirat. Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla memberitahukan mengenai apa yang diberikan kepada hamba-Nya itu, yaitu: “Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka.” Inilah pujian dari Allah SWT atas hamba-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Ummu Salamah, ia bercerita, pada suatu hari Abu Salamah mendatangiku dari tempat Rasulullah ﷺ, lalu ia menceritakan, “Aku mendengar ucapan Rasulullah ﷺ yang membuat aku merasa senang. Beliau bersabda: ‘Tidaklah seseorang dari kaum Muslimin ditimpa musibah, lalu ia membaca kalimat istirja’ (inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’un), kemudian mengucapkan Allaahumma jurnii fii mushiibatii wakhluflii khairan minhaa (Ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini dan berikanlah ganti kepadaku yang lebih baik darinya), melainkan akan dikabulkannya do’a itu.’

Ummu Salamah bertutur: “Kemudian aku menghafal do’a dari beliau ﷺ itu, dan ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku pun mengucapkan: innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un, dan mengucapkan: ‘Ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini dan berikanlah ganti kepadaku yang lebih baik darinya.’ Kemudian aku mengintrospeksi diri, dengan bertanya: ‘Dari mana aku akan memperoleh yang lebih baik dari Abu Salamah?’

Setelah masa iddahku berakhir, Rasulullah ﷺ meminta izin kepadaku. Ketika itu aku sedang menyamak kulit milikku, lalu aku mencuci tanganku dari qaradz (daun yang digunakan untuk menyamak). Lalu kuizinkan beliau ﷺ masuk dan kusiapkan untuknya bantal tempat duduk yang isinya dari sabut, maka beliaupun duduk di atasnya. Lalu beliau menyampaikan lamaran kepada diriku. Setelah selesai beliau berbicara, kukatakan: “Ya Rasulullah, kondisiku akan membuat Anda tak berminat. Aku ini seorang wanita yang pecemburu, maka aku takut Anda mendapat dari diriku sesutu, yang karenanya Allah akan mengadzabku, dan aku sendiri sudah tua, dan mempunyai banyak anak.” Maka beliau ﷺ bersabda: “Mengenai kecemburuanmu yang engkau sebutkan, maka semoga Allah melenyapkan dari dirimu. Dan usia tua yang engkau sebutkan, maka aku pun juga mengalami apa yang engkau alami. Dan mengenai keluarga yang engkau sebutkan itu, maka sesungguhnya keluargamu adalah keluargaku juga.”

Maka Ummu Salamah pun menyerahkan diri kepada Rasulullah ﷺ, kemudian beliau menikahinya, dan setelah itu Ummu Salamah pun berujar: “Allah telah memberikan ganti kepadaku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah ﷺ.”

Dalam hadist lain, dari Imam Ahmad, ia meriwayatkan, dari Fatimah binti Husain, dari ayahnya, Husain bin ‘Ali, dari Nabi ﷺ kepadaku, beliau bersabda: “Tidaklah seorang Muslim, laki-laki maupun perempuan ditimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, meski waktu sudah lama berlalu, kemudian ia membaca kalimat istirja’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un) untuknya, melainkan Allah akan memperbaharui pahala baginya pada saat itu, lalu Dia memberikan pahala seperti pahala yabg diberikan-Nya pada hari musibah itu menimpa.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dhai’iiful Jaami’ hadist ini dha’if sekali.)

Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Abu Sinan, ia menceritakan, “Aku sedang mengubur anakku. Ketika aku masih berada di liang kubur, tiba-tiba tanganku ditarik oleh Abu Thalhah al-Khaulani dan mengeluarkan diriku darinya seraya berucap: “Maukah aku sampaikan berita gembira untukmu?” “Mau.” Jawabnya. Ia berkata, adh-Dhahhak bin ‘Abdurrahman bin Arzab telah mengabarkan kepadaku, dari Abu Musa, Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah berfirman: ‘Hai malaikat maut, apakah engkau sudah mencabut nyawa anaka hamba-Ku? Apakah engkau mencabut nyawa anak kesayangannya dan buah hatinya?’ ‘Ya,’ jawab malaikat. ‘Lalu apa yang ia ucapkan?’ tanya Allah. Malaikat pun menjawab: ‘Ia memuji-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’.’ Maka Allah berfirman (kepada para malaikat): ‘Buatkan untuknya sebuah rumah di Surga, dan namailah rumah itu dengan Baitul Hamdi (rumah pujian).'” (Hadist ini diriwayatkan pula oleh Imam at-Tirmidzi, dari Suwaid bin Nashr, dari Ibnul Mubarak. Menurutnya hadist tersebut hasan gharib. Nama Abu Sinan adalah ‘Isa bin Sinan.)

Demikianlah, setiap detik, setiap waktu adalah ujian bagi kita, baik yang berupa kebahagiaan maupun yang berupa kesusahan. Nilainya adalah bagaimana kita mampu menyikapinya.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Salam,

Yang Mengutip Ilmu.

