AS-SAWAD AL A’ZHAM (KELOMPOK BESAR); JAMA’AH; DAN DEMOKRASI

Di era demokrasi ini sudah barang tentu yang paling banyak dan paling besar adalah yang menang. Tidak hanya di dunia politik, bahkan hampir di seluruh sendi kehidupan.

Tiap-tiap mereka yang asing, menyendiri, kecil, tidak populer, dan berbeda dari yang kebanyakan, selalu ditafsirkan negatif, nyleneh, sesat, dan tidak mungkin akan menang.

Hal ini sangat besar kemungkinan disalah gunakan.

Senjata paling kekar saat ini adalah media. Siapapun yang dapat menggiring opini masyarakat, ummat, jama’ah, dialah yang akan menang—konsekuensi dari demokrasi yang tidak jelas.

Apa Yang Dimaksud Dengan Jama’ah

“Aku pernah menemani Mu’adz di Yaman.” demikian Amr bin Maimun Al-Audi berkata di dalam Bab Rahasia Hati Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. “Aku lalu berpisah dengannya ketika ia meninggal dunia dan dikubur di Syam. Sesudah Mu’adz meninggal, aku menemani manusia yang paling ahli fikih, yaitu Abdullah bin Mas’ud r.a. Aku mendengar ia berkata, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh kepada jama’ah, karena tangan Allah berada di atas jama’ah.’ Pada hari yang lain, aku mendengar Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, ‘Suatu saat nanti akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin yang menunda shalat dari waktunya, maka shalatlah tepat pada waktunya, karena shalat adalah kewajiban, kemudian shalatlah bersama mereka, karena ia ibadah sunnah bagi kalian.'”

Amr bin Maimun Al-Audi melanjutkan, “Aku kemudian berkata, ‘Hai sahabat-sahabat Muhammad, aku tidak tahu apa yang kalian katakan kepada kami? Apa maksudnya? Engkau menyuruhku berpegang teguh kepada jama’ah dan menganjurkanku kepadanya, kemudian engkau mengatakan, ‘Shalatlah sendiri, karena shalat adalah kewajiban fardhu, kemudian shalatlah bersama jama’ah, karena ia adalah ibadah sunnah?'”

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Hai Amr bin Maimun, aku pikir engkau manusia yang paling ahli fikih di desa ini. Tahukah engkau yang dimaksud dengan jama’ah?”

Amr bin Maimun menjawab, “Tidak.”

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Sesungguhnya jama’ah adalah sesuatu yang sesuai dengan kebenaran, kendati engkau sendirian di dalamnya.”

Nu’aim bin Hammad berkata, “Maksudnya, jika jama’ah telah rusak, maka engkau hendaknya berpegang teguh kepada sesuatu yang ada pada jama’ah sebelum jama’ah itu rusak, kendati engkau sendirian di dalamnya, karena sesungguhnya ketika itu engkau adalah jama’ah.”

Abu Syamah dan Mubarak dan Hasan Basri berkata, “Sunnah, dan Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, berada di antara orang yang berlebih-lebihan dengan orang yang keras, maka bersabarlah terhadap Sunnah. Mudah-mudahan kalian dirahmati oleh Allah. Sesungguhnya pengikut Sunnah jumlahnya sedikit pada zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Mereka tidak ikut-ikutan dengan orang-orang mewah dalam kemewahan mereka dan orang-orang ahli bid’ah dalam bid’ah mereka. Mereka bersabar terhadap Sunnah mereka hingga mereka berjumpa dengan Allah. Kalian hendaknya seperti itu.”

Muhammad bin Aslam At-Tusi adalah seorang imam yang diakui keimamannya. Kedudukannya tinggi, dan merupakan manusia yang paling konsekuen dengan Sunnah pada zamannya. Ia berkata, “Tidaklah aku mendapatkan Sunnah Rasulullah ﷺ melainkan aku segera mengamalkannya. Sungguh, aku terbiasa thawaf di Baitullah di atas kendaraan. Ketika aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba salah seorang dan orang berilmu pada zamannya ditanya tentang maksud as-sawad al a’zham (kelompok besar) yang disebutkan di dalam hadits, ‘Jika manusia berbeda pendapat, maka kaliam berpegang teguh kepada as-sawad al a’zham (kelompok besar).’ Orang berilmu tersebut lalu menjawab, ‘Muhammad bin Aslam At-Tusi as-sawad al a’zham (kelompok besar).'”

~

Yang perlu saya garis bawahi di sini bahwa yang disebut jama’ah; ummat; bahkan demokrasi adalah segala sesuatu yang bersesuaian dengan kebenaran—yang tidak berdimensi kepada kebenaran orang banyak ataukah kebenaran beberapa orang.

Di sinilah tugas kita untuk menjaga mripat kita agar mampu melihat sejatinya kebenaran.

Salam,

08 Maret 2015

SUKA CITA KEMATIAN

IMG_2597.JPG

Tulisan dibawah ini (termasuk tulisan-tulisan lainnya yang saya tulis: baik yang berserakan di whatsapp, dll sampai yang saya usahakan susun rapi di blog) tidak bermaksud untuk mempengaruhi cara pandang anda terhadap segala hal yang saya tulis, terlebih-lebih untuk menyinggung anda. Semua tulisan saya, fokus negatifnya adalah diri saya sendiri, sementara fokus positifnya adalah orang-orang yang saya kagumi—termasuk anda.

Suka Cita Kematian

Di ‘Hari Kematian’ sebagian masyarakat Meksiko merayakannya dengan jamuan dan festival di pekuburan. Di Tana Toraja kematian seseorang lebih meriah dibandingkan pesta kelahiran atau pesta pernikahan. Pemudanya sibuk menyembelih babi kemudian menampung darahnya di batang bambu, sementara para ibu memasak daging di wajan-wajan besar. Sebagian besar sisanya duduk-duduk di bawah tongkonan—rumah adat mereka— lalu asyik melihat sorak-sorai penduduk lainnya mengadu kerbau milik keluarga yang meninggal.

Di Batak ketika status kematiannya adalah saur matua, maka diadakanlah pesta. Ada organ yang berdenting, ada nyanyian yang menggenapi, ada tuak yang melengkapi. Keperluan teknis upacara, dan hal-hal di dalamnya diatur sedemikian rupa, menjadilah atmosfer kematian meriah adanya—kesedihan tergantikan kesibukan pesta.

Tentu yang saya maksud bukanlah suka cita demikian—dan tentu saya tidak bermaksud mengejek saudara saya di Tana Toraja atau di Batak atau di wilayah lain yang mengadakan upacara yang serupa.

~

“Mengapa aku harus tidak suka dibawa menghadap Dzat yang semua kebaikan terlihat berasal darinya?”

Pertanyaan retoris itu disampaikan oleh seorang badui yang sedang sakit, ia diberitakan akan meninggal lantaran sakitnya. Sebelum mengatakan hal tersebut ia bertanya, “Aku akan dibawa kemana?” “Menemui Allah.”

Amboi, siapakah yang tidak bersuka cita menemui Dzat yang menciptakannya?

Tentu tidak serta merta setiap manusia jika dipertemukan kepada Allah hatinya akan riang. Ada juga sebagian darinya yang ketakutan.

Lawakan Kematian

Anda pasti tahu Sule, Andre, atau setidaknya Srimulat. Beberapa scene lawakan mereka adalah lawakan kematian.

Pada saat adegan mati—karena lawakan—matinya tidak langsung jatuh bruk, mereka sapu dulu itu panggung, membersihkannya, lalu merebahkan diri pelan-pelan. Rileks dan tenang. Kematiannya dipersiapkan dengan baik—agar gelegak tawa memenuhi studio panggung mereka.

Tafakkur (perenungan) bagi saya tidak berdimensi, tidak tersekat oleh hal baik atau hal buruk, hal serius ataukah sekedar lawakan. Tafakkur bagi saya adalah tentang cara berpikir mengenai sesuatu hal yang kemudian diformulakan untuk kebaikan—diri sendiri maupun orang lain.

Hanya orang yang telah mempersiapkan kematiannya dengan baik yang akan bersuka cita menyambut kematiannya, sebagaimana riwayat badui di atas.

