Dakwah, pengajaran, serta pendidikan di dalam Islam bukanlah misi dagang, yang mana ilmu dan pengetahuannya dapat dihitung-hitung dengan kalkulator ekonomi-kapitalistis, yang berujung untung-rugi materi.
“Mencari ilmu itu diwajibkan atas kaum muslimin.” demikian Rasulullah ﷺ bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadits Anas bin Malik r.a.
Ketika Islam menjadikan belajar sebagai suatu kewajiban, maka ia tak berhenti di situ saja. Maka ia ada kelanjutannya, yaitu proses pendidikan.
Di dalam tulisan kali ini, saya ingin membagikan wawasan mengenai cara pandang Islam tentang dunia pendidikan.
Islam menjadikan perkara pendidikan adalah suatu hal yang sangat serius. Baik kepada laki-laki maupun perempuan. Dan proses belajar-mengajarnya ditekankan tanpa pamrih.
Rasulullah ﷺ telah meneladankan kepada kita semua dalam menyampaikan ilmu tanpa mengambil imbalan. Dan beliau ﷺ memberikan peringatan keras kepada para sahabat (dan kita) yang mengambil suatu imbalan di dalam proses pengajarannya.
Tercatat di dalam sejarah, bahwa para sahabat diutus oleh Nabi ﷺ untuk melakukan pengajaran di berbagai penjuru wilayah, tanpa mengambil upah dari siapapa pun juga. Sahabat Mus’ab bin Umair r.a. diutus Nabi ﷺ sebagai da’i di kota Madinah, lalu Mu’adz bin Jabal beliau utus ke Yaman, sementara Ja’far bin Abi Thalib r.a. diutus ke Habasyah, dan puluhan sahabat lainnya Nabi ﷺ utus ke berbagai wilayah. Di antara mereka tidak ada satu pun yang mengambil upah.
Prinsip kita di dalam dunia pendidikan-pengajaran adalah firman Allah:
Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS. Asy-Syu’araa [26]: 109)
Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah…’ (QS. Huud [11]: 29)
Pernah suatu ketika salah seorang sahabat yang bernama ‘Ubadah bin Shamit r.a. mendapatkan peringatan keras oleh Rasulullah ﷺ, meskipun bukan niatan ‘Ubadah untuk mengambil upah.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Syaibah r.a. Ia berkata, “Aku mengajari beberapa orang dari penduduk Suffah al-Kitab dan as-Sunnah, maka salah seorang dari mereka menghadiahkan untukku sebuah busur.” Aku berkata, “Bukan untuk harta aku melakukannya (mengajari), namun hanya untuk di jalan Allah. Maka aku harus mendatangi Nabi ﷺ dulu untuk menanyakannya kepada beliau. Kemudian sampailah aku kepada beliau, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada seorang yang memberiku busur karena aku mengajarinya Al-Qur’an. Dan aku tidak bertujuan untuk mencari harta, tetapi karena beramal di jalan Allah.” Nabi ﷺ lalu bersabda, “Jika engkau mau memakai kalung dari neraka, maka ambil saja.”
Disebutkan juga di dalam sejarah, bahwa anak-anak kaum muslimin yang mereka mengisi masjid-masjid, sekolah-sekolah untuk mencari ilmu dan belajar, mereka tidak mengambil upah dari jerih payah pengajaran mereka. Bahkan, mereka selama masa belajar berada di bawah tanggungan pemerintah. Tidak hanya itu, para ulama salaf pun memperingatkan orang yang sengaja memberikan pengajaran dan pengarahan dengan mengambil upah.
Imam al-Ghazali mengatakan, “Para pendidik hendaklah mengikuti pemegang syariat, yaitu Nabi ﷺ. Beliau tidak meminta upah atas pengajaran ilmunya. Tidak boleh mengumpamakannya dengan pemberian dan imbalan. Seharusnya ia memberikan ilmu itu karena mencari ridha Allah.”
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Mu’jam Al-Kabir dari hadits Al-Qamah dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, pada suatu hari Rasulullah ﷺ berkhotbah, kemudian beliau memuji beberapa kelompok kaum muslimin dengan kebaikan. Beliau bersabda, “Kenapa banyak sekali orang yang tidak mau memberikan pemahaman kepada tetangganya dan tidak mau mengajarinya, tidak memberikan peringatan kepada mereka, tidak menyuruh dan tidak melarang mereka. Dan mengapa banyak orang yang tidak mau belajar dari tetangga mereka, tidak mengambil pemahaman dan peringatan dari mereka. Demi Allah, hendaknya suatu kaum itu mengajari tetangga mereka, memberikan pemahaman, dan peringatan kepada mereka. Dan hendaklah suatu kaum itu belajar dari tetangganya, mengambil pemahaman dan peringatan dari mereka, ataukah aku harus mempercepat siksaan terhadap mereka?” (Hadist ini dha’if atau lemah, dari Al-Bukhari, Al-Majma’: 1/164; Al-Haitami, Al-Majma’: 1/164. Namun begitu isinya baik)
Memang inilah Islam adanya dalam memandang dunia pendidikan.