*isi tulisan saya ambil dari kitab Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hal 385-390, dalam pembahasan surah Al-Baqarah ayat 155-157. | sedangkan gambarnya saya ambil dari sini.

Kenaikan ‘Isa al-Masih Dalam Perspektif Al-Qur’an

“Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putera Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. (QS. 4: 157) Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 4: 158) Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (QS. 4: 159)

Sesungguhnya Allah SWT telah menegaskan, menampakkan, dan menjelaskan perkara tersebut di dalam al-Qur’anul ‘Azhim yang diturunkan kepada Rasul-Nya yang mulia, yang dikuatkan oleh berbagai mukjizat, bukti-bukti dan dalil-dalil yang jelas. Allah SWT Dzat yang Mahabenar perkataan-Nya, Rabb seluruh alam, Mahamengetahui berbagai rahasia dan perkara batin, Mahamengetahui rahasia di langit dan di bumi serta Mahamengetahui apa yang telah, sedang, dan akan terjadi, seandainya hal itu terjadi dan bagaimana terjadinya.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Tatkala Allah SWT hendak mengangkat ‘Isa ke langit, ia keluar menemui para Sahabatnya, saat itu di rumah tersebut terdapat 12 laki-laki hawariyyun. Beliau keluar dari sebuah mata air di rumah tersebut dan kepalanya meneteskan air. Beliau berkata: ‘Sesungguhnya di antara kalian ada orang yang kufur sebanyak 12 kali setelah beriman kepadaku.’ ‘Isa bertanya: ‘Siapakah diantara kalian yang mau diserupakan denganku dan menggantikan tempatku untuk dibunuh dan akan bersamaku dalam derajatku.’

Maka berdirilah seorang yang paling muda usianya di antara mereka, akan tetapi ‘Isa berkata: ‘Duduklah!,’ ‘Isa mengulang lagi pertanyaannya. Lalu pemuda itu pun kembali berdiri dan ‘Isa berkata: ‘Duduklah!.’ Ketiga kalinya pemuda itu berdiri dan berkata, ‘Saya.’ ‘Isa berkata: ‘Engkaulah orang itu.’

Lalu orang itu diserupakan dengan ‘Isa. Sedangkan ‘Isa diangkat oleh Allah dari ventilasi rumah itu menuju langit. Lalu orang Yahudi pun datang dan mereka berhasil menangkap laki-laki yang serupa dengan ‘Isa itu yang kemudian mereka bunuh dan salib. Lalu sebagian mereka kufur kepada ‘Isa 12 kali setelah beriman.

Mereka terpecah menjadi tiga kelompok:
Satu kelompok mengatakan bahwa dia adalah Allah, berada diantara kami sesuai kehendaknya dan sekarang naik ke langit, mereka adalah aliran Ya’qubiyyah.
Satu kelompok lain mengatakan dia adalah anak Allah yang berada bersama kami sesuai kehendaknya, kemudian diangkat oleh Allah kepada-Nya, dan inilah kelompok Nasthurriyah.
Sedangkan kelompok lain mengatakan bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang ada pada kami sesuai kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya kepada-Nya, inilah orang-orang Muslimin.
Dan kelompok kafir tersebut terus menindas kelompok Muslim, hingga mereka membunuh kelompok Muslim. Maka Islam terus senantiasa sirna dan pudar hingga Allah SWT mengutus Muhammad ﷺ.”
[Isnad ini shahih, bersambung ke Ibnu ‘Abbas, dan diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i, dari Abu Kuraib, dari Abu Mu’awiyah].

Demikian pula yang diceritakan oleh banyak ulama Salaf bahwa ‘Isa memang berkata kepada kaum Hawariyyun: “Siapakah di antara kalian yang mau diserupakan denganku dan bersedia menggantikan aku untuk dibunuh dan ia akan bersamaku di Surga.”

Menurut Ibnu Jarir, tidak ada seorang pun dari Ahlul Kitab yang tersisa setelah turunnya ‘Isa a.s., melainkan akan beriman kepadanya sebelum kematiannya (‘Isa a.s.). Dan tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang dikemukakan Ibnu Jarir tersebut adalah pendapat yang shahih, karena maksud dari rangkaian ayat-ayat di atas adalah dalam rangka menetapkan kebathilan pengakuan Yahudi yang mengatakan bahwa mereka telah membunuh dan menyalibnya. Juga bathilnya penerimaan begitu saja orang-orang Nasrani disebabkan oleh kebodohan mereka terhadap hal itu. Lalu, Allah mengabarkan bahwa kejadian yang sebenarnya bukanlah demikian, akan tetapi Allah SWT serupakan ia (‘Isa a.s.) kepada mereka, sehingga mereka membunuh orang yang serupa dengannya itu, dan mereka sebelumnya tidak meneliti terlebih dahulu hal itu. Kemudian dia (‘Isa a.s.) diangkat oleh-Nya dan akan tetap hidup, serta akan turun sebelum hari Kiamat.