Persiapan akan kematian tidak sesaat saja, namun ia berproses selama hidupnya. ‘Ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku sebuah perkara yang dapat aku pegang.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Katakanlah, ‘Rabb-ku adalah Allah’, kemudian istiqamahlah.’

Di dalam Qs. Fushshilat [41]: 30-32, ketika datang kematian, demikian yang tertulis di dalam Tafsir Ibnu Katsir, para Malaikat mengatakan: allaa takhaafuu, janganlah kamu merasa takut—yaitu dari perkara akhirat yang akan dihadapi, wa laa tahzanuu, dan janganlah kamu merasa sedih—atas perkara dunia yang ditinggalkan, berupa anak, keluarga, ataukah harta. Wa absyiruu bil jannatil kuntum tuu’aduun, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kemudian mereka diberikan kabar gembira dengan hilangnya keburukan; dan tercapainya kebaikan.

Tidak ada satu pun peristiwa besar yang ditakuti manusia pada hari Kiamat, kecuali hal itu bagi seorang Mukmin merupakan penyejuk jiwa—karena hidayah yang telah diberikan Allah kepadanya dan karena perbuatan baik yang dilakukannya di dunia.

Di dalam hadits Ibnu Abi Hatim, Zaid bin Aslam berkata: “Mereka (para Malaikat) memberi kabar gembira ketika kematiannya; di dalam kuburnya; dan ketika dibangkitkan.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, niscaya Allah cinta menjumpainya. Dan barangsiapa yang membenci perjumpaan dengan Allah, niscaya Allah akan membencinya.”

Di dalam terusan hadits tersebut Rasulullah ﷺ bersabda, “… Jika seorang Mukmin berada dalam detik kematiannya, maka datanglah kabar gembira dari Allah Ta’ala tentang tempat kembali yang ditujunya. Maka tidak ada sesuatu (pun) yang lebih dicintainya daripada menjumpai Allah Ta’ala, maka Allah pun cinta menjumpainya. Dan sesungguhnya orang yang jahat atau kafir jika berada dalam detik kematiannya, maka datanglah berita tentang tempat kembali yang dituju berupa keburukan atau apa yang akan dijumpainya berupa keburukan, lalu dia benci bertemu dengan Allah, maka Allah pun benci menemuinya.” (Hadits ini shahih dan tercantum dalam kitab Shahih dari jalan yang lain).

Dalam hadits lain, Haiwah bin Syuraih mengabarkan kepada kami dari Abu Shakhr dari Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi, dia berkata, “Jika nafas terakhir seorang hamba sudah terkumpul di mulutnya hendak keluar, maka malaikat mendatanginya dan berucap, ‘Semoga keselamatan senantiasa tercurah untukmu, wahai kekasih Allah. Allah mengucapkan salam untukmu.’ Setelah itu malaikat tersebut mencabut nyawanya, sesuai dengan ayat ini, ‘(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), “Salaamunalaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”‘ (Qs. An-Nahl [16]: 32)”

Dikabarkan pula suka cita orang-orang yang telah meninggal, dalam pembahasan Qs. Ibrahim [14]: 27, di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan dimana para hamba yang memiliki jiwa yang baik, ruhnya keluar dengan wewangian kemudian diantar sampai langit ketujuh kemudian ditetapkannya sebagai penghuni ‘Illiyyin, lalu setelah itu dikembalikan lagi ke bumi kedalam jasadnya, lalu datanglah malaikat bertanya, setelah itu dilapangkan alam kuburnya, bergembira di dalamnya, kemudian hamba tersebut menginginkan segeranya Kiamat, “Ya Rabb, jadikanlah Kiamat, jadikanlah Kiamat (hari ini juga), supaya aku dapat kembali bertemu dengan keluarga dan harta bendaku.”

Adapun hamba yang tidak baik, berkebalikan, bau busuk memenuhinya, dan ia tidak diijinkan hingga langit ketujuh (lihat qs. Al-A’raaf: 40) kemudian ia dicampakkan dengan keras ke dasar bumi paling bawah yang bernama Sijjin (lihat qs. Al-Hajj: 31) lalu ruhnya dikembalikan ke jasadnya, kemudian ditanyai para Malaikat, setelah itu sempitlah alam kuburnya, dan ia berkata, “Ya Rabb, jangan engkau jadikan hari Kiamat.”

Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat ketika orang mengalami sakaratul maut, hingga ke alam kuburnya.

Sudah semestinya kita sambut kematian dengan suka cita, dan berbaik sangka, karena ini sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian meninggal dunia melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim 17/209, dan Abu Dawud 2097)

Sebagaimana para pelawak mempersiapkan kematiannya—di atas panggung lawakan: dengan baik, rileks, dan tenang.

Hidup ini memang sendau-gurau, namun ingat, seorang pelawak melakukan pekerjaan sendau-guraunya dengan keseriusan yang optimal.

~

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya.” (qs. 89: 27-28). Ia ridha kepada Allah, dan Allah ridha kepadanya serta menjadikannya selalu ridha.

“Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam Jannah-Ku.” (qs. 89: 29-30) yang demikian itu dikatakan kepada hamba-Nya saat sakaratul maut dan pada hari Kiamat kelak, sebagaimana para Malaikat menyampaikan berita gembira kepada orang Mukmin saat sakaratul maut dan ketika bangkit dari kuburnya.

ShadaqalLahul adzim.

Salam,

06 Maret 2015

ISLAM KW

Kalau Rasulullah ﷺ itu Islamnya beneran. Tidak KW alias tiruan. ‘Umar bin al-Khaththab r.a pun demikian, setelah masuk Islam, Islamnya juga beneran.

Bilal; Abdurrahman bin awf, dan para sahabat lainnya juga, Islamnya beneran. Maka kepada mereka, kita akan melihat Islam yang sebenar-benarnya Islam.

Kalau saya? 🙆 Hhe, Islamnya KW.

Namanya KW alias tiruan, ya kalau dibenturkan kepada hal-hal yang prinsip, retak.

~

“Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku perkara yang harus aku jaga.”

Beliau bersabda:
قل ربّي الله ثمّ استقم

“Katakanlah: ‘Rabbku Allah,’ kemudian beristiqamahlah.”

11 Oktober 2014

LILLAH; BILLAH; FILLAH SECARA KAFFAH

Tulisan ini sebenarnya merupakan reaksi saya kepada pimpinan pembangunan SDIT dan tokoh majlis suatu organisasi Islam legal di bawah naungan MUI, yang mana pada malam itu sedang membahas bantuan pengadaan komputer dari sebuah instansi bank konvensional.

Saya share di sini, dan saya ijinkan orang lain untuk membacanya.

Prolog:
Organisasi Islam tersebut hendak membangunan sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) berlantai tiga di daerah dimana saya bekerja. Pada bulan Agustus lalu mengajukan proposal bantuan pengadaan komputer dalam program BRI PEDULI. Singkat cerita, proposal tersebut tembus, dan program BRI PEDULI siap membantu. Dengan beberapa syarat.

Ketika pembahasan mengenai perlengkapan pencairan dana telah selesai, jiwa brandal saya tiba-tiba menggoda untuk masuk dan memberikan pendapat ke panitia maupun ketua majlis (cabang) agar menolak bantuan tersebut.

Menolak bantuan dana yang sudah di depan mata? Gila.

Berikut adalah tulisan, yang saya sampaikan di dalam grup whatsapp kepanitiaan pembangunan SDIT. Saya share, agar tulisan tersebut dapat diambil ilmunya. Sebagai cermin diri bahwa pengamalan LiLlah, BiLlah, FiLlah secara Kaffah memang amat susah (baca: butuh perjuangan.)

****

Bagaimana bisa SDIT meminta bantuan kepada suatu instansi yang menjalankan bisnisnya dengan riba, sementara bapak-bapak setiap minggunya, setiap waktunya meneladankan kepada saya dan warga yang lainnya agar sebisa mungkin menghindari riba.

Islam adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hendaknya para pembimbing dan kita semua agar ikhlas, sadar, paham terhadap Islam, mau-mampu membela Islam, berjihad fi sabilillah, menegakkan hukum-hukum-Nya, dan tidak mempedulikan celaan bahkan bantuan dari instansi atau orang lain (yang mana kita sadar) bantuan tersebut berasal dari hal yang tidak thayyib.

Bukankah begitu yang diteladankan oleh ustadz-ustadz di M? Islam secara keseluruhan.

