Tulisan dibawah ini (termasuk tulisan-tulisan lainnya yang saya tulis: baik yang berserakan di whatsapp, dll sampai yang saya usahakan susun rapi di blog) tidak bermaksud untuk mempengaruhi cara pandang anda terhadap segala hal yang saya tulis, terlebih-lebih untuk menyinggung anda. Semua tulisan saya, fokus negatifnya adalah diri saya sendiri, sementara fokus positifnya adalah orang-orang yang saya kagumi—termasuk anda.
Suka Cita Kematian
Di ‘Hari Kematian’ sebagian masyarakat Meksiko merayakannya dengan jamuan dan festival di pekuburan. Di Tana Toraja kematian seseorang lebih meriah dibandingkan pesta kelahiran atau pesta pernikahan. Pemudanya sibuk menyembelih babi kemudian menampung darahnya di batang bambu, sementara para ibu memasak daging di wajan-wajan besar. Sebagian besar sisanya duduk-duduk di bawah tongkonan—rumah adat mereka— lalu asyik melihat sorak-sorai penduduk lainnya mengadu kerbau milik keluarga yang meninggal.
Di Batak ketika status kematiannya adalah saur matua, maka diadakanlah pesta. Ada organ yang berdenting, ada nyanyian yang menggenapi, ada tuak yang melengkapi. Keperluan teknis upacara, dan hal-hal di dalamnya diatur sedemikian rupa, menjadilah atmosfer kematian meriah adanya—kesedihan tergantikan kesibukan pesta.
Tentu yang saya maksud bukanlah suka cita demikian—dan tentu saya tidak bermaksud mengejek saudara saya di Tana Toraja atau di Batak atau di wilayah lain yang mengadakan upacara yang serupa.
~
“Mengapa aku harus tidak suka dibawa menghadap Dzat yang semua kebaikan terlihat berasal darinya?”
Pertanyaan retoris itu disampaikan oleh seorang badui yang sedang sakit, ia diberitakan akan meninggal lantaran sakitnya. Sebelum mengatakan hal tersebut ia bertanya, “Aku akan dibawa kemana?” “Menemui Allah.”
Amboi, siapakah yang tidak bersuka cita menemui Dzat yang menciptakannya?
Tentu tidak serta merta setiap manusia jika dipertemukan kepada Allah hatinya akan riang. Ada juga sebagian darinya yang ketakutan.
Lawakan Kematian
Anda pasti tahu Sule, Andre, atau setidaknya Srimulat. Beberapa scene lawakan mereka adalah lawakan kematian.
Pada saat adegan mati—karena lawakan—matinya tidak langsung jatuh bruk, mereka sapu dulu itu panggung, membersihkannya, lalu merebahkan diri pelan-pelan. Rileks dan tenang. Kematiannya dipersiapkan dengan baik—agar gelegak tawa memenuhi studio panggung mereka.
Tafakkur (perenungan) bagi saya tidak berdimensi, tidak tersekat oleh hal baik atau hal buruk, hal serius ataukah sekedar lawakan. Tafakkur bagi saya adalah tentang cara berpikir mengenai sesuatu hal yang kemudian diformulakan untuk kebaikan—diri sendiri maupun orang lain.
Hanya orang yang telah mempersiapkan kematiannya dengan baik yang akan bersuka cita menyambut kematiannya, sebagaimana riwayat badui di atas.
Persiapan akan kematian tidak sesaat saja, namun ia berproses selama hidupnya. ‘Ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku sebuah perkara yang dapat aku pegang.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Katakanlah, ‘Rabb-ku adalah Allah’, kemudian istiqamahlah.’
Di dalam Qs. Fushshilat [41]: 30-32, ketika datang kematian, demikian yang tertulis di dalam Tafsir Ibnu Katsir, para Malaikat mengatakan: allaa takhaafuu, janganlah kamu merasa takut—yaitu dari perkara akhirat yang akan dihadapi, wa laa tahzanuu, dan janganlah kamu merasa sedih—atas perkara dunia yang ditinggalkan, berupa anak, keluarga, ataukah harta. Wa absyiruu bil jannatil kuntum tuu’aduun, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kemudian mereka diberikan kabar gembira dengan hilangnya keburukan; dan tercapainya kebaikan.
Tidak ada satu pun peristiwa besar yang ditakuti manusia pada hari Kiamat, kecuali hal itu bagi seorang Mukmin merupakan penyejuk jiwa—karena hidayah yang telah diberikan Allah kepadanya dan karena perbuatan baik yang dilakukannya di dunia.