Dari al-Bukhari rahimahullah, ia mengatakan dalam kitab Kisah Para Nabi. Di dalam Shahihnya dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Demi Rabb yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh telah dekat saat turunnya (‘Isa) Ibnu Maryam kepada kalian sebagai hakim yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus Jizyah, dan akan melimpah ruah harta benda (disebabkan keadilannya) sehingga tidak seorang pun mau menerimanya, dan sehingga satu kali sujud lebih baik baginya dari pada dunia dan seisinya.'”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa, Nabi ﷺ bersabda: “Para Nabi itu saudara seayah, sedangkan ibu mereka berbeda-beda dan agama mereka satu. Aku adalah manusia yang paling dekat dengan ‘Isa bin Maryam. Karena tidak ada Nabi antara dia dan aku. Dan dia akan turun, jika kalian melihatnya, maka kenalilah oleh kalian bahwa dia adalah laki-laki yang sedang tingginya, berkulit putih kemerah-merahan, dia memakai dua buah baju yang agak kuning, seakan di kepalanya meneteskan air walau tidak basah. Dia akan mematahkan salib, membunuh babi, menghapus Jizyah, dan menyeru manusia kepada Islam. Di zamannya, Allah akan menghancurkan seluruh agama kecuali Islam dan Allah akan menghancurkan al-Masih ad-Dajjal. Kemudian terciptalah keamanan di muka bumi, sehingga singa dengan unta merumput (di tempat yang sama) dan (demikian pula) macan dan sapi, juga serigala dan kambing, dan anak-anak kecil bermain-main dengan ular tanpa membahayakan mereka. Beliau tinggal selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum Muslimin menshalatkannya.” [Demikian pula riwayat Abu Dawud]

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan, dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Pada malam aku di-israa’-kan, aku bertemu dengan Musa.’ Lalu beliau ﷺ menyifatinya (Musa a.s.): ‘Ternyata dia adalah seorang laki-laki yang (aku kira beliau bersabda): tidak terlalu tinggi, memiliki rambut yang berombak, seakan-akan dia adalah seseorang dari Syanu’ah. Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Aku pun bertemu ‘Isa.’ Dan beliau ﷺ menyifatinya: ‘(Badannya) sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, (berkulit) kemerah-merahan, (rambutnya) seakan-akan baru keluar dari pemandian.'” (Dan seterusnya…)

Di dalam hadist ‘Abdullah bin ‘Umar riwayat Muslim (disebutkan), bahwa dia (‘Isa a.s.) akan tinggal selama tujuh tahun, wallaahu a’lam. Mungkin yang dimaksud dengan tinggalnya beliau di muka bumi selama 40 tahun, adalah total masa tinggalnya sebelum diangkat dan setelah turun. Karena, saat diangkat beliau berumur 33 tahun dalam riwayat shahih. Masalah ini diterangkan dalam sifat penghuni Surga, bahwa postur tubuh mereka seperti Adam, dan masa kelahiran ‘Isa, yaitu 33 tahun.

Dan Firman-Nya: “Dan pada hari Kiamat ‘Isa akan menjadi saksi mereka.” Qatadah berkata: “Ia bersaksi terhadap mereka, bahwa dia telah menyampaikan risalah Allah kepada mereka serta menetapkan ubudiyyah (ibadah) kepada Allah ‘Azzawajalla. Ayat ini seperti firman Allah SWT dalam surah al-Maa’idah: 116-118.

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang ilah selain Allah?’. ‘Isa menjawab: ‘Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahamengetahui perkara yang ghaib-ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: ‘Beribadahlah kepada Allah, Rabbku dan Rabbmu.’ Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka, dan Engkau adalah Mahamenyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.'”[QS. Al-Maa’idah: 116-118]

Demikianlah catatan ini saya bagikan, semoga menambah keimanan kita sebagai Muslim, dan menjadikan pelajaran bagi pembaca yang non-Muslim bahwa beginilah kami diajarkan dalam al-Qur’an, yang merupakan petunjuk (kebenaran) bagi kita semua.

Salam,

Yang Mengutip Ilmu

*isi saya nukil dari kitab Tafsir Ibnu Katsir jilid 2, hal. 565-580 dalam pembahasan QS. An-Nisaa’: 157-159

Berbuat Baik Karena Allah Sekaligus Sesuai Dengan Syari’at Allah

Baik kita buka mushaf kita di surah Al-Baqarah: 112.

“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)

Amal kebaikan akan diterima jika memenuhi dua syarat, yaitu pertama, harus didasarkan pada ketulusan karena Allah SWT semata, dan syarat yang kedua, harus benar dan sejalan dengan syari’at Allah.

Continue reading