Bukan menjadikan Islam pecah-pecah. Ambil sebagian, abaikan sebagian. Ada yang fokus kepada pendidikan penyucian jiwa (tauhid), tapi sebaliknya meremehkan perintah untuk beramar makruf dan nahi mungkar. Ada yang fokus kepada simbol-simbol Islam, memelihara jenggot maupun berjilbab, namun di sisi lain mengabaikan penegakan kalimat Allah melalui hukum-hukum Allah. Ada yang fokus untuk memberikan pengarahan kepada pelajaran agama, tetapi meremehkan aspek dakwah dan gerakan jihad. Dan menganggap, dengan hal itu ia telah menolong Islam serta memasyaratkan Islam kepada masyarakat.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan),”

Saya tidak tahu dan tidak paham, apakah ayat tersebut ditujukan kepada orang lain ataukah kepada saya, ataukah kepada tiap-tiap mukmin.

“dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. 2:208)

SDIT ruhnya adalah Islam, berangkat dari nilai-nilai Islam. Asal dan tujuannya adalah LiLlah, BiLlah, FiLlah. Maka sudah semestinya harus dilahirkan dan dibesarkan dengan hal-hal yang halal dan dengan hal-hal yang thayyib.

Saya mohon maaf sebelumnya, jika sekiranya tulisan ini mengendurkan perjuangan bapak-bapak. Saya mengingatkan ini bukan berarti saya mampu untuk membantu SDIT dengan kisaran dana tersebut. Namun tulisan ini sebagai bentuk ikhtiar saya untuk saling mengingatkan. Pendapat ini boleh diambil boleh juga tidak, karena saya tidak mengerti betul tentang riba. Boleh jadi tulisan ini hanyalah godaan syaithan kepada saya agar bapak-bapak menolak bantuan tersebut. Akhirnya kita tidak mendapatkan apa-apa.

Namun saya yakin, insyaAllah warga M siap bergotong royong membantu SDIT dalam hal pengadaan komputer dan lain-lain melalui jalan yang halal dan thayyib, karena SDIT telah menjadi misi perjuangan tiap-tiap warga M khususnya, dan perjuangan Muslimin seluruhnya.

Kalau toh Allah tak karuniakan nilai sebesar itu, semoga Allah karuniakan hal lain, yang lebih tepat bagi kita semua, terserah Allah mau bagaimana, bisa jadi Allah karuniakan kesabaran kepada kita sehingga kita mampu berhati-hati dan mengamalkan yang Allah perintahkan di dalam Al-Qur’an dan mengamalkan suri tauladan Rasulullah SAW dan suri tauladan para sahabat yang terekam di dalam hadits-hadits, atsar-atsar, maupun sirah-sirah mereka.

Sehingga pada proses dan ujungnya tergapailah keberkahan, yang Allah limpahkan kepada kita semua, dari kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang, dan dari segala penjuru kehidupan kita. InsyaAllah.

~

Diantara cara terbaik untuk menjaga nikmat dan bersyukur kepada Allah adalah tidak menjadi pembela atau penolong mereka yang berbuat kesalahan, kekeliruan, dan kemaksiatan.

Allah SWT telah berfirman:

Musa berkata: “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” (QS. Al Qashash [28]: 17)

Mohon maaf atas kekerdilan ilmu dan kelancangan pendapat saya ini.

***

Saya menulis kemarin malam jam 23, diilmui dari buku Tarbiyatul Aulad fil Islam dan tumblr tweet ulama dan mengechecknya di Tafsir Ibnu Katsir.

Dan saya share disini bukan untuk mengkritik teman-teman yang bekerja di bank konvensional. Maupun prasangka buruk lainnya. Tiap-tiap kita memiliki keyakinan dalam pilihannya masing-masing.

Kalimat ‘agar sebisa mungkin menghindari riba’ saya maksudkan bahwa kita tak sepenuhnya berkuasa atas sistem di dalam kehidupan ini, misal: kita bekerja atau kuliah dimana pihak perusahaan maupun kampus telah bekerjasama dengan bank konvensional, tentu dalam kasus ini ada keterbatasan untuk memilih. Namun di aspek lain dimana kita berkuasa untuk memilih, sudah barang tentu kita memiliki kewajiban untuk memilih yang halal dan thayyib.

SDIT dalam hal ini memiliki kekuasaan untuk memilih, karena sedang tidak terjebak dalam sistem orang lain.

Kalimat yang lain semisal ‘Allah karuniakan kesabaran’ saya maksudkan bahwa, seringkali kita terjebak di dalam ketidaksabaran. Seorang pemuda-pemudi karena tidak sabar, melampiaskan hasrat cintanya kepada pasangan melalui jalan yang haram, pacaran misalnya. Padahal hasrat cinta pada dasarnya adalah fitrah tiap-tiap manusia. Seseorang pekerja di bank konvensional, pada mulanya juga tidak sabar dalam prinsipnya mengenai riba, sehinga saat diterima menjadi pegawai ia pasrah saja melakukan hal yang bertentangan dengan hatinya. Seseorang mencuri, korupsi, merampok, menipu, dll dilakukan karena ketidaksabarannya bekerja secara halal. Dan masih banyak contoh lain, bahwa kesabaran adalah karunia yang luar biasa, ia adalah bagian sari senjata utama seorang mukmin selain syukur.

Demikian tulisan ini saya share, semoga ada manfaat.

12 September 2014

Salam,

Yang Perlu Dinasihati

*LiLlah (karena Allah); BiLlah (dengan pertolongan Allah); FiLlah (di atas syariat Allah).

SUNGGUH-SUNGGUH DAN MAIN-MAIN

Ada tiga perkara yang bersungguh-sungguhnya dianggap sungguh-sungguh; dan main-mainnya pun dianggap sungguh-sungguh, yaitu: nikah, talaq, rujuq. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah ﷺ)

ولا تتّخذوا ءايت الله هزوا
Dan janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. (QS. 2:231)

05 September 2014

ISLAM PELOPOR PENDIDIKAN GRATIS, DULU DAN SELALU

IMG_0482.JPG
Dakwah, pengajaran, serta pendidikan di dalam Islam bukanlah misi dagang, yang mana ilmu dan pengetahuannya dapat dihitung-hitung dengan kalkulator ekonomi-kapitalistis, yang berujung untung-rugi materi.

“Mencari ilmu itu diwajibkan atas kaum muslimin.” demikian Rasulullah ﷺ bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadits Anas bin Malik r.a.

Ketika Islam menjadikan belajar sebagai suatu kewajiban, maka ia tak berhenti di situ saja. Maka ia ada kelanjutannya, yaitu proses pendidikan.

Di dalam tulisan kali ini, saya ingin membagikan wawasan mengenai cara pandang Islam tentang dunia pendidikan.

Islam menjadikan perkara pendidikan adalah suatu hal yang sangat serius. Baik kepada laki-laki maupun perempuan. Dan proses belajar-mengajarnya ditekankan tanpa pamrih.

Rasulullah ﷺ telah meneladankan kepada kita semua dalam menyampaikan ilmu tanpa mengambil imbalan. Dan beliau ﷺ memberikan peringatan keras kepada para sahabat (dan kita) yang mengambil suatu imbalan di dalam proses pengajarannya.

Tercatat di dalam sejarah, bahwa para sahabat diutus oleh Nabi ﷺ untuk melakukan pengajaran di berbagai penjuru wilayah, tanpa mengambil upah dari siapapa pun juga. Sahabat Mus’ab bin Umair r.a. diutus Nabi ﷺ sebagai da’i di kota Madinah, lalu Mu’adz bin Jabal beliau utus ke Yaman, sementara Ja’far bin Abi Thalib r.a. diutus ke Habasyah, dan puluhan sahabat lainnya Nabi ﷺ utus ke berbagai wilayah. Di antara mereka tidak ada satu pun yang mengambil upah.