Di dalam hadits Ibnu Abi Hatim, Zaid bin Aslam berkata: “Mereka (para Malaikat) memberi kabar gembira ketika kematiannya; di dalam kuburnya; dan ketika dibangkitkan.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, niscaya Allah cinta menjumpainya. Dan barangsiapa yang membenci perjumpaan dengan Allah, niscaya Allah akan membencinya.”
Di dalam terusan hadits tersebut Rasulullah ﷺ bersabda, “… Jika seorang Mukmin berada dalam detik kematiannya, maka datanglah kabar gembira dari Allah Ta’ala tentang tempat kembali yang ditujunya. Maka tidak ada sesuatu (pun) yang lebih dicintainya daripada menjumpai Allah Ta’ala, maka Allah pun cinta menjumpainya. Dan sesungguhnya orang yang jahat atau kafir jika berada dalam detik kematiannya, maka datanglah berita tentang tempat kembali yang dituju berupa keburukan atau apa yang akan dijumpainya berupa keburukan, lalu dia benci bertemu dengan Allah, maka Allah pun benci menemuinya.” (Hadits ini shahih dan tercantum dalam kitab Shahih dari jalan yang lain).
Dalam hadits lain, Haiwah bin Syuraih mengabarkan kepada kami dari Abu Shakhr dari Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi, dia berkata, “Jika nafas terakhir seorang hamba sudah terkumpul di mulutnya hendak keluar, maka malaikat mendatanginya dan berucap, ‘Semoga keselamatan senantiasa tercurah untukmu, wahai kekasih Allah. Allah mengucapkan salam untukmu.’ Setelah itu malaikat tersebut mencabut nyawanya, sesuai dengan ayat ini, ‘(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), “Salaamunalaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”‘ (Qs. An-Nahl [16]: 32)”
Dikabarkan pula suka cita orang-orang yang telah meninggal, dalam pembahasan Qs. Ibrahim [14]: 27, di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan dimana para hamba yang memiliki jiwa yang baik, ruhnya keluar dengan wewangian kemudian diantar sampai langit ketujuh kemudian ditetapkannya sebagai penghuni ‘Illiyyin, lalu setelah itu dikembalikan lagi ke bumi kedalam jasadnya, lalu datanglah malaikat bertanya, setelah itu dilapangkan alam kuburnya, bergembira di dalamnya, kemudian hamba tersebut menginginkan segeranya Kiamat, “Ya Rabb, jadikanlah Kiamat, jadikanlah Kiamat (hari ini juga), supaya aku dapat kembali bertemu dengan keluarga dan harta bendaku.”
Adapun hamba yang tidak baik, berkebalikan, bau busuk memenuhinya, dan ia tidak diijinkan hingga langit ketujuh (lihat qs. Al-A’raaf: 40) kemudian ia dicampakkan dengan keras ke dasar bumi paling bawah yang bernama Sijjin (lihat qs. Al-Hajj: 31) lalu ruhnya dikembalikan ke jasadnya, kemudian ditanyai para Malaikat, setelah itu sempitlah alam kuburnya, dan ia berkata, “Ya Rabb, jangan engkau jadikan hari Kiamat.”
Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat ketika orang mengalami sakaratul maut, hingga ke alam kuburnya.
Sudah semestinya kita sambut kematian dengan suka cita, dan berbaik sangka, karena ini sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian meninggal dunia melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim 17/209, dan Abu Dawud 2097)
Sebagaimana para pelawak mempersiapkan kematiannya—di atas panggung lawakan: dengan baik, rileks, dan tenang.
Hidup ini memang sendau-gurau, namun ingat, seorang pelawak melakukan pekerjaan sendau-guraunya dengan keseriusan yang optimal.
~
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya.” (qs. 89: 27-28). Ia ridha kepada Allah, dan Allah ridha kepadanya serta menjadikannya selalu ridha.
“Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam Jannah-Ku.” (qs. 89: 29-30) yang demikian itu dikatakan kepada hamba-Nya saat sakaratul maut dan pada hari Kiamat kelak, sebagaimana para Malaikat menyampaikan berita gembira kepada orang Mukmin saat sakaratul maut dan ketika bangkit dari kuburnya.
ShadaqalLahul adzim.
Salam,
06 Maret 2015