Islam tidak memungut biaya pendidikan, baik kepada pejabat pemerintah maupun kepada tokoh masyarakat, apalagi rakyat. Oleh karena itu, orang yang hendak mengajar harus menetapkan niat hanya mengharap wajah Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, dan mengharapkan ridha-Nya. Hasil dari semua itu adalah manusia akan berduyun-duyun untuk menerima ilmu dan mau belajar dengan bentuk yang tidak ada tandingannya sepanjang sejarah.
Seorang cendikiawan berkata, “Sesungguhnya negara Islam telah mendahului bangsa-bangsa di seluruh dunia dalam memberikan hak belajar secara gratis tanpa pilih kasih. Pintu sekolah semuanya terbuka bagi semua bangsa, baik di masjid-masjid, di tempat-tempat belajar, maupun di tempat-tempat umum. Di semua negara yang telah dimasuki Islam, kita bisa melihat peninggalan pengajaran mereka secara bebas. Misalnya di Al-Azhar Asy-Syarif, Darul Ulum, dan semua sekolah agama. Para siswa di sana mendapat bantuan biaya untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka, seperti dilakukan oleh banyak negara saat ini secara menyeluruh di berbagai wilayah.” (Dari majalah At-Tamaddun Al-Islami (Modernisasi Islam), oleh ustadz Mahmud Mahdi al-Istanbuli, hal. 422)
Tentu kita akan bertanya, kalau ada seorang da’i, pengajar, pendidik, trainer, atau bahkan penulis buku (yang menggunakan buku sebagai media pengajaran) yang terkosentrasi dengan aktivitas mendidik-mengajar saja lantas dari mana mereka mencari penghasilan? Apakah yang demikian diperbolehkan mengambil upah dari kegiatannya mengajar dan mendidik?
Dari Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin, ia berkata, “Demikian juga seorang guru hendaknya mengambil sekadar yang biasa mencukupi kebutuhannya dikarenakan dirinya sudah tidak mempunyai kesempatan mencari penghasilan, dan hanya untuk mengajarkan ilmu. Dengan demikian, tujuannya hanya menyebarkan ilmu dan pahala akhirat. Dan dia diperbolehkan mengambil upah sekadarnya untuk memenuhi tujuannya itu.”
Abu al-Hasan berkata, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Qabisi, “Aku pernah mendengar cerita tentang Ibnu Wahab bahwa ia berkata, ‘Pada suatu ketika, aku duduk di hadapan Malik. Pada waktu itu datanglah seorang guru yang mengajarkan al-Kitab. Guru itu berkata kepadanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, sesungguhnya aku ini adalah guru anak-anak kecil, dan bahwa sesuatu telah sampai kepadaku. Aku memang tidak suka untuk menentukan syarat (upah), tetapi manusia tidak mencukupi keperluanku. Mereka tidak memberikan kepadaku sebagaimana orang-orang dahulu memberikannya. Aku harus menanggung kebutuhan keluargaku sedangkan aku tidak memiliki pekerjaan lain selain mengajar.’ Malik berkata kepadanya, ‘Pergilah dan tentukan syarat mengajarmu.’ Kemudian orang itu pergi.
Maka kemudian teman-teman duduknya berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, engkau memerintahkan kepadanya untuk menentukan syarat dalam mengajar?’ Malik berkata kepadanya, ‘Ya, siapa lagi nanti yang akan memperbaiki anak-anak kita? Siapa yang mendidik mereka untuk kita? Kalau bukan para guru, apa yang bisa kita lakukan kalau begini?'”
Pengajar, pendidik harus ada sebagaimana pemimpin. Kita tidak bisa berjalan tanpa mereka.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sahnun dari Sufyan Ats-Tsauri bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Ada tiga golongan manusia yang harus ada bersama mereka. Pertama, seorang amir (penguasa) yang menjadi pemutus perkara di antara mereka. Jika tidak ada, niscaya manusia akan saling memangsa satu sama lainnya. Kedua, pembeli dan penjual mushaf Al-Qur’an. Sebab, jika tidak didapati niscaya kitab Allah akan rusak atau hilang. Ketiga, harus didapati seorang guru yang mengajar anak-anak mereka dan mengambil upah dari mengajarnya itu. Karena, kalau tidak karena guru niscaya manusia akan buta huruf.”
Siapapun pengajar dan pendidik baik itu seorang da’i, trainer, motivator, guru, penulis, dsb diperbolehkan mengambil upah, namun dengan syarat yaitu sekadar mencukupi kebutuhannya. Tidak lebih tidak kurang.
Dulu para sahabat sedang melakukan sebuah perjalanan. Tatkala mereka memasuki sebuah kampung di wilayah Arab, para sahabat meminta bantuan kepada penduduk memberi makan kepada mereka, namun para penduduk menolak.
Rasa lapar terlilit di masing-masing perut para sahabat, lalu terdengar siar kabar bahwa pemuka kaum tersebut terkena sengatan ular. Para penduduk telah berupaya mengobati pemimpin mereka tapi sia-sia.
Salah seorang dari penduduk pun berkata, “Sebaiknya kalian mendatangi rombongan yang sedang singgah di kampung kita ini, mudah-mudahan mereka mempunyai sesuatu yang bisa untuk mengobatinya.”