Prinsip kita di dalam dunia pendidikan-pengajaran adalah firman Allah:

Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS. Asy-Syu’araa [26]: 109)

Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah…’ (QS. Huud [11]: 29)

Pernah suatu ketika salah seorang sahabat yang bernama ‘Ubadah bin Shamit r.a. mendapatkan peringatan keras oleh Rasulullah ﷺ, meskipun bukan niatan ‘Ubadah untuk mengambil upah.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Syaibah r.a. Ia berkata, “Aku mengajari beberapa orang dari penduduk Suffah al-Kitab dan as-Sunnah, maka salah seorang dari mereka menghadiahkan untukku sebuah busur.” Aku berkata, “Bukan untuk harta aku melakukannya (mengajari), namun hanya untuk di jalan Allah. Maka aku harus mendatangi Nabi ﷺ dulu untuk menanyakannya kepada beliau. Kemudian sampailah aku kepada beliau, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada seorang yang memberiku busur karena aku mengajarinya Al-Qur’an. Dan aku tidak bertujuan untuk mencari harta, tetapi karena beramal di jalan Allah.” Nabi ﷺ lalu bersabda, “Jika engkau mau memakai kalung dari neraka, maka ambil saja.”

Disebutkan juga di dalam sejarah, bahwa anak-anak kaum muslimin yang mereka mengisi masjid-masjid, sekolah-sekolah untuk mencari ilmu dan belajar, mereka tidak mengambil upah dari jerih payah pengajaran mereka. Bahkan, mereka selama masa belajar berada di bawah tanggungan pemerintah. Tidak hanya itu, para ulama salaf pun memperingatkan orang yang sengaja memberikan pengajaran dan pengarahan dengan mengambil upah.

Imam al-Ghazali mengatakan, “Para pendidik hendaklah mengikuti pemegang syariat, yaitu Nabi ﷺ. Beliau tidak meminta upah atas pengajaran ilmunya. Tidak boleh mengumpamakannya dengan pemberian dan imbalan. Seharusnya ia memberikan ilmu itu karena mencari ridha Allah.”

Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Mu’jam Al-Kabir dari hadits Al-Qamah dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, pada suatu hari Rasulullah ﷺ berkhotbah, kemudian beliau memuji beberapa kelompok kaum muslimin dengan kebaikan. Beliau bersabda, “Kenapa banyak sekali orang yang tidak mau memberikan pemahaman kepada tetangganya dan tidak mau mengajarinya, tidak memberikan peringatan kepada mereka, tidak menyuruh dan tidak melarang mereka. Dan mengapa banyak orang yang tidak mau belajar dari tetangga mereka, tidak mengambil pemahaman dan peringatan dari mereka. Demi Allah, hendaknya suatu kaum itu mengajari tetangga mereka, memberikan pemahaman, dan peringatan kepada mereka. Dan hendaklah suatu kaum itu belajar dari tetangganya, mengambil pemahaman dan peringatan dari mereka, ataukah aku harus mempercepat siksaan terhadap mereka?” (Hadist ini dha’if atau lemah, dari Al-Bukhari, Al-Majma’: 1/164; Al-Haitami, Al-Majma’: 1/164. Namun begitu isinya baik)

Memang inilah Islam adanya dalam memandang dunia pendidikan.

Islam tidak memungut biaya pendidikan, baik kepada pejabat pemerintah maupun kepada tokoh masyarakat, apalagi rakyat. Oleh karena itu, orang yang hendak mengajar harus menetapkan niat hanya mengharap wajah Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, dan mengharapkan ridha-Nya. Hasil dari semua itu adalah manusia akan berduyun-duyun untuk menerima ilmu dan mau belajar dengan bentuk yang tidak ada tandingannya sepanjang sejarah.

Seorang cendikiawan berkata, “Sesungguhnya negara Islam telah mendahului bangsa-bangsa di seluruh dunia dalam memberikan hak belajar secara gratis tanpa pilih kasih. Pintu sekolah semuanya terbuka bagi semua bangsa, baik di masjid-masjid, di tempat-tempat belajar, maupun di tempat-tempat umum. Di semua negara yang telah dimasuki Islam, kita bisa melihat peninggalan pengajaran mereka secara bebas. Misalnya di Al-Azhar Asy-Syarif, Darul Ulum, dan semua sekolah agama. Para siswa di sana mendapat bantuan biaya untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka, seperti dilakukan oleh banyak negara saat ini secara menyeluruh di berbagai wilayah.” (Dari majalah At-Tamaddun Al-Islami (Modernisasi Islam), oleh ustadz Mahmud Mahdi al-Istanbuli, hal. 422)

Tentu kita akan bertanya, kalau ada seorang da’i, pengajar, pendidik, trainer, atau bahkan penulis buku (yang menggunakan buku sebagai media pengajaran) yang terkosentrasi dengan aktivitas mendidik-mengajar saja lantas dari mana mereka mencari penghasilan? Apakah yang demikian diperbolehkan mengambil upah dari kegiatannya mengajar dan mendidik?

Dari Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin, ia berkata, “Demikian juga seorang guru hendaknya mengambil sekadar yang biasa mencukupi kebutuhannya dikarenakan dirinya sudah tidak mempunyai kesempatan mencari penghasilan, dan hanya untuk mengajarkan ilmu. Dengan demikian, tujuannya hanya menyebarkan ilmu dan pahala akhirat. Dan dia diperbolehkan mengambil upah sekadarnya untuk memenuhi tujuannya itu.”

Abu al-Hasan berkata, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Qabisi, “Aku pernah mendengar cerita tentang Ibnu Wahab bahwa ia berkata, ‘Pada suatu ketika, aku duduk di hadapan Malik. Pada waktu itu datanglah seorang guru yang mengajarkan al-Kitab. Guru itu berkata kepadanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, sesungguhnya aku ini adalah guru anak-anak kecil, dan bahwa sesuatu telah sampai kepadaku. Aku memang tidak suka untuk menentukan syarat (upah), tetapi manusia tidak mencukupi keperluanku. Mereka tidak memberikan kepadaku sebagaimana orang-orang dahulu memberikannya. Aku harus menanggung kebutuhan keluargaku sedangkan aku tidak memiliki pekerjaan lain selain mengajar.’ Malik berkata kepadanya, ‘Pergilah dan tentukan syarat mengajarmu.’ Kemudian orang itu pergi.


Maka kemudian teman-teman duduknya berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, engkau memerintahkan kepadanya untuk menentukan syarat dalam mengajar?’ Malik berkata kepadanya, ‘Ya, siapa lagi nanti yang akan memperbaiki anak-anak kita? Siapa yang mendidik mereka untuk kita? Kalau bukan para guru, apa yang bisa kita lakukan kalau begini?'”

Pengajar, pendidik harus ada sebagaimana pemimpin. Kita tidak bisa berjalan tanpa mereka.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sahnun dari Sufyan Ats-Tsauri bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Ada tiga golongan manusia yang harus ada bersama mereka. Pertama, seorang amir (penguasa) yang menjadi pemutus perkara di antara mereka. Jika tidak ada, niscaya manusia akan saling memangsa satu sama lainnya. Kedua, pembeli dan penjual mushaf Al-Qur’an. Sebab, jika tidak didapati niscaya kitab Allah akan rusak atau hilang. Ketiga, harus didapati seorang guru yang mengajar anak-anak mereka dan mengambil upah dari mengajarnya itu. Karena, kalau tidak karena guru niscaya manusia akan buta huruf.”

Siapapun pengajar dan pendidik baik itu seorang da’i, trainer, motivator, guru, penulis, dsb diperbolehkan mengambil upah, namun dengan syarat yaitu sekadar mencukupi kebutuhannya. Tidak lebih tidak kurang.

Dulu para sahabat sedang melakukan sebuah perjalanan. Tatkala mereka memasuki sebuah kampung di wilayah Arab, para sahabat meminta bantuan kepada penduduk memberi makan kepada mereka, namun para penduduk menolak.

Rasa lapar terlilit di masing-masing perut para sahabat, lalu terdengar siar kabar bahwa pemuka kaum tersebut terkena sengatan ular. Para penduduk telah berupaya mengobati pemimpin mereka tapi sia-sia.

Salah seorang dari penduduk pun berkata, “Sebaiknya kalian mendatangi rombongan yang sedang singgah di kampung kita ini, mudah-mudahan mereka mempunyai sesuatu yang bisa untuk mengobatinya.”

Kemudian utusan penduduk tersebut mendatangi rombongan para sahabat, lalu bertanya, “Wahai para musafir, sesungguhnya kepala suku kami tersengat ular dan kami telah berupaya untuk mengobatinya namun sia-sia. Apakah di antara kalian memiliki sesuatu yang bisa digunakan untuk mengobatinya?” Salah seorang dari para sahabat berkata, “Ya, aku akan meruqyahnya. Namun, demi Allah kami telah meminta jamuan kalian tetapi kalian menolaknya. Kami tidak akan mengobatinya sebelum engkau memberikan kepada kami imbalan.”

Kemudian setelah bersepakat untuk memberikan imbalan beberapa ekor kambing, orang tersebut berangkat menemui pemuka kaum yang sakit tersebut. Ia kemudian menyemburkan ludah di atas anggota tubuhnya yang luka sambil membaca, “Alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin (Al-Fatihah). Pemuka kaum tersebut tiba-tiba bagaikan terlepas dari ikatan, kemudian langsung bisa berjalan seketika tanpa merasakan sakit lagi. Ia kemudian berkata, “Penuhilah imbalan yang telah kalian sepakati kepada rombongan tersebut.” Salah seorang rombongan berkata, “Bagikanlah.” Orang yang meruqyah itu berkata, “Jangan engkau lakukan hingga kita menanyakannya kepada Nabi ﷺ.”

Kemudian kami menceritakan apa yang terjadi lalu menanyakan kepada beliau, lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Bagaimana kalian tahu kalau Al-Fatihah itu bisa dijadikan obat?” Beliau bersabda lagi, “Kalian telah benar, bagikanlah (kambingnya) dan berilah aku bagiannya.” Kemudian Nabi ﷺ tertawa. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, Nabi ﷺ bersabda:

“Imbalan yang paling berhak kalian dapatkan adalah lantaran dari Kitabullah.” (HR. Al-Bukhari).

Pembolehan mengambil upah dalam pengajaran berdasarkan hadits di atas terkait dengan beberapa hal:
Pertama, para sahabat saat itu sedang dalam perjalanan dengan keadaan lapar, buktinya meminta bantuan penduduk untuk menolong menjamunya.
Kedua, konteks hadits tersebut menunjukkan bahwa penduduk kampung tersebut bukanlah muslim, buktinya mereka menolak memberikan pertolongan rombongan para sahabat itu.
Ketiga, upah atau imbalan yang disepakati merupakan timbal balik dari permintaan penduuk untuk mengobati kepala suku mereka, bukan semata-mata upah karena para sahabat ingin mengajarkan Al-Qur’an.

Berdasarkan tinjauan tersebut, Rasulullah ﷺ akhirnya membolehkan mengambil imbalan atau upah. Sebagai belas kasih dan pemulian kepada para sahabat, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya imbalan yang paling berhak kalian dapatkan adalah lantaran dari Kitabullah.” Maksudnya, imbalan yang paling berhak yang mereka dapatkan adalah lantaran karena mereka mengobati sengatan binatang dengan meruqyah melalui Kitabullah.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa syariat Islam pada dasarnya tidak memperbolehkan mengambil upah atas pengajaran, kecuali bila memang ada perkara-perkara darurat yang mengharuskan mengambil upah.

Tentu kalau ada ustadz, da’i, trainer, atau apapun sebutannya, jika di dalam proses mengajar dan mendidik umat malah ‘berdagang’ dengan berjualan ilmu serta pengetahuan, dan dengan omzet puluhan hingga ratusan juta rupiah, mereka jelas-jelas sedang tidak membuktikan baiknya Islam, bahkan mereka dengan tegas sedang menyelingkuhi Rasulullah ﷺ.

Misalnya saja saya pernah mendengar seorang ustadz ternama dari Jakarta yang berapi-api mengajak kepada para jamaah untuk meneladani Rasulullah secara konsekuen dan konsisten. “Rasul hidupnya sederhana, beliau hanya punya tiga baju, rumah beliau hanya type 21, sehari kenyang dua hari lapar dan perut beliau diganjal batu…bla…bla…dst”, demikian khotbahnya dengan fasihnya mengutip ayat-ayat Al Quran.

Namun begitu selesai pengajian, manajernya sudah sibuk menemui sang “penanggap” ustadz tersebut, untuk menjalankan misi dagang “dakwah” yang omzetnya miliaran rupiah. Maka sang ustadz pun pulang naik BMW, Mercy, Lexus, dan aneka kemewahan dunia lainnya. Bukan berarti naik BMW terbaru tidak boleh, namun ketika ia sudah memperdagangkan dakwahnya itu dengan konteks perhitungan ekonomi-kapitalistis, maka itu menjadi tidak etis. Lalu mana “royalti”-nya Rasulullah? Bukankah kata-kata beliau dikutipnya untuk memperkaya diri? (Dikutip dari tulisan pak Saratri, kenduri cinta)

Salam,

1 September 2014

*diilmui dari buku Tarbiyatul Aulad Fil Islam karya DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan. Gambar dari sini.

NASIHAT MENJELANG TIDUR: ALLAH BERSAMAKU, ALLAH MELIHATKU, ALLAH MENYAKSIKANKU.

Namanya Sahl bin ‘Abdullah rahimahullah. Nantinya kita akan mendapatinya sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan kebijakan dan ia termasuk orang yang shalih.

Ketika itu umurnya masih tiga tahun. Ia terbangun, saat malam telah merangkak naik. Dan ia melihat pamannya (Muhammad bin Siwar rahimahullah) sedang melaksanakan shalat.

Pada suatu hari, Muhammad bin Siwar bertanya kepada keponakannya tersebut, “Apakah kamu mengingat Allah yang telah menciptakanmu?”

Sahl bin ‘Abdullah menjawab, “Bagaimana cara untuk mengingat Allah paman?”

Muhammad bin Siwar menjawab, “Katakanlah di dalam hatimu di saat kamu berbaring di tempat tidurmu tiga kali tanpa menggerakkan lisanmu: ‘Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.'”

~

Kemudian Sahl bin ‘Abdullah mengucapkan kalimat itu selama beberapa malam, lalu ia menceritakannya kepada pamannya.

Lalu Muhammad bin Siwar berkata, “Ucapkanlah kalimat tersebut setiap malam tujuh kali.”

Kemudian Sahl mempraktekkannya, lalu menceritakannya lagi kepada pamannya.

Muhammad bin Siwar berkata lagi, “Ucapkanlah kalimat tersebut setiap malam sebanyak sebelas kali.”

Kemudian Sahl bin ‘Abdullah mengatakan kepada pamannya bahwa ia telah merasakan suatu kelezatan.

Setelah setahun lamanya, Muhammad bin Siwar berkata kepadanya, “Jagalah apa yang telah aku ajarkan kepadamu dan lakukanlah hingga kamu meninggal, niscaya akan bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat.”

Maka kalimat yang diajarkan oleh pamannya senantiasa ia lazimi hingga bertahun-tahun, dan ia selalu mendapatkan kelezatan di dalam dirinya.

Pada suatu hari, pamannya berkata kepadanya, “Wahai Sahl, barang siapa yang Allah bersamanya, merasa diawasi oleh-Nya, merasa disaksikan-Nya, apakah ia akan bermaksiat kepada-Nya? Maka jauhilah olehmu perbuatan maksiat.”

~

Demikianlah, tulisan ini dibagikan untuk menambah wawasan. Bahwa sebenarnya kita tidak kemana-mana. Kita hanya (dan selalu) berada di hadapan Allah semata. Dimana pun kita berada, dengan siapapun kita bersama, dengan perbuatan apapun yang kita lakukan. Sadar tidak sadar kita sedang dilihati Allah. Yang tidak pernah tertidur dan juga tidak lengah.

Kisah Sahl bin ‘Abdullah rahimahullah dan pamannya memberikan pelajaran bagi kita, meski masih kanak-kanak, kita diajarkan untuk memberikan teladan; mengajari; menanamkan dalam diri tentang makna keimanan, muraqabah, serta akhlak yang mulia pada mereka. Mata dan telinga seorang anak selalu terikat dengan apa yang dilihat dan didengarkannya.

22 Agustus 2014 | 22:03

*kisah ini diilmui dari tulisan Imam Al-Ghazali di dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin, dan dapat dibaca di buku Tarbiyatul Aulad Fil Islam karya DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan.