Kemudian utusan penduduk tersebut mendatangi rombongan para sahabat, lalu bertanya, “Wahai para musafir, sesungguhnya kepala suku kami tersengat ular dan kami telah berupaya untuk mengobatinya namun sia-sia. Apakah di antara kalian memiliki sesuatu yang bisa digunakan untuk mengobatinya?” Salah seorang dari para sahabat berkata, “Ya, aku akan meruqyahnya. Namun, demi Allah kami telah meminta jamuan kalian tetapi kalian menolaknya. Kami tidak akan mengobatinya sebelum engkau memberikan kepada kami imbalan.”
Kemudian setelah bersepakat untuk memberikan imbalan beberapa ekor kambing, orang tersebut berangkat menemui pemuka kaum yang sakit tersebut. Ia kemudian menyemburkan ludah di atas anggota tubuhnya yang luka sambil membaca, “Alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin (Al-Fatihah). Pemuka kaum tersebut tiba-tiba bagaikan terlepas dari ikatan, kemudian langsung bisa berjalan seketika tanpa merasakan sakit lagi. Ia kemudian berkata, “Penuhilah imbalan yang telah kalian sepakati kepada rombongan tersebut.” Salah seorang rombongan berkata, “Bagikanlah.” Orang yang meruqyah itu berkata, “Jangan engkau lakukan hingga kita menanyakannya kepada Nabi ﷺ.”
Kemudian kami menceritakan apa yang terjadi lalu menanyakan kepada beliau, lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Bagaimana kalian tahu kalau Al-Fatihah itu bisa dijadikan obat?” Beliau bersabda lagi, “Kalian telah benar, bagikanlah (kambingnya) dan berilah aku bagiannya.” Kemudian Nabi ﷺ tertawa. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, Nabi ﷺ bersabda:
“Imbalan yang paling berhak kalian dapatkan adalah lantaran dari Kitabullah.” (HR. Al-Bukhari).
Pembolehan mengambil upah dalam pengajaran berdasarkan hadits di atas terkait dengan beberapa hal:
Pertama, para sahabat saat itu sedang dalam perjalanan dengan keadaan lapar, buktinya meminta bantuan penduduk untuk menolong menjamunya.
Kedua, konteks hadits tersebut menunjukkan bahwa penduduk kampung tersebut bukanlah muslim, buktinya mereka menolak memberikan pertolongan rombongan para sahabat itu.
Ketiga, upah atau imbalan yang disepakati merupakan timbal balik dari permintaan penduuk untuk mengobati kepala suku mereka, bukan semata-mata upah karena para sahabat ingin mengajarkan Al-Qur’an.
Berdasarkan tinjauan tersebut, Rasulullah ﷺ akhirnya membolehkan mengambil imbalan atau upah. Sebagai belas kasih dan pemulian kepada para sahabat, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya imbalan yang paling berhak kalian dapatkan adalah lantaran dari Kitabullah.” Maksudnya, imbalan yang paling berhak yang mereka dapatkan adalah lantaran karena mereka mengobati sengatan binatang dengan meruqyah melalui Kitabullah.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa syariat Islam pada dasarnya tidak memperbolehkan mengambil upah atas pengajaran, kecuali bila memang ada perkara-perkara darurat yang mengharuskan mengambil upah.
Tentu kalau ada ustadz, da’i, trainer, atau apapun sebutannya, jika di dalam proses mengajar dan mendidik umat malah ‘berdagang’ dengan berjualan ilmu serta pengetahuan, dan dengan omzet puluhan hingga ratusan juta rupiah, mereka jelas-jelas sedang tidak membuktikan baiknya Islam, bahkan mereka dengan tegas sedang menyelingkuhi Rasulullah ﷺ.
Misalnya saja saya pernah mendengar seorang ustadz ternama dari Jakarta yang berapi-api mengajak kepada para jamaah untuk meneladani Rasulullah secara konsekuen dan konsisten. “Rasul hidupnya sederhana, beliau hanya punya tiga baju, rumah beliau hanya type 21, sehari kenyang dua hari lapar dan perut beliau diganjal batu…bla…bla…dst”, demikian khotbahnya dengan fasihnya mengutip ayat-ayat Al Quran.
Namun begitu selesai pengajian, manajernya sudah sibuk menemui sang “penanggap” ustadz tersebut, untuk menjalankan misi dagang “dakwah” yang omzetnya miliaran rupiah. Maka sang ustadz pun pulang naik BMW, Mercy, Lexus, dan aneka kemewahan dunia lainnya. Bukan berarti naik BMW terbaru tidak boleh, namun ketika ia sudah memperdagangkan dakwahnya itu dengan konteks perhitungan ekonomi-kapitalistis, maka itu menjadi tidak etis. Lalu mana “royalti”-nya Rasulullah? Bukankah kata-kata beliau dikutipnya untuk memperkaya diri? (Dikutip dari tulisan pak Saratri, kenduri cinta)
Salam,
1 September 2014
*diilmui dari buku Tarbiyatul Aulad Fil Islam karya DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan. Gambar dari sini.