BERKAH; SYUKUR; RIZQI; UMUR

IMG_0358.JPG

Teruntuk kakanda terkasih, pada telinga yang peka ini mendengar bahwa tiap-tiap insan yang tertitipkan (baik istri maupun putera-puteri) ada hak bagi mereka untuk mengutarakan wasiat yang amat berat: “Bawalah kami ke surga bersamamu.” (Qs. 66: 6)

Maka pantaslah sudah, bahwa pernikahan itu merupakan mitsaqan ghaliza.

Meski berat, saya yakin, kakanda telah banyak belajar dari bapak. Dan ini merupakan benih agar kakanda kedua belajar dari kakanda pertama dan bapak. Dan ini pelengkap agar kakanda ketiga belajar dari kakanda kedua, pertama, serta bapak. Maka nantinya (insyaAllah), menjadi setumpuk ilmu yang ananda kemas rapi, dan siap dibuka pada waktunya.

Namun bapak bukan apa-apa, kakanda juga bukan apa-apa, melainkan hanya ingin mengamali peran sebagai seorang ayah, dengan ilmu yang telah dijelaskan berderet-deret penuh hikmah di dalam Al-Quran surah Al-Luqman.

Namanya Luqman bin ‘Anqa’ bin Sadun. Kita kenal Luqman Al-Hakim. Begitulah ia digelari. Seorang ayah yang penuh hikmah.

Luqman bukan saudagar, ia adalah seorang laki-laki pengembala kambing dari tuannya. Kurus tubuhnya, hitam kulitnya, pesek hidungnya, amat kecil kedua kakinya. Andai ada orang yang berperawakan demikian di zaman sekarang, sungguh akan timbul ragu: perempuan mana yang sudi menerima pinangannya; keluarga mana yang bergegas meneladaninya sebagai seorang ayah sekaligus pakar pendidikan anak.

Abu ad-Darda’ r.a. berujar mengenai diri seorang Luqman: “Dia tidak diberikan anugerah berupa nasab, kehormatan, harta, pun jabatan. Namun dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tidak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta penyebutan kembali oleh orang lain.”

Seseorang pernah bertanya kepada Luqman: “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan seperti ini?”

Luqman menjawab: “Aku tahan pandanganku; aku jaga lisanku; aku perhatikan makananku; aku pelihara kemaluanku; aku berkata jujur; aku menunaikan janji; aku hormati tamu; aku pedulikan tetanggaku; dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”

Demikianlah Luqman. Ia bergelar Al-Hakim dan menjadi teladan di dalam Al-Qur’an bukan karena sekonyong-konyong, melainkan ada ikhtiar penuh istiqamah yang ia perjuangkan terus menerus.

Dan bagi kita meneladaninya dalam peran seorang ayah.

Sebelum para psikolog, pakar keluarga, dan berjejal motivator-motivator televisi mendengungkan pendidikan anak dengan kelembutan. Sungguh Luqman di lebih 14 abad yang lalu telah mengajari kita (sebagai seorang ayah) untuk berlembut-lembut dengan anak-anak kita.

“Ya bunayya…” di dalam qs. Al-Lukman ayat 13. Luqman meneladani sedini mungkin (meski untuk panggilan anak) harus dengan ramah lembut.

Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, “Duhai anakku tersayang (ya bunayya), janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang amat besar.” (qs. Al-Luqman: 13)

Berderet teladan Luqman sebagai seorang ayah, dapat dilihat lengkap di dalam surah tersebut dari ayat 12 hingga 19.

Semoga tulisan sekelumit ini dapat menjadi semangat dan syukur diri dalam berperan sebagai seorang ayah.

Dan tulisan ini dibagikan sebagai ucapan selamat atas kelahiran keponakan saya yang baru. Terlahir pada 20 Agustus 2014 jam 09:00 WITA.

~

Di dalam Al-Qur’an ada banyak nasihat untuk kita, agar memberikan ucapkan selamat dan turut bergembira atas anugerah kelahiran suatu keluarga.

“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira. Mereka mengucapkan ‘Selamat.’…” (Lihat QS. Huud: 69-71) | Lihat juga di qs. 3:39 dan di qs. 19:7.

Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah di dalam bukunya Tuhfatul Mauduud bi Ahkaamil Mauluud, dari Abu Bakar Al-Mundziri.

“Telah diriwayatkan kepada kami dari al-Hasan al-Bashri bahwa seorang lelaki telah datang kepadanya, dan di sampingnya ada seorang laki-laki baru saja dianugerahi seorang anak kecil.

Laki-laki itu berkata kepada orang yang mempunyai anak itu, ‘Selamat bagimu atas kelahiran seorang anak penunggang kuda.’

al-Hasan al-Bashri berkata kepada laki-laki tersebut, ‘Apa pedulimu apakah dia seorang penunggang kuda atau seorang penunggang keledai?’

Laki-laki itu lantas bertanya, ‘Jadi bagaimana kami harus mengucapkannya?’

al-Hasan al-Bashri menjawab, ‘Katakanlah:

بورك لك في الموهوب، وشكرت الواهب، ورزقت برّه، وبلغ أشدّه.

Semoga kamu diberkahi dalam apa yang telah diberikan kepadamu; semoga kamu bersyukur kepada yang memberi; semoga kamu diberi rizqi dengan kebaikannya; dan semoga ia mencapai masa balignya.'”

Berkah; Syukur; Rizqi; Umur. Doa yang amat lengkap untuk yang baru terlahir.

Salam.

20 Agustus 2014.

*diilmui dari buku Lapis-Lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah; buku Tarbiyatul Aulad fil Islam karya DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan; dan buku Tafsir Ibnu Katsir.

KU TEMUKAN CINTA DENGAN RASA MALU

20140805-200808-72488048.jpg

Rasa malu adalah akhlak seorang wanita.
~

Kisahnya berawal dari sumber mata air sebuah negeri bernama Madyan. Di sana ada seorang laki-laki yang gagah nan perkasa sedang duduk berlelah di bawah pohon berdaun kecil.

Musa.

Nama laki-laki itu adalah Musa.

Lelahnya belum hilang. Keringatnya masih basah mengalir. Nafasnya memburu. Perutnya melilit oleh rasa lapar yang amat sangat.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Musa berjalan dari negeri Mesir ke negeri Madyan tanpa bekal makanan, kecuali sayur dan daun-daun pepohonan. Musa berjalan tanpa alas kaki. Karena ketika sampai negeri Madyan, rusak sudah sepasang sandalnya. Musa duduk di tempat yang teduh dan ia adalah makhluk pilihan Allah. Perutnya melekat ke punggungnya karena lapar. Dan hijau sayuran tak berguna bagi perutnya, Musa membutuhkan makanan.”

Ketika berteduh di bawah pohon, Musa melihat sekelompok manusia yang sedang meminumkan ternaknya. “Ketika mereka telah selesai,” demikian papar Abu Bakar Ibnu Syaibah dari ‘Umar bin al-Khaththab r.a di dalam Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Qashash: 23-24 “mereka hendak mengembalikan batu besar (sebagai penutup sumur) itu ke sumur tersebut dan tidak ada yang mampu mengangkatnya kecuali oleh 10 orang laki-laki.”

Kemudian Musa melihat dua wanita yang sedang menahan binatang ternaknya.

Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat seperti itu)?”
Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” (QS. 28: 23)

Musa.

Dalam lelah payahnya di negeri yang tak dikenali. Dalam lapar hausnya yang menguras energi. Musa masih sanggup menawari. Musa bantu kedua gadis Madyan itu.

Dari sinilah Musa disifati oleh salah seorang gadis itu sebagai orang yang kuat. (QS. 28: 26)

Musa kemudian mendatangi batu tersebut dan mengangkatnya seorang diri. Padahal bagi penduduk setempat, batu tersebut hanya dapat diangkat oleh 10 lelaki kuat.

Setelah Musa memberikan minum seember air yang mengenyangkan bagi kambing-kambing kedua wanita tersebut. Musa kembali meneju teduhannya.

Kemudian dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berdo’a: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. 28: 24)

“Lagi-lagi Musa membuktikan kekuatannya,” demikian tulis Salim A. Fillah di dalam buku Lapis-Lapis Keberkahan, “bahwa pria perkasa tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran dari manusia.”

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, dari ‘Atha bin as-Saib, ia berkata: “Ketika Musa berdo’a: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku,’ wanita itu lantas mendengarnya.”

Dalam kebaikan, ada alur yang Allah kehendakkan. Dia selalu membersamai orang-orang yang berbuat kebaikan.

Sampai di sini, kita telah belajar banyak hal dari Nabi Musa ‘alayhissalam.

Musa tidak tergoda untuk melampui batas niatnya untuk menolong gadis Madyan.

Musa dalam keterasingan memasrahkan kebaikan kepada Allah semata.

Musa mengajarkan adab dalam berdo’a.

Musa mengajarkan segalanya.

~

Sekarang, kita akan belajar cinta dalam rasa malu kepada gadis Madyan dalam surah Al-Qashash ini.

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, (QS. 28: 25)

Inilah jalan wanita terhomat. Tak centil, tak merayu, tak menggoda.

Sebagaimana diriwayatkan dari Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab r.a., ia berkata: “Dia datang dengan menutupkan pakaiannya ke wajahnya.”

Ibnu Abi Hatim berkata bahwa ‘Amr bin Maimun berkata, ‘Umar bin al-Khaththab r.a., ia berkata: “Dia datang berjalan dengan malu-malu dengan menutup pakaian ke wajahnya, dia bukanlah tipe wanita yang amat berani bukan pula wanita yang sering keluar rumah.”

Sanad shahih.

Gadis tersebut berjalan malu-malu. Menyingkapkan sebahagian pakaiannya tuj menutup muka. Sementara Musa dengan sigap menundukkan pandangannya. Lalu gadis tersebut berkata:

“Sesungguhnya ayahku memanggilmu, agar beliau dapat memberi balasan terhadap kebaikanmu yang telah memberi minum ternak kami.” (QS. 28: 25)

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa hal ini merupakan sikap beradab dalam bertutur kata, dimana gadis tersebut tidak memintanya secara mutlak, yang tidak menimbulkan rasa curiga.

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai siapa ayah gadis tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, salah satunya berpendapat bahwa ayahnya itu adalah Syu’aib ‘alayhissalam, seorang Nabi yang diutus kepada penduduk Madyan. Inilah pendapat yang mahsyur di kalangan banyak ulama. Juga dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri dan selainnya.

Musa kemudian memenuhi permintaan ayah gadis tersebut. Menujulah mereka ke rumah Nabi Syu’aib.

Ketika si gadis berjalan di depan. Musa mencegah. Maka dari sinilah, gadis tersebut mensifati Musa sebagai orang yang terpercaya. (QS. 28: 26)

“Berjalanlah di belakangku,” sahut Musa, “dan berilah isyarat terhadap arah yang mau kita tuju.” tulis Salim A. Fillah di dalam bukunya Lapis-Lapis Keberkahan. “Sungguh memang, betapa terpercaya lelaki muda yang tetap menjaga pandangannya, pada gadis asing jelita, yang mendatanginya untuk kemudian berjalan hanya berdua.”

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin Ishaq, dan yang selainnya berkata bahwasanya ketika wanita itu berkata: “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk pekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya,” maka ayahnya berkata kepadanya, “Apa yang kamu ketahui tentang hal itu?” Wanita itu berkata: “Dia telah mengangkat sebuah batu besar yang tidak mampu diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki. Dan saat aku datang bersamanya, aku berjalan di depannya, lalu ia berkata kepadaku: ‘Berjalanlah di belakangku.’ Jika ia berbeda jalan denganku, ia memberikan sebuah tanda dengan batu kerikil agar aku mengetahui kemana ia berjalan.”

“Yaa Abati, wahai ayah, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. 28: 26)

Sufyan ats-Tsauri berkata dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a., ia berkata: “Manusia paling cerdik adalah tiga orang; Abu Bakar ketika mengangkat ‘Umar (sebagai penggantinya), majikan Yusuf ketika ia berkata: ‘Berikanlah kepadanya tempat yang baik,’ dan wanita yang mendatangi Musa ketika berkata: ‘…(QS. 28: 26)…'”

Sedari itu, berubahlah hidup Musa. Sang pelarian dari negeri Mesir menemukan tambatan hidup di rumah seorang bapak tua dari negeri Madyan.

Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.” (QS. 28: 27)

Satu pendapat mengatakan, wanita itu adalah yang berjalan di belakang Musa.

~

Semoga secuil kisah dan ilmu ini dapat kita ambil pelajaran. Bahwa rasa malu adalah keniscayaan, bukan penghalang.

Rasa malu ada agar kita selalu pada jalur yang Allah kehendaki dan Allah ridhai.

Tak terasa, kita telah belajar banyak hal dari Quran Surah Al-Qashash ayat 21 hingga ayat 28.

Banyak cara untuk mempelajari Al-Qur’an.

Salam.

5 Agustus 2014

*sumber ilmu dari Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan buku Lapis-Lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah. Gambar asli dari sini.

KEPADA MERTUA, SEBUAH TULISAN UNTUK KAMU (CALON) MENANTU

Saya menulis ini sebagai ucapan terimakasih saya kepada mba El. Mba ipar saya. Tentu kalian tidak mengenalnya. Akan tetapi tak mengapa, karena itulah saya menuliskanya di sini, bukan di bbm atau pun sms yang saya tujukan langsung kepada mba El. Agar teladan dari mba El dapat kita ambil.

Mba El (27 th).

Ia adalah seorang isteri dari kakak saya. Seorang ibu dari puterinya, seorang dosen dari mahasiswa-mahasiswinya, dan seorang murid dari para guru besarnya. Mba El saat ini sedang menyelesaikan program doktor nya.

Saya perlu memberitahukan latar belakang mba El terlebih dahulu, karena dari sini, saya akan menggambarkan dan menjadikannya sebagai ukuran penilaian.

Mba El terlahir dari keluarga berada dan masih dekat dengan keluarga keraton, ayahnya seorang profesor dari universitas negeri di Jawa Tengah, pun seorang komisaris dari bank milik pemerintah. Dibandingkan dengan latar belakang keluarga saya, sungguh amat timpang keadaannya.

Sikap mba El kepada mertua (yang merupakan ibu saya) sangat baik. Meski mba El berkehidupan di lingkungan yang berada, mba El tidak canggung, jijik, jaim, atau jaga jarak dengan ibu saya yang berasal dari desa.

Lebaran kemarin merupakan lebaran ketiga mba El bersama keluarga saya (mba El dan kakak saya menikah bulan November 2011), seperti biasa, mba El ikut membantu ibu saya di dapur. Menyiapkan ini itu, mencuci perabotan, dan memasak dengan alat penggorengan penuh timbal. Padahal setiap kali ke rumah, mba El selalu membawa salah seorang asisten rumah tangganya. Akan tetapi untuk urusan dapur mba El lakoni sendiri.

Saat makan bersama, mba El tak sungkan menggunakan piring bekas ibu saya, padahal masih belepotan sisa makanan beliau. Agar piring kotor tak banyak, adalah alasan mba El untuk merendah hati.

Air muka ibu saat itu amat senang, hatinya lega, bagai terguyur hujan penuh keberkahan. Ini mungkin yang disebut dengan qurrata a’yun.

Hari-hari diluar momen lebaran, mba El juga tak kalah baik. Komunikasi dengan kedua orang tua saya berjalan dengan lancar. Meski mba El amat sibuk mengajar dan belajar, mba El masih sempat menanyakan kabar.

Tidak hanya kepada orang tua saya, mba El juga ramah kepada saudara dan tetangga-tetangga saya.

Itulah mba El.

Mba El tidak ingin dihormati.
Mba El hanya ingin menghormati.

~

Di dalam tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk belajar kepada mba El. Bahwa menantu dan mertua tidak seperti yang diracunkan oleh sinetron-sinetron Indonesia, yaitu bagai air dan minyak yang tak pernah menyatu.

“Kalau bisalah, tidak usah ada mertua di dalam urusan rumah tangga kita.” Demikian sinetron Indonesia meracuni.

Padahal dengan perkawinan, masing-masing pasangan lahir bersamaan dari dua orang bapak dan dua orang ibu. Demikian tulis Quraish Shihab di dalam buku Pengantin Al-Qur’an. Ketika itu terciptalah keluarga besar, yang mencakup sanak saudara keluarga pasangan.

Ada sebagian anak yang telah berstatus suami melupakan ibu kandungnya setelah kawin dan menumpahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya hanya kepada istri. Demikian juga dengan anak yang berstatus istri, melupakan keluarganya karena suaminya.

Perhatian seorang suami kepada istri, yang melebihi perhatiannya kepada ibunya, tidaklah sejalan dengan budaya bangsa kita, pun dengan ajaran agama kita.

Salah satu hak orangtua atas anak-anaknya adalah mendapat perlakuan yang baik dari anak-anaknya. Kewajiban ini untuk semua anak, tidak hanya yang berstatus remaja saja, melainkan selama anak tersebut masih memiliki orangtua yang masih hidup, ia berkewajiban memenuhi hak-hak orangtuanya.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Israa’:23)

Saya ingin bagikan beberapa hadits sebagai gambaran betapa besarnya hak orangtua untuk diperlakukan dengan baik oleh anak-anaknya.

Seseorang datang kepada Nabi ﷺ memohon ijin untuk pergi berperang. Maka beliau bersabda:

“Ahayyu waa lidika?~apakah kedua orangtuamu masih hidup?”

Orang itu menjawab, “Ya.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

“Fafiihikaa fajaahid~maka berjihadlah kamu dengan (berbakti) kepada keduanya.”

– HR. Muslim

Berbuat baik kepada orangtua harus lebih didahulukan daripada kepada istri dan anak-anak, seperti halnya dikisahkan di dalam hadits riwayat Al-Bukhari berikut ini, dimana ada salah seorang umat terdahulu terjebak di dalam goa dan berdoa seperti ini:

Ya Allah, aku mempunyai kedua orangtua yang sudah berusia lanjut. Aku tidak minum (susu) di sore hari sebelum keduanya minum. Aku pun tidak ingin memberi minum keluargaku dan hartaku (hamba sahayanya) sebelum keduanya. Suatu hari aku pergi jauh mencari sesuatu, sehingga aku tidak pulang kepada kedua orangtuaku kecuali keduanya telah tidur. Aku pun memerah susu untuk minum keduanya, namun keduanya telah tidur, dan aku tidak mau minum sebelum keduanya. Aku pun tidak ingin memberi minum keluargaku dan hartaku (hamba sahaya) sebelum keduanya. Aku pun terdiam sambil memegang wadah minuman, menunggu kedua orangtuaku bangun. Barulah ketika fajar menyingsing keduanya bangun dan meminum minuman tersebut…

Bahkan harta yang dimiliki seorang anak pada hakikatnya adalah milik orangtuanya.

Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa seseorang telah datang kepada Nabi ﷺ seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku memiliki harta dan anak, dan orangtuaku mengingini hartaku.” Maka Nabi ﷺ bersabda:

“Anta wa maaluka liabiika~kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.”

– Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 838).

Dan ibu lebih didahulukan karena haknya yang lebih besar. Seperti halnya yang diriwayat oleh Abu Hurairah r.a., ada salah seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai siapakah yang lebih berhak diperlakukannya dengan baik.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Ummuka~ibumu.” sebanyak tiga kali.

“Tsumma abuuka~lalu ayahmu.”

Tentu apa yang telah saya sebutkan di atas adalah dasar bahwa betapa pentingnya kita menghormati, melayani, dan memperlakukan kedua orangtua kita dengan layak dan baik, tanpa sedikit pun menyisihkan perih dan luka di hati keduanya. Hal ini dapat terwujud ketika suami dan istri sama-sama mengerti. Maka di dalam Islam, agama adalah hal terawal penilaian dalam memilih pasangan. Jika agamanya baik, baiklah semua perilakunya. Siapa yang tidak ingin, orangtua kita dikasihi oleh isteri atau suami kita? Maka usahakanlah masing-masing istri dan suami memberikan perhatian maupun pemberian yang baik kepada keluarga besar pasangannya.

Cobalah kita sejenak, begitu Salim A. Fillah menasihatkan di dalam buku Barrakallahu Laka… Bahagianya Merayakan Cinta, memandang dengan sudut pandang istri atau suami yang kita cintai tentang mertua kita. Pinjamlah mata hatinya sejenak untuk suatu empati. Merasalah menjadi dirinya untuk memdengarkan wasiat Allah tentang orangtua. Inilah wasiat abadi, tentang ayah dan bunda. Inilah cara kita memandang mertua, sebagaimana kita berharap beginilah istri kita akan memandang orang tua kita.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan persahabatilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman: 14-15)

Memandang mertua kita, sebagaimana kita ingin istri kita memandang ayah dan ibu kita adalah sebuah keindahan. Memandang mereka untuk diperlakukan seperti orangtua kita sendiri adalah sebuah kemuliaan. Mungkin ada geliat sangkal di dalam hati, “Bukankah ia bukan orangtua kita yang sesungguhnya? Ibu mertua kita tidak melahirkan kita, tidak menyusui, tidak merawat, dan tidak nggulawentah kita sedari kecil? Mereka hanyalah orang yang dipertemukan dengan kita oleh takdir.”

Adakah yang terpikir, siapa yang menjadi wasilah hadirnya keindahan pernikahan kita? Adakah terpikir, siapa yang mengandung dan melahirkan sosok gagah di pelukan kita? Adakah terpikir, siapa yang mendidik dan membesarkan calon ibu anak-anak kita hingga menjadi seperti sekarang? Mertua kita. Dialah mertua kita. Calon kakek dan nenek dari anak-anak yang menjadi penghias mata kita. Merekalah mertua kita.

Maka alangkah indahnya bersahabat dengan mertua, sebagaimana kita telah merasakan agungnya bersahabat dengan orangtua. Ada pengenalan yang lebih dalam terhadap kekasih hati sumber yang telah mengalirkan ruh dan akhlaknya pada sang putra. Ada ilmu, ada pemahaman, ada pengalaman, ada cerita-cerita yang penuh makna, dan ada kebanggaan-kebanggaan yang dipenuhi kebijaksanaan. Ada tempat kita untuk berkaca, tentang kesungguhan, tentang perjuangan, tentang pengorbanan, tentang cita-cita, dan cinta. Ada pewarisan nilai, ada pewarisan amanah, ada kepercayaan.

Sejak dahulu, pembicaraan tentang relasi antara menangu dan mertua adalah pembicaraan yang hangat. Banyak yang sudah terjebak pada pemahaman luput. Seolah-olah hubungan mertua dan menantu adalah hubungan konflik. Seolah dasar pijakan relasi itu adalah persaingan. Seolah akan terus ada ketidakcocokan, makan hati, sakit hati, patah hati, gelap hati, dan lain hati.

Benar, memang segala hal bisa berpotensi menjadi masalah. Benar, bahwa segala sesuatu adalah tantangan. Tetapi bagi orang beriman, dengan itulah Allah mendewasakan. Tetapi bagi orang beriman, aneka masalah adalah keberkahan dan kebaikan. Tantangan akan menambah ilmu, mengasah keuletan, memperpanjang galah kesabaran, dan mengukirkan prestasi hidup.

Benar memang segala hal adalah potensi masalah. Tetapi di sanalah Allah menguji hamba-hamba-Nya, manakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Benar segala hal adalah potensi masalah. Maka Allah mengaruniakan kepada kita akal untuk berpikir, hati untuk memahami, dan akhlakul karimah untuk bersikap. Benar bahwa segala hal adalah potensi masalah. Seperti jika kita sedikit memiringkan kepala untuk memandang hadits berikut ini.

Yang paling berhak atas wanita adalah suaminya. Yang paling berhak atas seorang lelaki adalah ibunya. (HR. Tirmidzi)

Sebagai penutup, saya bonuskan sebuah foto dari putri mba El. Keponakan saya yang cantik. Namanya? Kasih tahu nggak ya. Hhe.

20140803-122747-44867380.jpg

Terimakasih mba El, sikap hormat dan sopan santun mba El telah membuat hati ibu saya senang.

Salam.

03 Agustus 2014

*ditulis tadi malam di dalam gerbong kereta dan ilmunya dikutip dari buku Pengantin Al-Qur’an karya Quraish Shihab; buku Ibumu, Ibumu, Ibumu karya Sulaiman bin Shaqir ash-Shaqir; dan buku Barrakallahu laka… Bahagianya Merayakan Cinta karya Salim A. Fillah.